Tampilkan postingan dengan label Lakon Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lakon Wayang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 April 2018

Setyaki Rabi

Setyaki Rabi

Setyaki Rabi

Konon prabu Kasendra dari kerajaan Tunjungpura, sangat bersedih hati memikirkan lolosnya putri kerajaan Dewi Karsini. Kepada putra mahkotanya yang bernama raden Kasena, beserta patih Dendabahu diperintahkan untuk mengundangkan pengumuman raja, barang siapa dapat menemukan dan membawa kembali putri raja Dewi Karsini, raja berkehendak kepadanya akan dijodohkan dengan sang dewi. Raden Kasena beserta patih Dendabahu segera memohon diri, di paseban luar mereka segera memerintahkan kepada segenap wadyabala Tunjungpura, sebagian dipersiapkan menunggu kerajan, sebagian turut serta mengundangkan kehendak raja, segera mereka berangkat menunaikan tugas masing-masing.

Raja bertemu dengan permaisurinya Dewi Warsini, dijelaskan apa yang telah dibicarakan dipertemuan, dan tindakan apa yang telah diambilnya, yang tak lain mengundangkan kepada seluruh negeri sayembara, barang siapa dapat menemukan dan membawa kembali Dewi Karsini, berhak menjadi jodohnya. Segera mereka bersama-sama bojana di dalam ruangan santap kraton.

Syahdan, raja Suwelabumi prabu Kalakambana, sangat suka hatinya akan hasil utusannya, ialah melarikan Dewi Karsini, ucapan terimakasih diberikan kepada embannya yang telah menunaikan tugas tersebut, yang bernama Karendhi. Agaknya Dewi Karsini, tak sudi melayani segala kehendak raja, untuk itu raja bermaksud melepaskan maksudnya, harus berhasil merayu Dewi Karsini, kepada segenap wadyabala Suwelabumi, diperintahkan untuk berjaga-jaga, jangan sampai kemasukan prajurit-prajurit dari lain kerajaan, yang datang sengaja akan merongrong kewibawaan ratu,mereka berangkat menunaikan tugas masing-masing. Adapun raja Kalakambana, masuk ke dalam istana bermaksud akan menemui Dewi Karsini. Perjalanan wadyabala Suwelabumi, yang dipimpin oleh pandu perjalanan, kyai Togog dan Sarawita, dipertengahan perjalanan, bertemu dengan prajurit-prajurit Tunjungpura, terjadilah perselisihan pendapat, dan akhirnya mereka berperang. Wadyabala Suwelabumi, maupun wadyabala Tunjungpura, kedua-duanya menghindar peperangan, sehingga terlerailah untuk sementara.

Di praja Madukara, raden Janaka berkata kepada istrinya, bahwa telah didengarnya, putri Tunjungapura hilang dari tempat peraduannya. Sayembara telah diundangkan, barang siapa dapat menemukan dan membawanya kembali, akan diperjodohkan dengan sang dewi. Raden Janaka berpamitan, untuk pergi mencarinya, sang istri meluluskan maksud raden Janaka, mereka berangkat bersama kyai Semar, Nalagareng, dan Petruk. Di tengah hutan, raden Janaka bertemu dengan wadyabala Suwelabumi, terjadilah perselisihan dan peperangan. Para raksasa dari Suwelabumi dapat ditumpas kesemuanya, raden Janaka dengan diiringi para panakawan, melanjutkan perjalanannya.

Di kahyangan Jonggringsalaka, hyang Girinata bersabda kepada hyang Narada dan hyang Yamadipati, bahwasanya kepada raden Setyaki yang sedang menggentur tapa di tepi sungai Silugangga, akan diberi anugerah senjata sakti nerujud gada, dam dijelaskannya pula bahwa kelak dikemudian hari, raden Setyaki akan diperjodohkan dengan putri Tunjungpura. Hyang Narada dengan diiringi hyang Yamadipati segera bermohon diri, untuk turun ke nreyapada menunaikan tugasnya.

Tresebut raden Setyaki yang sedang bertapa ditepian sungai Silugangga, selama 40 hari mengerjakan tapabrata, manakala air sungai Silugangga pasang, terjepitlah raden Setyaki pada batu yang sangat besar, tak lain yang dikerjakan hanya mengaduh kesakitan.

Datanglah hyang Narada beserta hyang Yamadipati, bersabda mereka datang menemuinya, untuk menunaikan sabda Girinata, menghadiahkan senjata sakti berujud sebuah gada. Diterimanya pemberian dewa berujud gada, seketika itu juga bertambahlah kekuatannya raden Setyaki, sehingga batu yang selama 40 hari menjepitnya, dengan mudah dapat ditendang, bebaslah sudah adri jepitan batu-batu. Segeralah raden Setyaki menyembah kepada hyang Narada dan hyang Yamadipati, bahkan dijelaskannya oleh para dewa, bahwa dijelaskannya oleh para dewa, bahwa kelak kemudian hari raden Setyaki akan diperjodohkan dengan putri Tunjungpura yang bernama Dewi Karsini. Hendaknya ini diketahui, dan bahwasanya keadaan Dewi Karsini ditawan oleh raja Suwelabumi, yang telah berhasil melarikan sang dewi, dari tempat peraduannya. Setelah tugas selesai, hyang Narada dan hyang Yamadipati pulang ke kahyangan, raden Setyaki segera berangkat mencari Dewi Karsini.

Raden Janaka dalam perjalanannya menuju palacakan hilangnya Dewi Karsini, bertemu dengan putra mahkota kerajaan Tunjungpura, raden Kasena. Setelah berkenalan, dan berbincang-bincang, raden Janaka berpamitan, untuk mencari Dewi Karsini, adapun raden Kasena melanjutkan tugasnya, malapor kembali kepada ayahandanya raja Tunjungpura.

Prabu Kalakambana menerima laporan kyai lurah Togog dan Sarawita, bahwasanya wadyabala Suwelabumi mati oleh ksatriya Madukara, bernama raden Janaka. Selagi mereka berbincang-bincang, terdengarlah suara menggelegar, menantangnya untuk berkelahi. Prabu Kalakambana marah, dan keluar, segera mereka campuh prang. Raden Janaka dapat digertaknya, sehingga terbucang jauh dari peperangan. Prabu Kalakambana segera masuk ke dalam kraton, untuk menemui Dewi Karsini, akan tetapi sangat terperanjat hatinya, melihat ada seorang ksatriya telah mendapinginya, yang tak lain raden Setyaki. Prabu Kalakambana tak dapat lagi menguasai dirinya, sehingga peperangan dengan raden Setyaki terjadi pula. Raden Setyaki segera menghantamkan gada sakti pemberian dewa, ke tubuh prabu Kalakambana, dan matilah raja Suwelabumi dari tangan raden Setyaki. Kepada Dewi Karsini, yang telah menyanggupkan diri, bersedia diperistri raden Setyaki, segera diantarkan kembali ke kerajaan Tunjungpura,untuk diserahkan kepada raja Kasendra. Adapun wadyabala Suwelabumi yang mengetahui rajanya mati, mengejar raden Setyaki.

Didalam perjalanannya menuju ke kerajaan Tunjungpura, raden Setyaki dan Dewi Karsini bertemu dengan saudaranya yang bernama raden Kasena, amat sukalah mereka. Tak lama datanglah raden Janaka, yang menanyakan kepada raden Setyaki, siapakah gerangan wanita yang disampingnya. Dijawabnya tak lain adalah saudaranya raden Kasena, putri Tunjungpura, Dewi Karsini. Kepadanya, raden Janaka menjelaskan, bahwa dialah yang diminta bantuanya untuk mendapatkan, menyerahkan kembali Dewi Karsini, persesuian pendapat tak ada. Sehingga terjadilah peperangan, antara raden Setyaki dan raden Janaka.

Selagi mereka berkelahi, saudara-saudaranya raden Janaka, tampak antaranya raden Wrekodara, pula terlihat sri Kresna, datang melerainya. Dijelaskannya oleh Kresna, Janaka hendaknya menerima kenyataan, bahwasanya Setyaki adalah jodohnya Dewi Karsini, sri Kresna segera memerintahkan kepada raden Setyaki bersama-sama Dewi Karsini, untuk segera berangkat menuju kerajaan Tnjungpura, diikuti oleh patih Dendabahu dan raden Kasena. Kedatangan mereka dikerajaan Tujungpura, disambut dengan kebahagiaan oleh raja Kasendra, ucapan terimakasih ditujukan kepada sri Kresna, khususnya kepada raden Setyaki. Sesuai dengan sayembara yang diundangkan, raden Setyaki tetap dijodohkan dengan Dewi Karsini. Selagi mereka bersuka-ria, wadyabala dari kerajaan Suwelabumi datang menyerang raden Setyaki dan raden Kasena memmukulnya, sehingga wadyabala musuh kocar-kacir,amanlah sudah kerajaan Tujungpura dari ancaman musuh. Seluruh warga iastana Tunjungpura, bersuka-ria, berpesta-pora.

Anoman Maneges

Anoman Maneges

Anoman Maneges

Berawal dari kerajaan Astina yang kedatangan begawan baru (Begawan Lumono) Yang sangat di segani oleh Prabu duryudono dan para kurawa, pada waktu itu Begawan Lumono Menyuruh Prabu Duryudono agar Pandhowo Beserta Prabu Bolodewo Raja Mandura Mau datang ke astina, setelah para Pandawa dan Bolodewo hadir Begawan Lumono menyampaikan wejangan bahwa astina dan amarta harus bersatu dan perang Barata Yuda akan di tiadakan, Tetapi harus memakai sesaji korban manusia.

Adapun korban yang dipilih adalah Raja Duworowati Prabu Batara Kresna Dan Semar, karena menurut Begawan Lumono Kresna dan Semarlah yang menjadi sebab ketidak akuran Pandawa dan Kurawa. Mendengar hal tersebut marahlah Prabu Bolodewo terjadi keributan antara prabu Bolodewo dan Begawan Lumono.

Prabu Bolodewo Meninggalkan kerajaan Astina dan pergi menemui Kresna untuk menyampaikan apa yang terjadi di Astina. Sepeninggalnya Prabu bolodewo Prabu puntodewo mengutus Arjuno tuk Menjemput Prabu Kresno dan Semar agar datang ke Astina.

Ternyata Putra Pandawa Gatutkaca Dan Antarja menyusul tuk menjemput para pandawa namun oleh kurawa di halangi sehingga terjadi peperangan.

Dan dimenangkan oleh para kurawa atas bantuan begawan lomono, dan tuk sementara gatutkaca dan antarja menyingkir mencari bantuan.

Dan arjuna yang di utus oleh kakaknya telah sampai di negara duworowati bersama brotoseno,di kerajaan ternyata sudah ada Prabu bolodewo yang tadinya pulang namun tidak ke mandura, Arjunopun menyampaikan maksut kedatanganya namun ditolak Oleh prabu kresna dan terjadi perselisihan,Patih sengkuni yang ikut hadir di kerajaan Duworowati menjadi sasaran amuk setiaki sehingga Arjuno tidak berhasil menjemput Kresna, Brotoseno pulang bersama Arjuno bermaksut menjemput semar setelah gagal menjemput Kresna.

Di tempat semar Anoman datang menghadap bersama putranya (Bambang Purwaganti) bermaksut menanyakan kenapa hingga umur sudah tua masih belum bisa pergi ke alam baka, oleh semar diberi wejangan agar Anoman bersabar dan melanjutkan darma baktinya di dunia,belum selesai semar ngasih wejangan datang Raja Baranjono (murid Begawan Lumono) bertujuan membunuh Kiai Semar atas perintah Begawan lomono, sehingga terjadi pertempuran antara prabu baranjono dan putra Anoman Bambang Purwoganti ,ternyata Prabu baranjono membawa pasukan dan semuanya mati, Namun tuk menghadapi prabu Baranjono Anoman sendiri yang maju dan ahirnya prabu baranjono tewas, Namun karena murid begawan sakti baranjono hidup lagi.

Sementara Anoman Dan penghuni lainya sibuk perang Arjuno telah sampai didalam rumah kiai Semar dan mengajak pergi ke astina Tanpa sepengetahuan Anoman Dan para penghuni lainya.

Dan anomanpun tidak berani menghadapi Raden Arjuno, Saking bingungnya Anoman Pergi ke kahyangan tuk menanyakan apa maksut kejadian yang telah terjadi di alam semesta.

Tidak lama kemudian Prabu Kresna Dan Prabu Bolodewo Sampai di Karang Kadempel, namun sudah terlambat dan ahirnya para punokawan didandani menjadi para kesatria yang gagah .Gareng Jadi Bambang Cokrowongso Petruk Cokroyudo, Bagong Cokrojiyo,dan disuruh ke astina.

Di kahyangan Alang alang kumitir anoman di wejang atas pertanyaanya kepada Hyang Wenang, dan di ajak melihat situasi tempat penyiksaan dan tempat kebahagiaan,sehingga Anoman menjadi semakin tabah dan setelah itu disuruh kembali tuk membantu Kiai Semar dengan berubah wujud menjadi Seorang Brahmana ( Reksi Amongrogo )

Sesampainya di pinggir Kerajaan Astina Among rogo ketemu Gatutkaca Dan antarja dan Siap membantu kesulitan yang dihadapi kedua satria tersebut.

didalam kerajaan Astina Semar dan Begawan Lumono beradu mulut mengadu kepintaran, sementara semar dan lomono masih debat di alun alun penjelmaan para punokawan membuat kisruh para kurawa tidak bisa mengatasi sehingga lomono turun tangan sendiri dan mengajak baranjono tuk menghadapi para perusuh tadi, dengan kesaktian lomono dan baranjono para punakawan dapat dikalahkan, Dan Resi amongrogo datang membantu para punokawan dan pandowo menghadapi lomono, namun resi Amongrogo dihadapi baranjono yang ternyata adalah penjelmaan gudoyitno (sukmanya Dosomuko)Dan Lomono Berhadapan Dengan Semar. Ternyata Lomono penjelmaan Batara kala Sebelum bertempur Semar sudah tau kalau yang menjadi lomono adalah Batara kala, Dan ahirnya pandawa dan kurawa tidak tersesat atas ajaran lomono.

Karena kedok Begawan Lumono telah terbongkar oleh Semar, akhirnya Lumono si Bethara Kala kembali ke kayangan setra ganda mayit.

Rabu, 11 April 2018

Kisah Gerhana Bulan dalam dunia pewayangan

Kisah Gerhana Bulan dalam dunia pewayangan

Kisah gerhana bulan dlm dunia pewayangan

Rembuculung Tigas
Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba sebagai pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala Ditya Kalarahu yang juga bernama Ditya Rembuculung.

Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa pengembangan seperlunya.

Kediri, 08 September 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Batara Indra

BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA

Pada suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya. Batara Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Batara Guru duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat berkenan melihat hasil kerja Batara Indra yang telah membangun Kahyangan Suralaya di Gunung Mahameru sebagai cabang Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai Marakata, Taman Nadisara, Repat Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna, Sumur Golang Galing, Wot Ogal Agil, sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah Candradimuka, semua dibuat sama persis dengan aslinya.

Demikianlah, jika di Kahyangan JonggringsalakaBatara Guru berwenang mengangkat manusia yang berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra memiliki wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa memberikan umur panjang kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan Suralaya tidak terdapat air kehidupan Tirtamarta Kamandanu.

Batara Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya ini justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki kembaran bernama Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan Suralaya. Jika dulu Tirtamarta Kamandanu diperoleh sang leluhur Sanghyang Nurcahya melalui tapa brata di Kutub Utara, maka Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan.

BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA

Setelah menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati untuk berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian, para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahadewa, Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki.

Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan. Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa dulu.

Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala. Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu, yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba.

Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa lainnya ikut pergi mengawalnya.

BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA

Batara Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para murid yang terdiri dari kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama Ditya Kalarahu bersama anaknya, yang bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu Batara Kala mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu telah menamatkan semua pelajaran darinya, dan berhak menerima murid sendiri untuk ikut menyebarkan Agama Kala. Maka, Batara Kala pun mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta bergelar Resi Rembuculung, sedangkan Ditya Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar Putut Jantaka.

Tidak lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah mengira kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu. Maka, ia pun memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang serangan tersebut.

Resi Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara Indra dan rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai di tepi Hutan Krendawana tersebut.

PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA

Setelah bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur. Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih menyimpan dendam lama. Batara Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk mengundang para raksasa, bukan untuk berperang.

Tiba-tiba Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena teringat beberapa kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain sebagai Ki Dalang Kandabuwana, Jaka Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara Wisnu berusaha menyabarkannya dan mengatakan bahwa itu semua ia lakukan sama sekali bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara ketertiban Pulau Jawa.

Setelah suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara Indra ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba dari dalamnya.

Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya menyatakan setuju mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak yang sama.

Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan Suralaya.

PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA

Setelah para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut Selatan, sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri berada.

Batara Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya perlahan-lahan.Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air kehidupan akan musnah dan gagal diperoleh.

Untuk itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi naga. Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus menyambung tubuh mereka supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut secara sempurna. Selanjutnya, para dewa dan para raksasa berjajar-jajar menjadikan tubuh kedua naga itu sebagai pegangan, lalu mereka bersama-sama bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara perlahan-lahan (pada zaman sekarang seperti membuka baut, di mana kedua naga yang membelit gunung berfungsi sebagai kunci ring).

Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya.

Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.

Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya.Setelah itu, ia dan Batara Narada pun berpamitan untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.

RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh meninggalkan Hutan Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan. Mengenai permintaan kedua akan dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang mencapai kesempurnaan hidup, tentu dapat diangkat menjadi dewa dan boleh meminum Tirtamarta Siwamba.

Batara Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama Kahyangan Selamangumpeng.Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya diserahkan kepada Resi Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat mereka mengajarkan Agama Kala.

Batara Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi Rembuculung tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir jangan-jangan Batara Indra kelak akan mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk melaksanakan niat tersebut.

Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil mencuri cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.

BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke rombongannya.

Resi Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud seorang wanita cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa itu mabuk kepayang dan masing-masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar dan berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi Malini merebut Tirtamarta Siwamba dan membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam wujud Batara Wisnu.

Begitu Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka. Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka mencegahnya. Putut Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji Batara Indra saja. Namun, Resi Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun berangkat sendiri mengejar ke Kahyangan Suralaya.

BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG

Resi Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara Indra berniat meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirtamarta Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru itu sedang berbaris di hadapan Batara Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia segera mengubah wujudnya menjadi seorang dewa pula dan menyelinap masuk ke dalam barisan.

Batara Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah wujud dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara Wisnu. Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung sedang mendapatkan giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala raksasa itu.

Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layangdi udara. Ia pun membuka mulutnya lebar-lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit hatinya.

Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung tersebut ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara Surya dan Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari ataupun bulan.

Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya kepada Sri Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.

Selasa, 10 April 2018

Dewa Ruci

Dewa Ruci

Dewa Ruci
Kisah ini menceritakan perjalanan Raden Werkudara dalam mencari air kehidupan Tirta Prawitasari Mahening Suci atas perintah Resi Druna, hingga akhirnya ia bisa bertemu dan berguru kepada jati dirinya sendiri, yaitu Dewa Ruci di tengah Samudera Minangkalbu.
Kisah ini diolah heri purwanto dari sumber Serat Babad Ila-ila, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dan juga Ki Manteb Soedharsono, dengan pengembangan seperlunya.
------------------------------ ooo ------------------------------
Arya Bimasena dibelit Naga Nemburnawa.
PRABU DURYUDANA MEMINTA RESI DRUNA MEMBUNUH ARYA WREKODARA
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta adik-adiknya, yaitu para Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana dan Raden Kartawarma.
Dalam pertemuan itu, Prabu Duryudana membahas tentang kutukan Resi Mitreya terhadap Arya Dursasana beberapa hari yang lalu, saat Dewi Dursilawati menikah dengan Adipati Jayadrata. Dalam kemarahannya, Resi Mitreya mengutuk Arya Dursasana yang tidak dapat mengenali kebenaran, maka kelak ia akan mati dalam keadaan sulit dikenali. Kutukan tersebut sangat mengganggu pikiran Prabu Duryudana, bahkan sampai terbawa mimpi. Dalam mimpinya itu, Prabu Duryudana melihat sebuah perang besar bernama Perang Bratayuda. Perang saudara ini sesuai dengan ramalan Bagawan Abyasa dahulu kala, yaitu perang antara keturunan Adipati Dretarastra melawan keturunan Prabu Pandu Dewanata. Dalam perang tersebut, Prabu Duryudana melihat Arya Dursasana dibunuh Arya Wrekodara secara kejam. Tubuhnya dicabik-cabik hingga mayatnya tidak dapat dikenali lagi. Prabu Duryudana juga melihat Arya Wrekodara membantai para Kurawa lainnya hingga tidak tersisa seorang pun.
Mimpi buruk yang dialami Prabu Duryudana terjadi berkali-kali selama beberapa malam. Sejak kecil hubungan antara Prabu Duryudana dengan Arya Wrekodara memang kurang baik. Keduanya sering berkelahi, bahkan Prabu Duryudana pernah mencoba membunuh Arya Wrekodara beserta para Pandawa lainnya melalui peristiwa Balai Sigalagala. Namun demikian, mereka berdua akhirnya bisa rukun dan berdamai ketika sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa) di Gunung Rewataka.
Kini akibat mimpi buruk tersebut, Prabu Duryudana kembali membenci Arya Wrekodara. Ia sangat takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia khawatir ramalan tentang Perang Bratayuda benar-benar terjadi, dan Arya Wrekodara pun membunuh Arya Dursasana sesuai kutukan Resi Mitreya.
Untuk itu, Prabu Duryudana berniat meminta Resi Druna agar membunuh Arya Wrekodara. Bagaimanapun juga Resi Druna adalah guru para Pandawa dan Kurawa, sehingga sudah pasti memahami kelemahan setiap murid-muridnya.
Resi Druna terkejut mendapat perintah demikian. Ia merasa keberatan karena dirinya adalah pendeta, bukan algojo pencabut nyawa. Dirinya juga seorang guru, bukan jagal manusia. Apalagi membunuh Arya Wrekodara yang merupakan murid sendiri, jelas itu tidak mungkin.
Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengingatkan dahulu kala Resi Druna bisa mendapatkan pangkat dan derajat, serta segala kemewahan hidup dari Adipati Dretarastra. Hingga Resi Druna pun pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan Hastina dan mematuhi segala perintah yang diberikan raja Hastina. Saat ini yang duduk di atas takhta adalah Prabu Duryudana, putra Adipati Dretarastra, tentunya sumpah yang dulu diucapkan tetap berlaku. Apalagi Prabu Duryudana jauh lebih dermawan daripada ayahnya. Prabu Duryudana telah mengucurkan dana besar-besaran untuk pembangunan Padepokan Sokalima menjadi lebih megah dan lebih besar. Prabu Duryudana juga mendirikan dan memimpin sebuah yayasan untuk lebih mengembangkan Padepokan Sokalima. Kini Resi Druna memiliki banyak sekali murid golongan raja dan pangeran yang berasal dari berbagai kerajaan, itu pun berkat pemasaran gencar yang dilakukan para Kurawa.
Resi Druna mengakui dirinya kini telah menjadi orang terpandang yang kaya raya dan berkedudukan tinggi, itu semua berkat sokongan Prabu Duryudana. Ia pun bersumpah akan selalu setia kepada Kerajaan Hastina dan tidak akan pernah mengkhianati Prabu Duryudana. Meskipun dulu Prabu Duryudana adalah muridnya, tetapi kini telah menjadi raja yang harus ia sembah. Akan tetapi, perintah untuk membunuh Arya Wrekodara tetap saja Resi Druna berat hati untuk melakukannya.
Patih Sangkuni mengatakan, Resi Druna tidak perlu membunuh secara langsung, melainkan cukup menjerumuskan Arya Wrekodara saja. Sebagai guru tentunya ada banyak cara untuk memerintahkan muridnya melakukan sesuatu, dan si murid pasti akan mewujudkannya meskipun itu sangat berbahaya.
RESI DRUNA MEMERINTAHKAN ARYA WREKODARA MENCARI KAYU GUNG SUSUHING ANGIN
Resi Druna merenung sesaat kemudian menyanggupi usulan Patih Sangkuni. Kebetulan saat pernikahan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati beberapa hari yang lalu, Arya Wrekodara datang bersama Prabu Kresna untuk menjemput pulang Raden Permadi. Pada saat itu Arya Wrekodara sempat mengutarakan perasaannya kepada Resi Druna. Arya Wrekodara berkata dirinya kagum kepada Raden Permadi yang memiliki banyak guru. Sebagai saudara yang lebih muda, ternyata Raden Permadi memiliki kesaktian yang lebih beraneka ragam daripada dirinya, apalagi saat itu sang adik baru saja berguru kepada Resi Mitreya, seorang pendeta sepuh berilmu tinggi dari Gunung Mestri.
Resi Druna lalu bertanya apakah Arya Wrekodara iri kepada adiknya itu. Arya Wrekodara menjawab tidak iri sama sekali. Yang ia inginkan bukan menambah berbagai macam ilmu kesaktian, tetapi ingin belajar ilmu kesempurnaan hidup. Ia ingin belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Ia ingin memahami dan bukan sekadar mengetahui tentang hidup ini dari mana, untuk apa, dan setelah berakhir hendak ke mana.
Resi Druna yang saat itu sedang sakit hati karena Raden Premadi berguru kepada Resi Mitreya langsung menjawab sanggup mengajari Arya Wrekodara, tetapi tidak di hari itu. Kelak apabila Arya Wrekodara sudah siap lahir batin, maka ia boleh datang ke Padepokan Sokalima untuk mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi tersebut. Arya Wrekodara merasa senang dan berjanji dirinya pasti akan segera datang.
Demikianlah Resi Druna mengakhiri ceritanya. Ia pun berniat memanfaatkan Arya Wrekodara yang ingin berguru untuk menjerumuskan Pandawa nomor dua tersebut. Sungguh kebetulan, tidak lama kemudian Arya Wrekodara benar-benar datang di istana Hastina.
Prabu Duryudana menyambut ramah kedatangan adik sepupunya itu dan bertanya ada keperluan apa tiba-tiba datang ke Kerajaan Hastina. Arya Wrekodara menjawab bahwa sesungguhnya ia telah pergi ke Padepokan Sokalima untuk menemui Resi Druna. Akan tetapi, menurut para janggan dan cantrik di sana, Resi Druna telah pergi ke Kerajaan Hastina untuk mengunjungi Prabu Duryudana. Arya Wrekodara merasa tidak sabar menunggu sang guru pulang, dan memutuskan untuk pergi menyusul.
Kini Arya Wrekodara telah bertemu Resi Druna dan menyatakan dirinya telah siap lahir batin menerima pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari sang guru. Resi Druna menjawab dirinya bersedia memberikan wejangan di Padepokan Sokalima, tetapi Arya Wrekodara harus lebih dulu membuktikan kesiapannya. Untuk menerima ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Arya Wrekodara harus dapat memenuhi syarat-syaratnya, yaitu menyerahkan Kayu Gung Susuhing Angin terlebih dahulu. Kayu ajaib ini konon hanya tumbuh di puncak Gunung Candramuka, tepatnya di dalam Gua Sigrangga.
Arya Wrekodara menjawab sanggup. Ia pun mohon pamit pergi mencari kayu tersebut. Prabu Duryudana pura-pura merasa berat hati melepas kepergian sepupunya itu. Ia memeluk Arya Wrekodara dan memberikan restu kepadanya semoga berhasil. Ia juga menawarkan bala bantuan sebagai pengawal. Namun, Arya Wrekodara menolak itu semua karena ini adalah urusan pribadinya dan ia tidak ingin merepotkan orang lain. Setelah berkata demikian, Arya Wrekodara pun berangkat meninggalkan Kerajaan Hastina.
Setelah Arya Wrekodara pergi, Patih Sangkuni bertanya kepada Resi Druna mengapa menyuruhnya pergi ke Gunung Candramuka. Resi Druna menjawab bahwa Kayu Gung Susuhing Angin itu sesungguhnya tidak ada. Semua ini hanyalah akal-akalan dirinya saja. Ia pernah mendengar kabar, bahwa Gunung Candramuka adalah tempat yang angker mengerikan. Di sana terdapat Gua Sigrangga yang dihuni sepasang raksasa bengis, yang gemar memangsa daging manusia. Kedua raksasa itu konon sangat perkasa dan juga kejam. Jika Arya Wrekodara pergi ke sana dan bertemu dengan kedua raksasa tersebut, maka itu sama artinya dengan mengantar nyawa.
Patih Sangkuni gembira mendengarnya. Ia bertanya apakah Arya Wrekodara pasti mati jika berhadapan dengan kedua raksasa itu? Resi Druna menjawab belum tentu. Lahir atau mati adalah suratan takdir, bukan dirinya yang menentukan. Manusia hanya bisa merencanakan, dan semua hasilnya terserah Yang Mahakuasa. Yang jelas, ia sudah menjalankan tugas untuk menjerumuskan Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Prabu Duryudana merasa bimbang. Ia lalu memerintahkan Raden Kartawarma untuk mengawasi Arya Wrekodara dari kejauhan. Apabila Arya Wrekodara tidak tewas melawan kedua raksasa itu, maka Raden Kartawarma harus cepat-cepat pulang untuk melapor, agar Resi Druna dapat segera menyiapkan rencana kedua. Raden Kartawarma menyanggupi dan segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
ARYA WREKODARA MENGHADAPI DUA RAKSASA
Arya Wrekodara telah sampai di Gunung Candramuka. Ia menemukan Gua Sigrangga dan memasukinya untuk mencari keberadaan Kayu Gung Susuhing Angin. Gua tersebut ternyata dihuni dua raksasa bertubuh besar menyeramkan. Mereka pun marah dan menyerang Arya Wrekodara.
Raksasa yang tua bernama Ditya Rukmuka, sedangkan yang muda bernama Ditya Rukmakala. Mereka berebut ingin menangkap dan memangsa tubuh Arya Wrekodara sebagai santapan. Namun, Arya Wrekodara dapat dengan tangkas menandingi keganasan mereka. Mula-mula Ditya Rukmuka dapat dibunuh. Perutnya robek terkena Kuku Pancanaka di tangan Arya Wrekodara. Anehnya, begitu Ditya Rukmakala melangkahi mayatnya, seketika Ditya Rukmuka pun bangkit kembali. Kemudian ketika Ditya Rukmakala yang tewas terkena tendangan Arya Wrekodara, ia pun hidup kembali setelah dilangkahi Ditya Rukmuka.
Arya Wrekodara merasa kewalahan menghadapi kedua raksasa tersebut. Dalam keadaan letih, ia mengheningkan cipta menenangkan diri. Sungguh aneh, begitu Arya Wrekodara mengheningkan cipta justru kedua lawannya menjadi limbung dan sempoyongan. Arya Wrekodara pun menjambak rambut mereka dan membenturkan kepala keduanya hingga pecah. Kedua raksasa itu pun tewas dan tidak bisa bangkit kembali.
ARYA WREKODARA MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA INDRA DAN BATARA BAYU
Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala telah terbunuh. Mayat mereka tiba-tiba musnah menjadi asap dan berubah menjadi dua orang dewa. Ditya Rukmuka menjadi Batara Indra, sedangkan Ditya Rukmakala menjadi Batara Bayu. Kedua dewa itu berterima kasih karena Arya Wrekodara telah meruwat mereka sehingga bisa kembali menjadi dewa.
Arya Wrekodara bertanya mengapa Batara Indra dan Batara Bayu berubah wujud menjadi raksasa kembar. Batara Bayu bercerita bahwa pada suatu hari Batara Guru mengadakan pertemuan di Kahyangan Jonggringsalaka. Pada saat itu Batari Wilotama ditugasi menari menghibur para dewa yang hadir. Batara Indra dan Batara Bayu datang terlambat. Batara Indra lalu meminta Batara Bayu agar mengerahkan angin kencang agar mendorong tubuh mereka berdua sehingga bisa tiba di Kahyangan Jonggringsalaka lebih cepat. Batara Bayu menyanggupi. Ia pun mengerahkan angin dan seketika dirinya dan Batara Indra pun sampai di hadapan Batara Guru. Sialnya, angin tersebut juga ikut meniup tubuh Batari Wilotama yang sedang menari. Akibatnya, pakaian Batari Wilotama menjadi tersingkap dan membuat Batara Guru sangat marah kepada Batara Bayu dan Batara Indra. Itulah sebabnya mereka menjadi raksasa kembar adalah karena kutukan yang diucapkan Batara Guru.
Kini kedua dewa itu berterima kasih kepada Arya Wrekodara karena telah membebaskan diri mereka dari kutukan. Arya Wrekodara balik bertanya di mana kira-kira ia bisa menemukan Kayu Gung Susuhing Angin. Batara Indra menjawab Kayu Gung Susuhing Angin bukan berwujud seperti kayu pada umumnya, melainkan itu adalah bahasa perlambang. Kayu Gung bermakna “kayu besar”, sesungguhnya adalah kiasan untuk raga manusia, sedangkan Susuhing Angin bermakna “rumah angin”. Maka, makna dari Kayu Gung Susuhing Angin adalah manusia yang merupakan tempat keluar masuknya angin atau disebut napas. Napas yang masuk membawa udara bersih, kemudian diedarkan ke seluruh bagian tubuh, dan keluar membawa udara kotor.
Arya Wrekodara bertanya apakah gurunya telah berbohong dengan menugasi dirinya mencari benda yang tidak pernah ada. Batara Bayu menjawab sama sekali tidak. Tugas yang diberikan Resi Druna bukanlah kebohongan, melainkan sebuah teka-teki. Kayu Gung Susuhing Angin bukan berwujud benda, tetapi berwujud pelajaran. Gunung Candramuka, Gua Sigrangga, Ditya Rukmuka, Ditya Rukmakala, Batara Indra, dan Batara Bayu, semuanya mengandung hikmah pelajaran. Mengenai makna dari pelajaran tersebut kelak Arya Wrekodara akan menemukannya sendiri, apabila bersungguh-sungguh. Untuk itu, jika Resi Druna memberikan tugas selanjutnya, maka jangan sampai Arya Wrekodara menolaknya.
Arya Wrekodara pun menyanggupi saran Batara Bayu tersebut. Sebagai ungkapan terima kasih, Batara Indra pun memberikan hadiah berupa Cincin Druwenda Mustika Manik Candrama. Khasiat dari cincin tersebut adalah bisa melindungi keselamatan Arya Wrekodara apabila tercebur di dalam air. Arya Wrekodara menerima hadiah tersebut dengan rendah hati dan mengenakannya di jari. Setelah dirasa cukup, Batara Bayu dan Batara Indra undur diri kembali ke kahyangan.
RESI DRUNA MENUGASI ARYA WREKODARA MENCARI AIR KEHIDUPAN
Raden Kartawarma telah melapor kepada Prabu Duryudana bahwa Arya Wrekodara tidak mati dibunuh kedua raksasa penunggu Gunung Candramuka, tetapi justru berhasil menewaskan mereka. Prabu Duryudana sangat kesal dan meminta Resi Druna menyusun rencana kedua untuk menyingkirkan sepupunya itu.
Tidak lama kemudian, Arya Wrekodara pun muncul dan langsung menghadap Resi Druna. Ia menceritakan pengalamannya di Gunung Candramuka, di mana ia tidak menjumpai Kayu Gung Susuhing Angin di sana, tetapi bertemu dua raksasa yang akhirnya teruwat menjadi dewa, yaitu Batara Indra dan Batara Bayu. Resi Druna menjawab mereka berdua itulah yang dimaksud dengan Kayu Gung Susuhing Angin. Dengan kata lain, Arya Wrekodara dianggap telah lulus memenuhi syarat pertama.
Arya Wrekodara lalu bertanya apakah dirinya sudah bisa mulai belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi. Resi Druna menjawab belum, karena masih ada satu syarat lagi, yaitu Arya Wrekodara harus dapat menemukan air kehidupan Tirta Prawitasari Mahening Suci yang terletak di Samudera Minangkalbu. Arya Wrekodara pun bertanya di mana letak samudera tersebut. Resi Druna menjawab, Minangkalbu artinya meminang hati. Arya Wrekodara silakan bertanya kepada hatinya sendiri di mana letak samudera tersebut. Jika ia yakin ke arah utara, silakan mencebur ke laut utara, dan jika mantap ke selatan, silakan mencebur ke laut selatan.
Teringat pada pesan Batara Bayu, Arya Wrekodara pun menyatakan sanggup. Ia lalu mohon pamit berangkat melaksanakan tugas kedua tersebut.
ARYA WREKODARA BERPAMITAN KEPADA SAUDARA-SAUDARANYA
Arya Wrekodara merasa tugas mencari Tirta Prawitasari jauh lebih berat daripada mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Maka, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu ke Kerajaan Amarta untuk mohon pamit dan meminta doa restu kepada ibu dan empat saudaranya.
Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Permadi, serta si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa menyambut kepulangan Arya Wrekodara. Kepada mereka, Arya Wrekodara bercerita tentang niatnya untuk belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi Lepasing Budi kepada Resi Druna, dengan syarat harus bisa menemukan air kehidupan Tirta Prawitasari Mahening Suci di Samudera Minangkalbu.
Prabu Puntadewa dan yang lain terkejut. Dewi Kunti segera meminta agar Arya Wrekodara membatalkan niatnya. Namun, Arya Wrekodara menolak karena sudah terlanjur menyanggupi. Raden Permadi menanggapi bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah didesak Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua. Prabu Puntadewa membenarkan hal itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu Duryudana semasa muda dibantu Patih Sangkuni pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap para Pandawa beserta Dewi Kunti dalam peristiwa Balai Sigalagala.
Arya Wrekodara berkata bahwa dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan lagi mengungkit-ungkit soal Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru melanggarnya perkataannya sendiri? Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara sama-sama berguru kepada Wasi Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan mengumumkan bahwa Prabu Duryudana (saat itu masih bernama Raden Kurupati) telah bertobat dan ingin memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Untuk itu, para Pandawa tidak boleh lagi menganggap Kurawa sebagai musuh. Sungguh mengherankan, mengapa sekarang tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh prasangka buruk, menduga Prabu Duryudana pasti telah mendesak Resi Druna untuk mencelakakan dirinya?
Dewi Kunti sangat sedih karena Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi mencebur samudera. Karena terlalu sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu, Dewi Drupadi segera memapah tubuhnya masuk ke dalam kedaton.
Raden Nakula dan Raden Sadewa ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya Wrekodara kiri dan kanan, meminta agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis meratapi nasib sebagai anak yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah dan ibu. Mereka menganggap Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini. Arya Wrekodara tidak hanya berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai ibu bagi mereka. Dulu saat kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke sana kemari. Juga apabila tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati dilalap kobaran api dalam peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden Sadewa menganggap Arya Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.
Arya Wrekodara merasa bimbang untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk mengetahui seluk-beluk ilmu Sangkan Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun mengibaskan tangan si kembar, lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata dirinya bersifat kaku, tidak bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun menjunjung tubuh si kakak sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus dan suci, ia meminta restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika niatnya bengkok, maka relakanlah dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa ikan hiu.
Prabu Puntadewa melihat semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya Wrekodara semoga berhasil meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak sulung kemudian mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa yang lain melepas kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak mereka masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang Mahakuasa, memohon yang terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.
ARYA WREKODARA DIHADANG RESI ANOMAN
Arya Wrekodara berusaha memantapkan hati. Ia menuruti bisikan kalbunya agar berjalan menuju arah selatan. Di tengah jalan tiba-tiba dirinya berjumpa dengan sang kakak angkat, yaitu Resi Anoman, sesama Kadang Tunggal Bayu yang tinggal di Padepokan Kendalisada.
Resi Anoman bertanya apa tujuan Arya Wrekodara berjalan ke selatan. Arya Wrekodara menjelaskan semuanya dari awal, yaitu ia ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi kepada Resi Druna. Resi Anoman tampak kecewa dan meminta sang adik agar kembali. Apa gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu perang, bukan guru ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara Bisma. Mereka berdua jauh lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna terkenal sebagai pendeta mata duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu Duryudana, muridnya sendiri yang kaya raya.
Arya Wrekodara merasa kecewa dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama ialah Resi Anoman telah menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu menilai orang dari luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang pendeta ternyata pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka membanding-bandingkan antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang pendeta itu lebih teduh pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur budi pekertinya. Menghakimi Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena didorong perasaan amarah semata, bukan hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi hati yang jernih.
Resi Anoman tersinggung atas ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara untuk memaksanya kembali. Arya Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu berkelahi. Arya Wrekodara berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat, maka cita-citanya pasti akan tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun berhasil meloloskan diri dari pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Samudera Minangkalbu.
Resi Anoman tersenyum melihat kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah ingin mencoba keteguhan tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat serta niat yang lurus dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya Wrekodara mendapat keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan Yang Mahakuasa.
ARYA WEKODARA MENCEBUR SAMUDERA MELAWAN NAGA NEMBURNAWA
Arya Wrekodara telah sampai di tepi laut selatan. Tampak ombak bergulung-gulung membuat hatinya bergetar. Sejak kecil dirinya kurang pandai berenang, namun kini terlanjur menyanggupi untuk mencebur samudera, mencari keberadaan air kehidupan Tirta Prawitasari Mahening Suci. Pikirannya pun berbisik sebaiknya pulang saja dan meminta Resi Druna memberikan tugas lainnya yang tidak berhubungan dengan air.
Tiba-tiba di atas kepala Arya Wrekodara tampak seekor burung gagak dan seekor burung patukbawang sedang terbang berputar-putar.Arya Wrekodara seolah-olah bisa mendengar mereka berbicara tentang kematian. Mereka berkata bahwa hidup atau mati ada di tangan Sang Pencipta. Mencebur ke dalam lautan bisa jadi tetap selamat, sedangkan tidur di rumah bisa jadi tidak bangun lagi untuk selamanya. Arya Wrekodara merasa tersindir. Sebagai kesatria ternyata ia kalah pemikiran dibanding dua ekor burung kecil. Dengan membulatkan tekad, ia pun melompat sejauh-jauhnya, dan tubuhnya pun mencebur ke dalam lautan.
Ternyata benar, Yang Mahakuasa memberikan perlindungan kepadanya. Cincin Druwenda Mustika Manik Candrama pemberian Batara Indra dan Batara Bayu telah membuat tubuh Arya Wrekodara mengambang. Ia pun berjalan dengan kaki di dalam air menuju ke tengah. Semakin lama, makin ke tengah menuruti bisikan kalbunya.
Tiba-tiba muncul sesosok makhluk berwujud besar dan panjang menyambar tubuhnya. Makhluk tersebut berwujud naga yang langsung membelitnya mulai kaki hingga leher. Arya Wrekodara pun meronta-ronta. Namun, semakin meronta, belitan sang naga justru semakin erat. Ketika mulut si naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Wrekodara sempat menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga itu pun mati dan bangkainya musnah dari pandangan.
ARYA WREKODARA BERTEMU DEWA RUCI
Setelah sang naga lenyap, tubuh Arya Wrekodara digulung ombak besar. Ombak tersebut membuat dirinya semakin menengah. Arya Wrekodara tidak lagi melawan saat tubuhnya terombang-ambing bagaikan buih di lautan. Ia berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Mahakuasa ke mana dirinya akan dibawa. Ia sudah tidak merasakan apa-apa lagi, bagaikan “mati sajeroning urip, urip sajeroning mati”.
Pada saat mencapai puncak penyerahan diri itulah, Arya Wrekodara tiba-tiba dibangunkan oleh suara seseorang. Ketika membuka mata tiba-tiba ia melihat perwujudan yang sama persis seperti dirinya, tetapi ukuran tubuhnya kecil seukuran anak-anak. Orang itu mengaku bernama Dewa Ruci.
Dewa Ruci berkata bahwa Tirta Prawitasari Mahening Suci yang dicari Arya Wrekodara ada pada dirinya. Arya Wrekodara heran mengapa orang itu bisa mengetahui isi hatinya. Tidak hanya itu, Dewa Ruci ternyata bisa menjelaskan riwayat perjalanan Arya Wrekodara dari awal, lengkap dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Mula-mula Arya Wrekodara pergi mencari Kayu Gung Susuhing Angin di Gunung Candramuka, tepatnya di Gua Sigrangga. Kayu Gung Susuhing Angin adalah kiasan dari manusia, yaitu tempat keluar-masuknya udara. Gunung Candramuka adalah perlambang dari wajah yang indah, sedangkan Gua Sigrangga adalah perlambang dari tubuh yang menawan. Ditambah dengan Ditya Rukmuka adalah kiasan untuk keindahan muka, sedangkan Ditya Rukmakala adalah kiasan untuk keindahan perhiasan.
Wajah yang indah, tubuh yang menawan, ditambah dengan berdandan dan memakai perhiasan pula, baik itu bagi kaum pria ataupun wanita adalah hal yang wajar. Karena, penampilan yang baik akan membuat orang lain lebih menghormati. Akan tetapi, ada kalanya manusia lebih mementingkan penampilan fisik daripada keindahan batin. Seringkali manusia lupa diri, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memperbaiki jasmani daripada rohani. Itulah sebabnya, setelah pertarungan berakhir, yang muncul adalah Batara Indra dan Batara Bayu. Batara Indra adalah kiasan untuk panca indra, sedangkan Batara Bayu adalah kiasan untuk napas. Peristiwa di Gunung Candramuka adalah kiasan bahwa Arya Wrekodara telah mampu menundukkan godaan panca indra untuk memperindah penampilan, serta mengatur olah napas untuk mengendalikan pikiran yang liar.
Selanjutnya, Arya Wrekodara dicegah saudara-saudaranya, yaitu Prabu Puntadewa, Raden Arjuna, Raden Nakula, Raden Sadewa, ditambah dengan Resi Anoman. Mereka adalah perlambang saudara gaib manusia, yaitu yang disebut “sedulur papat lima pancer”. Yang empat adalah kawah, ari-ari, getih, dan puser. Mereka adalah empat saudara yang ikut lahir bersama bayi melalui “marga ina” atau kelamin ibu. Secara fisik keempat saudara ini telah mati, tetapi secara rohani mereka selalu menjaga si bayi siang dan malam.
Keempat Pandawa pada mulanya mencegah dan menghalangi, namun kemudian mereka bersama memasuki sanggar pemujaan untuk mendoakan keselamatan Arya Wrekodara. Demikianlah kiasan dari sedulur papat yang selalu memerhatikan keselamatan si manusia, tetapi jika manusia membulatkan tekad menempuh bahaya, maka keempatnya akan tetap melindungi dan mengusahakan keselamatannya.
Sementara itu, Resi Anoman adalah kiasan dari sedulur pancer, yaitu Marmati, yang disebut juga Ratu Jalu-Ratu Estri. Adapun Marmati ini tidak lahir melalui marga ina, tetapi lahir melalui debaran dada sang ibu ketika hendak melahirkan. Marmati bersemayam di dalam kalbu manusia, memberikan petunjuk siang dan malam. Umumnya manusia menyebutnya sebagai hati nurani, sedangkan kaum negeri seberang menyebutnya sebagai malaikat penjaga. Orang-orang yang menuruti hawa nafsu dalam menjalani kehidupan disebut sebagai kaum angkara murka, yaitu orang-orang yang tidak mau mendengar suara hati nurani. Mereka lebih suka mengumbar keinginan apa yang terlihat oleh panca indra. Kaum seberang lautan menyebutnya dengan istilah godaan setan.
Selanjutnya, Arya Wrekodara mencebur ke tengah laut dan diserang seekor naga. Sesungguhnya naga tadi bernama Naga Nemburnawa, yang merupakan kiasan dari hawa nafsu pribadi manusia. Hawa nafsu sifatnya seperti ular yang mengikat dan membelit jiwa manusia agar mengikuti kemauannya. Manusia yang menuruti hawa nafsu diibaratkan seperti dibelit, diseret, dan dicaplok ular kepalanya. Itulah sebabnya legenda di Timur Tengah mengisahkan iblis mengambil wujud ular saat menggoda Adam dan Hawa agar melakukan dosa pertama. Bukan berarti ular adalah lambang keburukan, tetapi ular adalah lambang nafsu yang mematuk dan membelit manusia.
Nemburnawa artinya sembilan lubang. Sembilan lubang inilah yang hendaknya dijaga dengan baik oleh manusia agar tidak semakin terjerumus ke dalam lembah nafsu keduniawian. Kesembilan lubang tersebut adalah dua mata, dua telinga, dua hidung, satu mulut, satu kemaluan, dan satu pembuangan. Dalam peristiwa tadi Arya Wrekodara berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa menggunakan Kuku Pancanaka, ini merupakan perlambang seorang manusia yang telah mengheningkan cipta, menggenggam tekad, berhasil membebaskan dirinya dari belitan hawa nafsu.
Selanjutnya, Arya Wrekodara terombang-ambing digulung ombak. Tanpa melawan ia berserah diri. Demikianlah hendaknya manusia. Setelah mampu memerangi hawa nafsu, hendaknya bersikap rendah hati di hadapan sesama makhluk, dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta. Adakalanya seseorang merasa bangga setelah berhasil menundukkan nafsunya. Tanpa ia sadari bahwa perasaan bangga itu justru membuatnya terbelit oleh nafsu yang lain.
Manusia yang sempurna justru yang bersikap rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta. Kemudian tubuh Arya Wrekodara yang terombang-ambing digulung ombak tetapi tidak tenggelam adalah perlambang manusia yang tetap tenang menghadapi pasang surut kehidupan, tetapi tidak sampai tenggelam, baik itu di dalam suka ataupun duka.
ARYA WREKODARA MENDAPAT WEJANGAN DI DALAM DIRI SANG DEWA RUCI
Dewa Ruci lalu berkata kepada Arya Wrekodara agar memasuki tubuhnya melalui telinga kiri apabila ingin mendapatkan Tirta Prawitasari Mahening Suci. Arya Wrekodara merasa bimbang. Mana mungkin tubuhnya yang tinggi besar mampu memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil mungil seperti itu? Dewa Ruci menjawab, jangankan hanya seorang Wrekodara, sedangkan bumi, langit, bahkan seluruh alam semesta pun bisa muat di dalam tubuh Dewa Ruci.
Arya Wrekodara baru sadar dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Ia tidak berani lagi berkaacak pinggang, melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan bahasa halus sehalus-halusnya. Padahal, selama ini ia selalu berdiri tegak dan berkacak pinggang jika berhadapan dengan siapa saja, bahkan di depan Batara Guru sekalipun.
Arya Wrekodara pun berserah diri sepenuhnya. Dengan tenang ia memasuki telinga kiri Dewa Ruci. Sungguh ajaib, keadaan di dalam tubuh Dewa Ruci ternyata luas sekali, bagaikan tanpa batas. Arya Wrekodara sama sekali tidak dapat membedakan mana utara, mana selatan, mana barat, mana timur. Suasana di dalam pun terang tetapi tidak menyilaukan. Tidak ada matahari, tidak ada rembulan, juga tidak ada pelita. Hawa di sana pun tidak panas, juga tidak dingin. Benar-benar menentramkan hati.
Terdengar kemudian suara Dewa Ruci membimbing Arya Wrekodara. Mula-mula Arya Wrekodara melihat pemandangan samudera luas tanpa tepi. Dewa Ruci pun berkata bahwa itu adalah gambaran “wahananing tyas pribadi”. Itulah wujud perlambang luasnya kalbu manusia. Namun, karena manusia lebih menuruti hawa nafsu, mereka pun banyak yang berpikiran sempit, atau istilahnya berhati kecil.
Arya Wrekodara kemudian melihat pemandangan cahaya samar-samar. Dewa Ruci menjelaskan bahwa itu adalah Pancamaya yang merupakan “wahananing jantung” atau sejatinya kalbu. Sifatnya sebagai pemuka, bersemayam di dalam cipta, dan mengendalikan indra penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, dan peraba.
Arya Wrekodara lalu melihat cahaya empat macam, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing budi”, yang mewujudkan nafsu empat perkara. Cahaya hitam adalah kiasan untuk nafsu badaniah, yaitu membuat manusia merasa lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu angkara, membuat manusia ingin meraih cita-cita derajat lebih tinggi. Cahaya kuning adalah kiasan nafsu keinginan. Nafsu ini mendorong manusia untuk meraih kegembiraan, baik itu melalui birahi, maupun melalui kegemaran mengumpulkan barang kesukaan, ataupun menikmati hiburan lainnya. Cahaya putih adalah perlambang nafsu pemujaan. Nafsu ini mendorong manusia untuk ingin berbuat baik, ataupun ingin bersembahyang dan beribadah. Keempat nafsu tersebut ibaratnya menjadi bahan bakar bagi manusia, tetapi harus dikendalikan dengan baik dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi racun bagi kehidupan.
Arya Wrekodara kemudian melihat cahaya yang menyala seperti api, namun memancarkan sinar tujuh warna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dan jingga. Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing Pangeran” atau “cahyaning pramana”. Kedelapan sinar itu merupakan perlambang dari kuasa penciptaan. Sinar hitam menunjukkan “nisthaning cipta”, sinar merah menunjukkan “dhustaning cipta”, sinar kuning menunjukkan “doraning cipta”, sinar putih menunjukkan “setyaning cipta”, sinar hijau menunjukkan “sentosaning cipta”, sinar biru menunjukkan “sembadaning cipta”, dan sinar jingga menunjukkan “owah-gingsiring cipta”.
Arya Wrekodara lalu melihat wujud seperti tawon gumana, jernih cahayanya. Dewa Ruci menjelaskan itu adalah perlambang “pramananing sukma”, meliputi jagad besar dan jagad kecil, yang sumber kehidupannya dari “pramananing rasa”.
Arya Wrekodara kemudian melihat wujud seperti boneka gading yang jika diamati seperti bertahtakan mutiara. Wujudnya bersinar terang benderang. Dewa Ruci menyebut itulah yang dinamakan “pramananing rahsa” yang berkuasa atas “purba wasesa” terhadap alam seisinya, mendapat hidup dari Sang Hyang Atma.
Terakhir Arya Wrekodara melihat wujud sifat tunggal, bukan laki-laki juga bukan perempuan. Tidak bertempat juga tidak bertakhta. Tanpa rupa dan tanpa warna. Cahayanya gilang-gemilangtanpa bayangan. Dewa Ruci menyebut itu adalah “Atma Gaib, Sipat Sejati”. Dialah yang kuasa mengatur alam semesta, bertempat di dalam “Sang Urip”.
Arya Wrekodara merasa nyaman tinggal di dalam diri Sang Dewa Ruci. Ingin rasanya ia selamanya tinggal di sana. Dewa Ruci berkata bahwa belum saatnya Arya Wrekodara menyatu dengan diri-Nya. Masih banyak yang harus ia lakukan di alam nyata. Untuk itu, Arya Wrekodara harus kembali ke dunia untuk menyebarkan kasih sayang di antara sesama makhluk, tanpa melihat perbedaan dari jenis apa, suku apa, bangsa apa, agama apa, ataupun golongan apa pun juga.
Arya Wrekodara menurut. Ia pun keluar melalui telinga kanan Dewa Ruci. Sungguh ajaib, saat keluar rambutnya telah digelung, tidak lagi terurai seperti tadi. Dewa Ruci kini juga berwujud sama persis seperti dirinya, karena Dewa Ruci memang perwujudan jati dirinya sendiri.
Dewa Ruci menjelaskan mengapa kini Arya Wrekodara memakai gelung minangkara, adalah perlambang agar ia selalu rendah hati dan berserah diri. Gelung minangkara berwujud rendah di depan, tinggi di belakang, atau kecil di depan, besar di belakang. Meskipun Arya Wrekodara telah mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi, pernah merasakan Manunggaling Kawula Gusti, namun hendaknya tetap rendah hati, tidak menunjukkan keberhasilannya di depan umum. Arya Wrekodara tidak boleh tinggi hati, juga tidak boleh pamer kepandaian. Hendaknya Arya Wrekodara tetap menjadi manusia sejati, yaitu rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah, Dewa Ruci telah menjelaskan semuanya. Ia berpesan agar Arya Wrekodara selalu menghormati Resi Druna yang merupakan gurunya di alam nyata. Tanpa perintah dari Resi Druna, tidak mungkin Arya Wrekodara dapat bertemu dengan Dewa Ruci. Usai berkata demikian, ia pun menghilang menjadi seberkas cahaya dan masuk ke dalam diri Arya Wrekodara.
RESI DRUNA MENYUSUL ARYA WREKODARA
Raden Permadi sangat mengkhawatirkankeselamatan kakak keduanya. Ia pun bergegas menuju Kerajaan Hastina dan di tengah jalan bertemu Resi Druna yang hendak pulang ke Padepokan Sokalima. Dengan isak tangis, Raden Permadi meminta sang guru bertanggung jawab apabila Arya Wrekodara tidak kembali ke daratan. Resi Druna harus menyusul mencebur ke dalam samudera.
Resi Druna kecewa di dalam hati karena dulu pernah membangga-banggakan Raden Permadi sebagai murid terbaiknya. Tak disangka, sang murid justru meminta dirinya mencebur ke laut. Akan tetapi, jika dipikir-pikir memang Resi Druna adalah penyebab terjerumusnya Arya Wrekodara. Ia pun berkata jika lewat tengah hari Arya Wrekodara belum juga kembali, maka dirinya bersedia mencebur samudera untuk menyusul muridnya itu.
Akhirnya, matahari pun mulai condong ke barat. Resi Druna bergegas menuju ke lautan dengan diikuti Raden Permadi. Begitu sampai di tepi pantai, ia langsung melompat untuk mencebur ke air. Tiba-tiba Arya Wrekodara muncul dari dalam lautan dan langsung menangkap tubuh sang guru.
Arya Wrekodara menggendong tubuh Resi Druna naik ke daratan dan disambut haru oleh Raden Permadi. Arya Wrekodara mengaku dirinya telah mendapatkan air Tirta Prawitasari Mahening Suci, tetapi tidak berwujud benda, melainkan berwujud pengalaman rohani bersama Dewa Ruci. Ia sangat berterima kasih kepada Resi Druna yang telah memberikan petunjuk kepadanya.
Resi Druna salah tingkah. Awalnya ia ditugasi menjerumuskan muridnya itu tapi ternyata sang murid justru mendapatkan anugerah yang tak ternilai harganya. Resi Druna pun merasa ikut bahagia. Ia mengajak Arya Wrekodara dan Raden Permadi untuk berdoa bersama, memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena semuanya kini berakhir dengan baik.

Kangsa Takon Bapa

Kangsa Takon Bapa

Kangsa Takon Bapa

Kisah ini menceritakan awal mula Raden Kangsa diterima sebagai putra Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura, serta kisah awal mula Prabu Jarasanda mendapatkan takhta Kerajaan Magada dengan jalan membunuh ayahnya sendiri yang bernama Prabu Wrehadrata.

Kisah ini diolah dan di kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang di padukan dengan sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa.dengan penambahan seperlunya oleh heri purwanto dikediri.

JAKA MARUTA MENCARI TAHU SIAPA ORANG TUANYA

Pendeta raksasa Resi Anggawangsa di Gunung Rawisrengga sedang dihadap murid sekaligus anak asuhnya yang bernama Jaka Maruta. Hari itu Jaka Maruta telah berusia tiga belas tahun tetapi badannya gagah perkasa seperti pemuda umur dua puluh tahunan. Semua ilmu kesaktian yang diajarkan oleh Resi Anggawangsa pun telah tuntas dipelajari olehnya.

Hari itu Jaka Maruta memberanikan diri untuk bertanya kepada sang guru tentang siapa sebenarnya orang tua yang telah melahirkannya. Resi Anggawangsa pun bercerita bahwa belasan tahun yang lalu ada seorang raja raksasa bernama Prabu Gorawangsa dari Kerajaan Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Mahirah, istri Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Prabu Gorawangsa lalu menyamar menjadi Prabu Basudewa palsu dan mendatangi Dewi Mahirah, sehingga Dewi Mahirah pun mengandung olehnya. Dari kandungan tersebut lahirlah Jaka Maruta.

Mendengar itu, Jaka Maruta pun menyimpulkan bahwa ayah dan ibunya adalah Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah sehingga ia pun mohon pamit untuk berangkat menemui mereka. Namun, Resi Anggawangsa melarangnya, karena Prabu Gorawangsa telah lama meninggal di tangan Aryaprabu Rukma, adik kandung Prabu Basudewa, sedangkan Dewi Mahirah juga telah meninggal di dalam hutan karena dihukum buang oleh Prabu Basudewa.

Mendengar itu, Jaka Maruta sangat marah dan ingin menggempur Kerajaan Mandura untuk membalas dendam. Resi Anggawangsa melarang muridnya tersebut berbuat nekat. Bagaimanapun juga ia hanya seorang diri tentu tidak akan sanggup menghadapi Prabu Basudewa beserta seluruh pasukannya. Alangkah baiknya, Jaka Maruta pergi ke Kerajaan Guagra untuk meminta bantuan kepada pamannya yang bernama Patih Suratimantra di sana.

NYAI JARA MENGUNJUNGI RESI ANGGAWANGSA BERSAMA ANAK ASUHNYA

Tidak lama kemudian datanglah seorang raksasi bernama Nyai Jara yang tidak lain adalah adik kandung Resi Anggawangsa. Nyai Jara ini datang berkunjung ke Gunung Rawisrengga dengan ditemani seorang pemuda bertubuh tinggi besar yang merupakan anak asuhnya, bernama Jaka Slewah.

Resi Anggawangsa yang sudah lama tidak bertemu adiknya itu merasa sangat rindu, sekaligus ia penasaran tentang asal usul Jaka Slewah. Nyai Jara pun bercerita bahwa dirinya menemukan Jaka Slewah sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saat itu di tengah hutan, ia melihat Prabu Wrehadrata raja Magada sedang membuang dua potong bayi laki-laki. Setelah Prabu Wrehadrata pergi, Nyai Jara pun mendatangi dua potong bayi tersebut dan memungutnya. Sungguh ajaib, begitu dipungut oleh Nyai Jara dan diangkat ke atas, tiba-tiba dua potong bayi tersebut bersatu dan menjadi seorang bayi laki-laki yang utuh. Nyai Jara merasa sayang kepada bayi laki-laki tersebut dan berniat untuk mengasuhnya. Karena bayi laki-laki itu berasal dari dua potong yang disatukan, dan garis pemersatunya masih membekas, maka Nyai Jara pun memberinya nama, Jaka Slewah.

Kini, Jaka Slewah telah berusia dua puluh tahun dan telah mempelajari semua ilmu kesaktian yang diajarkan oleh ibu asuhnya. Ia pun berniat ingin pergi ke Kerajaan Magada untuk membalas perbuatan Prabu Wrehadrata yang telah membuangnya di hutan sejak bayi. Namun, Nyai Jara tidak tega jika putra asuhnya itu pergi sendiri. Maka, ia pun mengajak Jaka Slewah pergi ke Gunung Rawisrengga untuk meminta bantuan kepada sang kakak, yaitu Resi Anggawangsa.

Demikianlah kisah tentang asal usul Jaka Slewah. Mengetahui niat kedatangan Nyai Jara adalah untuk meminta bantuan kepadanya, Resi Anggawangsa mengaku keberatan. Ia merasa dirinya sudah tua, sudah tidak mampu lagi untuk pergi berperang. Namun, jika Jaka Slewah ingin meminta bantuan, maka ia boleh meminta tolong kepada muridnya yang bernama Jaka Maruta. Kebetulan Jaka Maruta adalah keponakan Patih Suratimantra dari Kerajaan Guagra. Tentunya pasukan raksasa dari Guagra dapat dimanfaatkan untuk membantu perjuangan Jaka Slewah melawan Prabu Wrehadrata. Namun demikian, jika Jaka Slewah sudah berhasil membalaskan dendamnya, maka ia harus ganti membantu Jaka Maruta menyerang Prabu Basudewa raja Mandura.

Jaka Slewah dan Nyai Jara menyetujui persyaratan dari Resi Anggawangsa. Setelah dirasa cukup, mereka berempat pun berangkat menuju Kerajaan Guagra.

JAKA MARUTA BERTEMU PATIH SURATIMANTRA

Resi Anggawangsa, Nyai Jara, Jaka Slewah, dan Jaka Maruta telah sampai di Kerajaan Guagra. Tampak di sana Patih Suratimantra sedang memimpin pertemuan yang dihadiri oleh segenap pasukan raksasa. Melihat kedatangan Resi Anggawangsa, Patih Suratimantra seketika teringat peristiwa tiga belas tahun yang lalu. Ketika itu ia hendak menguburkan jasad Dewi Mahirah yang telah meninggal di tengah hutan, namun tiba-tiba Resi Anggawangsa datang dan mengeluarkan bayi laki-laki dari dalam jenazah tersebut.

Patih Suratimantra pun menyambut Resi Anggawangsa dan rombongannya, lalu bertanya tentang keadaan putra yang dilahirkan Dewi Mahirah dulu. Resi Anggawangsa segera memperkenalkan bahwa Jaka Maruta di sampingnya adalah putra Dewi Mahirah yang kini telah tumbuh dewasa, meskipun usianya baru tiga belas tahun. Patih Suratimantra sangat bahagia dan langsung memeluk Jaka Maruta. Ia berkata bahwa sejak meninggalnya Prabu Gorawangsa, takhta Kerajaan Guagra dibiarkan kosong, karena hanya Jaka Maruta saja yang boleh mendudukinya. Kini ia pun mempersilakan Jaka Maruta menjadi raja Guagra dengan memakai gelar Prabu Kangsa Dewa, yaitu nama pemberiannya saat lahir dulu. Nama tersebut adalah singkatan dari nama Gorawangsa dan Basudewa. Maksudnya ialah, Raden Kangsa adalah putra Prabu Gorawangsa yang menyamar sebagai Prabu Basudewa.

Jaka Maruta terharu melihat kebaikan Patih Suratimantra kepada dirinya. Namun, ia menolak menduduki takhta Kerajaan Guagra sebelum bisa membalas dendam kepada Prabu Basudewa sekeluarga. Patih Suratimantra menyatakan siap membantu. Namun, Jaka Maruta menyarankan agar Patih Suratimantra terlebih dulu membantu sahabatnya yang bernama Jaka Slewah untuk menyerang Kerajaan Magada.

Karena Jaka Maruta yang meminta, maka Patih Suratimantra langsung menyatakan setuju. Ia segera mengumpulkan pasukan Guagra untuk bersiap menyerang Kerajaan Magada. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa dan Nyai Jara pun mohon pamit kembali ke Gunung Rawisrengga.

RIWAYAT PRABU WREHADRATA RAJA MAGADA

Kerajaan Magada memiliki ibu kota bernama Giribajra, tempat Prabu Wrehadrata bertakhta. Prabu Wrehadrata ini adalah putra sulung Prabu Wasupati, raja Wirata terdahulu. Saat itu Prabu Wasupati mendapatkan petunjuk dewata bahwa Raden Wrehadrata akan menurunkan raja angkara murka yang ingin menguasai dunia. Mendengar ramalan tersebut, Raden Wrehadrata merasa prihatin dan menyerahkan jabatannya sebagai putra mahkota kepada sang adik, yaitu Raden Durgandana. Raden Wrehadrata berniat keluar dari wilayah Kerajaan Wirata untuk selamanya agar ramalan dewata tersebut tidak pernah terjadi. Prabu Wasupati terharu melihat ketulusan putra sulungnya itu, dan ia pun memberikan Hutan Magada di kaki Gunung Cetiyaka kepada Raden Wrehadrata untuk dibuka menjadi kerajaan baru.

Demikianlah, Raden Wrehadrata membuka Hutan Magada menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Magada. Ia pun mengangkat diri sendiri sebagai raja di sana, bergelar Prabu Wrehadrata. Karena letak Kerajaan Magada berada di kaki Gunung Cetiyaka, maka ibu kota negeri baru tersebut pun diberi nama Giribajra. Sesuai janjinya, Prabu Wrehadrata tidak pernah datang lagi ke istana Wirata. Maka, ketika Prabu Wasupati meninggal dunia dan Raden Durgandana menggantikannya sebagai raja yang baru, bergelar Prabu Matsyapati, sama sekali Prabu Wrehadrata tidak hadir di Wirata, melainkan hanya mengirim doa dari kejauhan.

Prabu Wrehadrata memiliki dua orang permaisuri yang bernama Dewi Wikasi dan Dewi Warnasi. Keduanya bersedih karena sudah lama dinikahi Prabu Wrehadrata namun belum juga memiliki putra. Prabu Wrehadrata lalu bertapa di sanggar pemujaan selama berbulan-bulan supaya bisa memiliki keturunan. Hingga pada suatu hari Batara Narada turun dari kahyangan dan menyerahkan sebutir buah Mangga Pertanggajiwa sebagai sarana untuknya mendapatkan putra.

Karena rasa keadilannya, Prabu Wrehadrata pun membelah mangga tersebut menjadi dua. Yang setengah untuk Dewi Wikasi, dan yang setengah lagi untuk Dewi Warnasi. Setelah itu, Prabu Wrehadrata pun berhubungan badan dengan kedua istrinya, hingga keduanya sama-sama mengandung. Sungguh ajaib, setelah sembilan bulan berlalu, kedua istri tersebut melahirkan bayi laki-laki yang hanya setengah. Dewi Wikasi melahirkan potongan kiri, sedangkan Dewi Warnasi melahirkan potongan sebelah kanan. Keduanya pun menjerit ngeri ketakutan melihat apa yang telah mereka lahirkan sendiri.

Prabu Wrehadrata merasa sangat sedih. Ia pun membuang dua potongan bayi tersebut ke hutan. Kedua potongan bayi itulah yang kemudian dipungut oleh Nyai Jara dan disatukan menjadi bayi laki-laki utuh, bernama Jaka Slewah.

KEMATIAN PRABU WREHADRATA

Ketika Prabu Wrehadrata sedang memikirkan peristiwa dua puluh tahun silam tersebut, tiba-tiba datang Patih Jayakalana yang mengabarkan bahwa Kerajaan Magada hari ini diserang musuh dari Kerajaan Guagra. Mendengar itu, Prabu Wrehadrata segera mempersiapkan diri. Ia pun memimpin langsung pasukan Magada menghadapi serangan mendadak ini.

Pertempuran sengit pun terjadi antara kedua belah pihak. Jaka Slewah bertarung menghadapi Prabu Wrehadrata. Ia pun memperkenalkan diri sebagai dua potongan bayi yang dulu dibuang Prabu Wrehadrata dan kini telah bersatu di bawah asuhan Nyai Jara. Mengetahui siapa yang menjadi lawannya, Prabu Wrehadrata langsung membuang senjata. Ia pun menyatakan ikhlas jika Jaka Slewah ingin merebut takhta Kerajaan Magada dari tangannya.

Namun, Jaka Slewah sudah gelap mata karena hatinya dipenuhi oleh dendam. Ia pun mencekik Prabu Wrehadrata hingga sekarat. Tidak hanya itu, kedua tangannya lalu bergerak mengupas kulit ayahnya itu hidup-hidup. Prabu Wrehadrata akhirnya meninggal perlahan-lahan dalam penderitaan di tangan putranya sendiri.

Melihat rajanya tewas mengenaskan, Patih Jayakalana memilih kabur melarikan diri. Maka, Kerajaan Magada pun resmi jatuh ke tangan Jaka Slewah.

JAKA SLEWAH MENJADI PRABU JARASANDA

Jaka Slewah, Jaka Maruta, dan Patih Suratimantra berpesta merayakan kemenangan mereka. Kedua istri Prabu Wrehadrata, yaitu Dewi Wikasi dan Dewi Warnasi memilih bunuh diri menyusul sang suami. Jaka Slewah tidak peduli. Ia bahkan memerintahkan para prajurit untuk membuang jasad kedua ibu kandungnya itu ke hutan agar menjadi makanan binatang buas.

Jaka Slewah kini menduduki takhta Kerajaan Magada. Ia pun memakai gelar Prabu Jarasanda, untuk menghormati sang ibu asuh yang telah meyatukan kedua potongan tubuhnya, yaitu Nyai Jara. Sementara itu, Jaka Maruta juga mengganti namanya menjadi Raden Kangsa, untuk mengingat ayahnya, yaitu Prabu Gorawangsa.

Prabu Jarasanda masih saja belum puas telah membunuh Prabu Wrehadrata. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk mengubah kulit ayahnya itu menjadi tambur dan meletakkannya di puncak Gunung Cetiyaka.

PRABU PANDU MENGALAHKAN PRABU JARASANDA

Sementara itu, Patih Jayakalana yang berhasil meloloskan diri dari Kerajaan Magada akhirnya sampai di Kerajaan Hastina. Ia menghadap Prabu Pandu Dewanata dan menyampaikan berita tentang gugurnya Prabu Wrehadrata. Prabu Pandu sangat prihatin dan mengajak Patih Gandamana untuk menghukum Jaka Slewah dan para pengikutnya, karena bagaimanapun juga Kerajaan Magada adalah sekutu Kerajaan Hastina.

Demikianlah, Prabu Pandu, Patih Gandamana, dan pasukan Hastina telah sampai di Kerajaan Magada. Prabu Jarasanda, Raden Kangsa, dan Patih Suratimantra segera mengerahkan pasukan menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih Gandamana berhasil meringkus Patih Suratimantra, sedangkan Prabu Pandu berhasil mengalahkan Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa menggunakan Aji Pangrupak Jagad.

Kini, tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dibenamkan di dalam tanah oleh Prabu Pandu hingga sebatas dada. Prabu Jarasanda menangis memohon ampun. Ia mengaku salah telah membunuh ayahnya sendiri karena dibutakan oleh dendam sejak kecil. Namun demikian, kini dirinya telah bertobat ingin menebus dosa besar tersebut.

Dasar watak Prabu Pandu yang mudah kasihan, ia pun mengangkat tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dari dalam tanah. Prabu Jarasanda lalu berlutut menyembah Prabu Pandu memohon pengampunan dan ia pun berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan Hastina seumur hidupnya. Prabu Pandu menerima janji tersebut. Ia pun mempersilakan Prabu Jarasanda tetap menjadi raja Magada, karena bagaimanapun juga Prabu Jarasanda adalah ahli waris sah Prabu Wrehadrata.

Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu dan Patih Gandamana pun membawa pasukan kembali ke Kerajaan Hastina. Patih Jayakalana dan sebagian prajurit Magada yang tidak mau mengabdi kepada Prabu Jarasanda memutuskan untuk ikut bergabung mengabdi kepada Prabu Pandu Dewanata.

PRABU JARASANDA MENYUSUN RENCANA UNTUK RADEN KANGSA

Setelah Prabu Pandu pergi, Raden Kangsa bertanya mengapa Prabu Jarasanda sudi berlutut menyembah Prabu Pandu. Prabu Jarasanda pun menjelaskan bahwa dirinya hanya berpura-pura saja. Untuk menghadapi musuh sakti seperti Prabu Pandu tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan, tetapi harus bisa pula mengandalkan tipu muslihat. Ternyata dugaan Prabu Jarasanda benar. Prabu Pandu meskipun sakti dan perkasa namun mudah merasa kasihan dan mudah diperdaya, bahkan merestui dirinya tetap menjadi raja Magada.

Patih Suratimantra pun menjelaskan bahwa Prabu Pandu adalah adik ipar Prabu Basudewa raja Mandura, yaitu suami dari Dewi Kunti. Mendengar itu, Raden Kangsa merasa gentar. Jika dirinya meneruskan niat menyerang Kerajaan Mandura, tentu Prabu Pandu akan datang untuk membantu Prabu Basudewa. Dengan demikian, niatnya untuk membalas dendam akan hancur berantakan.

Prabu Jarasanda menyarankan agar Raden Kangsa menggunakan tipu muslihat saja untuk bisa mengalahkan Prabu Basudewa. Caranya, Raden Kangsa jangan mengaku sebagai putra Prabu Gorawangsa, tetapi mengakulah sebagai putra Prabu Basudewa. Kemudian Patih Suratimantra hendaknya datang menyerang Kerajaan Mandura dengan alasan ingin membalas kematian Prabu Gorawangsa. Saat itulah Raden Kangsa harus tampil sebagai pahlawan dengan cara menaklukkan Patih Suratimantra.

Raden Kangsa dan Patih Suratimantra menimbang-nimbang usulan Prabu Jarasanda. Mereka lalu menyatakan setuju. Patih Suratimantra pun menjelaskan tentang anggota keluarga Prabu Basudewa. Bahwa selain Dewi Kunti, masih ada dua adik Prabu Basudewa yang lainnya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Aryaprabu Rukma berwatak cerdik dan pandai, sedangkan Arya Ugrasena adalah yang paling sakti di antara mereka, namun mudah tersinggung dan kurang teliti.

Mendengar itu, Prabu Jarasanda pun menyarankan agar Raden Kangsa masuk ke dalam istana Mandura melalui Arya Ugrasena saja. Ia lantas menyusun rencana dan mengajarkan beberapa tipu muslihat kepada Raden Kangsa sebelum berangkat.

RADEN KANGSA MENGALAHKAN ARYA UGRASENA

Sesuai rencana yang disusun Prabu Jarasanda, maka Raden Kangsa pun masuk ke Kerajaan Mandura melalui Kesatrian Lesanpura. Begitu bertemu dengan Arya Ugrasena, ia langsung mengaku sebagai putra Dewi Mahirah yang dilahirkan di tengah hutan. Karena Dewi Mahirah adalah istri Prabu Basudewa, maka Raden Kangsa pun mengaku sebagai putra Prabu Basudewa pula.

Arya Ugrasena tidak percaya begitu saja. Raden Kangsa pun menantang pamannya itu berkelahi untuk membuktikan ucapannya. Keduanya lalu bertanding satu lawan satu. Dalam pertandingan itu Arya Ugrasena kalah dan mengakui kehebatan Raden Kangsa. Namun, Raden Kangsa telah diajari Prabu Jarasanda cara bertutur kata manis, sehingga tidak sampai mempermalukan Arya Ugrasena di hadapan para prajurit Lesanpura. Arya Ugrasena terkesan mendengar bujuk rayu Raden Kangsa, dan ia pun mengajak pemuda itu menemui Prabu Basudewa di istana.

RADEN KANGSA MENEMUI PRABU BASUDEWA

Prabu Basudewa di istana Mandura menerima kedatangan Arya Ugrasena dan Raden Kangsa. Hadir pula di sana Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita. Dalam pertemuan itu, Arya Ugrasena memperkenalkan Raden Kangsa adalah putra sulung Prabu Basudewa yang lahir di tengah hutan dari rahim Dewi Mahirah. Kini Dewi Mahirah telah meninggal dan berwasiat agar Raden Kangsa menemui ayahnya di istana Mandura.

Aryaprabu Rukma membantah keterangan tersebut. Ia meminta Prabu Basudewa agar tidak mudah percaya, karena Dewi Mahirah telah berselingkuh dengan Prabu Basudewa palsu, penjelmaan Prabu Gorawangsa. Bisa jadi, Raden Kangsa adalah anak hasil perselingkuhan tersebut. Mendengar itu, Raden Kangsa pura-pura mengeluh dan meratap sedih karena dirinya tidak dipercaya. Ia menyatakan lebih baik bunuh diri menyusul ibunya daripada ditolak oleh Prabu Basudewa.

Arya Ugrasena yang telah terperdaya segera membela Raden Kangsa. Ia pun menyatakan di hadapan semua orang, jika Prabu Basudewa tidak mau mengakui Raden Kangsa sebagai putra, maka biarlah dirinya saja yang menjadi ayah angkat bagi pemuda tersebut. Raden Kangsa pun berlutut menyembah kaki Arya Ugrasena dan memanggil ayah kepadanya. Ia benar-benar telah menguasai seni tipu muslihat sesuai yang telah diajarkan Prabu Jarasanda.

RADEN KANGSA PURA-PURA MENAKLUKKAN PATIH SURATIMANTRA

Setelah rencana pertama berjalan, Prabu Jarasanda pun mengerahkan rencana kedua, yaitu mengirim Patih Suratimantra dan pasukan Guagra untuk pura-pura menyerang Kerajaan Mandura. Demikianlah, saat Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena berdebat untuk meyakinkan Prabu Basudewa, tiba-tiba datang serangan pasukan raksasa dari Kerajaan Guagra tersebut.

Arya Ugrasena selaku panglima perang Kerajaan Mandura segera menyiagakan pasukan untuk menghadang mereka. Pertempuran sengit pun meletus. Arya Ugrasena tampak terdesak menghadapi kekuatan Patih Suratimantra. Melihat ayah angkatnya kewalahan, Raden Kangsa segera turun tangan membantu. Ia bertarung dan bergulat melawan Patih Suratimantra. Sesuai rencana, Patih Suratimantra pun pura-pura kalah. Raden Kangsa lalu meringkus raksasa tersebut dan menghadapkannya kepada Prabu Basudewa.

PRABU BASUDEWA MENERIMA RADEN KANGSA SEBAGAI PUTRANYA

Prabu Basudewa bertanya mengapa Patih Suratimantra datang menyerang Kerajaan Mandura. Patih Suratimantra menjawab bahwa dirinya ingin membalas kematian kakaknya, yaitu Prabu Gorawangsa tiga belas tahun silam. Namun, kini ia merasa gagal dan memohon ampun karena ternyata Prabu Basudewa memiliki seorang jagoan hebat bernama Raden Kangsa.

Prabu Basudewa merasa serbasalah. Di satu sisi ia belum percaya kalau Raden Kangsa adalah anak kandungnya, namun di sisi lain ia merasa gentar dan ngeri melihat kesaktian pemuda gagah berusia tiga belas tahun tersebut. Akhirnya, ia pun mengampuni Patih Suratimantra dan mengakui Raden Kangsa sebagai putra.

Patih Suratimantra berterima kasih atas kebaikan hati Prabu Basudewa. Ia lalu mohon pamit pulang ke Kerajaan Guagra dan berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan Mandura lagi.

Setelah pasukan raksasa itu pergi, Prabu Basudewa pun menghadiahkan Kadipaten Sengkapura sebagai tempat tinggal Raden Kangsa. Raden Kangsa sangat berterima kasih dan mohon pamit untuk mulai memimpin daerah tersebut.

Setelah Raden Kangsa pergi, Aryaprabu Rukma langsung membuka pembicaraan. Ia mengingatkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena tentang ramalan Batara Narada tiga belas tahun yang lalu. Saat itu Batara Narada memerintahkan Prabu Basudewa untuk menyembunyikan putra-putrinya yang baru lahir, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya di Desa Widarakandang agar mereka dididik dan ditempa menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, sekaligus untuk menghindari ancaman munculnya putra hasil perselingkuhan Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah. Aryaprabu Rukma yakin bahwa Raden Kangsa adalah putra yang diramalkan oleh Batara Narada tersebut.

Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena terkejut mendengarnya. Mereka mengaku benar-benar lupa terhadap ramalan itu. Apalagi melihat kesaktian Raden Kangsa dalam meringkus Patih Suratimantra telah membuat mereka kagum sekaligus ngeri. Namun, Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena sudah terlanjur mengakui Raden Kangsa sebagai putra, tentunya tidak mungkin ucapan tersebut ditarik kembali. Satu-satunya jalan bagi mereka hanyalah berdoa semoga Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya yang kini diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi selalu mendapatkan perlindungan dari dewata dan kelak mampu mengatasi masalah ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : kisah Raden Kangsa diterima Prabu Basudewa ini terdapat dalam Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan disebutkan terjadi pada tahun Suryasengkala 691 yang ditandai dengan sengkalan “rupa rodra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang ditandai dengan sengkalan “paksa anunggal paksi”. Sedangkan pertemuan Raden Kangsa dan Prabu Jarasanda adalah pengembangan dari saya, berdasarkan cerita dalam kitab Mahabharata.

Perang Pamuksa

Perang Pamuksa

Perang Pamuksa

Kisah ini menceritakan Prabu Pandu berusaha memenuhi idaman Dewi Madrim yang ingin bertamasya mengendarai Lembu Andini. Kisah dilanjutkan dengan perang besar antara Kerajaan Hastina melawan Kerajaan Pringgadani yang disebut dengan istilah Perang Pamuksa. Dalam perang ini Prabu Tremboko tewas, sedangkan Prabu Pandu terluka di paha, dan kelak ini menjadi penyebab kematiannya.

Kisah ini diolah heri purwanto dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang beliau padukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono dan pentas Ki Purbo Asmoro, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

------------------------------

Prabu Tremboko melawan Prabu Pandu

DEWI MADRIM MENGIDAM NAIK LEMBU ANDINI

Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Resi Krepa, dan Patih Sangkuni. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang hubungan antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani yang belum juga membaik, bahkan semakin memburuk. Patih Sangkuni bahkan melaporkan tentang para prajurit perbatasan yang sering terlibat bentrokan dengan para raksasa Pringgadani yang berusaha menyerang masuk ke wilayah Hastina.

Selain permasalahan dengan Kerajaan Pringgadani, Prabu Pandu juga sedang pusing memikirkan istri keduanya, yaitu Dewi Madrim yang sedang mengandung lima bulan. Akhir-akhir ini, Dewi Madrim sering merengek meminta hal yang sangat aneh, yaitu ia ingin bertamasya bersama Prabu Pandu dengan mengendarai Lembu Andini. Padahal, semua orang tahu bahwa Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan pribadi Batara Guru sang raja dewa.

Demikianlah, Prabu Pandu merasa bingung mengatasi masalah ini. Pada saat Kerajaan Hastina sedang sibuk menghadapi perselisihan dengan Kerajaan Pringgadani, tiba-tiba saja Dewi Madrim meminta hal yang aneh seperti itu. Dalam hal ini Prabu Pandu merasa bimbang mana yang lebih baik harus didulukan.

Dewi Gandari tiba-tiba menyela pembicaraan. Ia mengatakan bahwa Dewi Madrim kali ini sedang mengidam. Sebagai sesama perempuan, ia dapat merasakan betapa sedihnya apabila suami tidak dapat mewujudkan idaman istri yang sedang mengandung. Sebenarnya istri yang mengidam itu bukan ingin menyusahkan suami, tetapi ingin lebih diperhatikan. Mungkin selama ini Prabu Pandu terlalu sibuk memikirkan urusan negara, sehingga lupa memerhatikan Dewi Madrim. Bagaimanapun juga Dewi Madrim sedang mengandung calon penerus silsilah Kerajaan Hastina. Untuk itu, tiada salahnya apabila Prabu Pandu meluangkan waktu untuk mengusahakan permintaan Dewi Madrim yang aneh itu, sebagai bukti tanda cinta suami terhadap istri.

Adipati Dretarastra membenarkan ucapan istrinya. Ia menyarankan agar Prabu Pandu segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini barang sehari kepada Batara Guru. Adipati Dretarastra berusaha meyakinkan bahwa di masa kecilnya dulu, Prabu Pandu pernah berjasa terhadap para dewa, yaitu menumpas Prabu Nagapaya yang menyerang kahyangan. Apabila Prabu Pandu meminjam Lembu Andini barang sehari, tentu Batara Guru akan mengizinkan dengan suka rela.

Prabu Pandu masih saja ragu-ragu. Ia takut Batara Guru akan murka jika kendaraan pribadinya dipinjam untuk bertamasya. Lalu, bagaimana pula dengan permasalahan menghadapi Kerajaan Pringgadani? Bukankah ini sama artinya menghindari urusan negara dan lebih mementingkan urusan keluarga? Sebagai raja yang bijaksana, tentunya lebih baik Prabu Pandu mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga.

Patih Sangkuni pun ikut bicara. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa gunanya seorang raja mengangkat para menteri dan punggawa jika mereka tidak bisa menangani persoalan. Sudah sewajarnya apabila seorang raja menugasi bawahannya untuk menyelesaikan masalah. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani cukup diserahkan kepada dirinya dan para punggawa, sedangkan urusan Dewi Madrim mengidam hanya bisa dipenuhi oleh Prabu Pandu seorang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu adalah suami, maka tidak mungkin urusan mewujudkan idaman istri diserahkan pada orang lain.

Prabu Pandu terdiam. Ia merasa Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, dan Patih Sangkuni sudah satu suara menyarankan agar dirinya mengutamakan permintaan Dewi Madrim. Sebenarnya ia ingin meminta pendapat lain sebagai penyeimbang, tetapi yang ada di situ hanya Resi Krepa, yaitu kepala pendeta yang pendiam dan jarang bicara. Raden Yamawidura yang bijaksana saat ini masih berada di Padepokan Arga Kumelun, sedangkan Resiwara Bisma sang sesepuh kerajaan masih bertapa di Padepokan Talkanda.

Prabu Pandu akhirnya memantapkan hati untuk menerima saran dari Adipati Dretarastra bertiga. Ia pun mohon restu kepada sang kakak semoga berhasil meminjam Lembu Andini kepada Batara Guru. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani sepenuhnya diserahkan kepada Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga Patih Sangkuni harus bisa mengusahakan perdamaian. Namun, jika pihak Pringgadani masih juga bersikeras ingin berperang, maka pasukan Hastina sama sekali tidak boleh gentar.

Patih Sangkuni menerima tugas tersebut dan berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Prabu Pandu merasa lega. Ia pun membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.

PRABU PANDU PAMIT KEPADA KEDUA ISTRINYA

Prabu Pandu lalu bertemu Dewi Kunti dan Dewi Madrim yang menunggu di depan gapura kedaton. Mereka telah siap dengan air bunga dalam jambangan untuk membasuh kaki sang suami. Dalam kesempatan itu Prabu Pandu berpamitan kepada dua istrinya itu untuk segera naik ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini kepada Batara Guru.

Dewi Madrim sangat senang mengetahui idamannya akan segera terwujud. Sebaliknya, Dewi Kunti justru terlihat gugup dan gelisah. Ia mengaku telah bermimpi melihat Prabu Pandu mengenakan pakaian serba putih naik perahu di tengah lautan. Tiba-tiba muncul badai ganas yang membuat perahu tersebut terbalik dan Prabu Pandu pun tenggelam tergulung ombak.

Dewi Madrim menjadi bimbang setelah mendengar cerita Dewi Kunti. Ia pun meminta agar sang suami mengurungkan niat untuk naik ke kahyangan. Ia mengaku rela apabila idamannya tidak jadi diwujudkan. Namun, Prabu Pandu menolak hal itu. Ia telah memantapkan hati untuk meminjam Lembu Andini dan bagaimanapun juga harus dapat diwujudkan. Mengenai mimpi Dewi Kunti semoga itu hanyalah hiasan tidur yang tidak memiliki makna. Namun, apabila benar dirinya harus menjadi korban juga tidak masalah. Prabu Pandu justru merasa bangga jika bisa berkorban untuk keluarga daripada diam berpangku tangan tanpa berusaha sama sekali.

Dewi Kunti tidak berani bicara lagi. Ia hanya bisa berdoa agar usaha Prabu Pandu membawa hasil, dan juga agar sang suami selalu mendapat perlindungan dari Yang Mahakuasa. Prabu Pandu merasa senang. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba Dewi Madrim merengek minta diizinkan ikut. Ia masih khawatir mendengar cerita Dewi Kunti. Apabila nanti Batara Guru sudi meminjamkan Lembu Andini, maka Prabu Pandu dan dirinya bisa langsung segera pergi bertamasya. Namun, apabila Batara Guru menolak dan menghukum Prabu Pandu, maka Dewi Madrim bersedia untuk ikut dihukum bersama.

Prabu Pandu dan Dewi Kunti menasihati Dewi Madrim agar tetap tinggal di istana. Namun, Dewi Madrim menangis dan menuduh mereka tidak sayang kepadanya. Prabu Pandu akhirnya luluh. Ia pun mengizinkan Dewi Madrim ikut serta bersama dirinya naik ke Kahyangan Jonggringsalaka. Prabu Pandu juga berpesan agar Dewi Kunti menunggu di istana dengan tenang karena semuanya pasti baik-baik saja.

PATIH SANGKUNI MENGADU DOMBA HASTINA DAN PRINGGADANI

Sementara itu, para Kurawa yang dipimpin Raden Suyudana dan Raden Dursasana telah menunggu di luar istana. Begitu melihat Patih Sangkuni keluar, mereka segera maju menghadap sang paman. Patih Sangkuni tampak tersenyum senang karena usahanya akan segera berhasil. Tidak lama kemudian hadir pula kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Kerajaan Gandaradesa.

Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta menyampaikan laporan kepada sang kakak bahwa usaha untuk mengadu domba Kerajaan Hastina dan Pringgadani telah berjalan baik sesuai rencana. Sejak peristiwa Patih Gandamana dikeroyok para raksasa Pringgadani dan diceburkan ke dalam Sumur Upas, hubungan antara kedua negara semakin renggang. Prabu Pandu sudah mengusahakan perdamaian, namun Patih Sangkuni justru memperkeruh keadaan.

Tanpa sepengetahuan Prabu Pandu, diam-diam Patih Sangkuni memerintahkan kedua adiknya untuk menyusup ke Kerajaan Pringgadani. Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta pun mengerahkan pasukan untuk mengacau desa-desa pinggiran Pringgadani. Mereka merampok, memerkosa, dan menyebarkan minuman keras atau candu untuk meracuni pikiran rakyat Pringgadani. Pasukan ronda yang dikirim Prabu Tremboko berhasil menangkap orang-orang Gandaradesa itu. Namun, saat tertangkap mereka mengaku sebagai orang-orang Hastina yang sengaja disusupkan oleh Prabu Pandu demi merusak Kerajaan Pringgadani dari dalam.

Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta melaporkan pula bahwa Prabu Tremboko sekeluarga telah berhasil dibakar amarahnya. Mereka pun berubah sikap dari yang dulu memuja Prabu Pandu, sekarang menjadi sangat benci kepadanya. Mereka menuduh Prabu Pandu seorang raja yang tampan parasnya tetapi busuk hatinya. Tidak hanya itu, bahkan Prabu Tremboko telah memerintahkan putra sulungnya, yaitu Raden Arimba untuk menyerang Kerajaan Hastina secara besar-besaran.

Patih Sangkuni sangat senang mendengar laporan dari kedua adiknya. Ia pun telah menyusun siasat untuk menyingkirkan Prabu Pandu. Ia berhasil membujuk Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari supaya ikut mendesak Prabu Pandu agar naik ke Kahyangan Jonggringsalakameminjam Lembu Andini, dan tidak perlu mengurusi Prabu Tremboko. Patih Sangkuni yakin Batara Guru pasti murka dan menghukum mati Prabu Pandu karena hal ini. Jika Prabu Pandu mati, maka takhta Kerajaan Hastina akan kembali pada yang berhak, yaitu Adipati Dretarastra selaku putra sulung Bagawan Abyasa.

Tiba-tiba datang Arya Bargawa yang melaporkan bahwa pasukan raksasa Pringgadani yang dipimpin oleh Raden Arimba telah datang menyerang dan memasuki wilayah Kerajaan Hastina. Patih Sangkuni menerima laporan itu dan berbalik memberikan perintah kepada sang senapati Arya Banduwangka agar memimpin langsung pasukan garis depan untuk menghadapi para raksasa tersebut. Arya Bargawa dan Arya Bilawa diperintah pula sebagai senapati pengapit kanan dan kiri. Arya Bargawa menerima perintah tersebut lalu berangkat menemui Arya Banduwangka dan Arya Bilawa.

Raden Suyudana bertanya apakah dirinya boleh ikut berperang membela negara. Patih Sangkuni berkata bahwa para Kurawa tidak perlu ikut berperang, tapi cukup menonton dari kejauhan saja. Jika Arya Banduwangka menang, maka Patih Sangkuni akan ikut mendapat nama baik. Tetapi, jika Arya Banduwangka gugur, maka Patih Sangkuni akan kehilangan saingan. Syukur-syukur jika Arya Bargawa dan Arya Bilawa juga ikut tewas bersama dengannya.

GUGURNYA ARYA BANDUWANGKA

Arya Bargawa telah sampai di tempat Arya Banduwangka yang sedang bersiaga bersama Arya Biawa. Tiga punggawa tua itu sudah menduga Patih Sangkuni tidak mungkin berani ikut perang di garis depan, melainkan hanya main perintah saja. Arya Banduwangka yakin bahwa Patih Sangkuni menginginkan kematiannya. Namun, ia sama sekali tidak takut jika harus mati demi membela negara. Yang ia takutkan hanya satu, yaitu pengaruh jahat Patih Sangkuni semakin besar dan membahayakan keselamatan Prabu Pandu sekeluarga.

Tidak lama kemudian terdengar suara ribut bahwa pasukan raksasa dari Pringgadani sudah semakin dekat. Arya Banduwangka pun memerintahkan pasukan Hastina untuk maju menghadapi serangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran sengit. Kedua pihak saling serang, saling berusaha mengalahkan lawan.

Arya Banduwangka yang sudah mengabdi di Hastina sejak zaman Prabu Kresna Dwipayana semakin hari semakin kesal melihat sepak terjang Patih Sangkuni yang berusaha merusak ketentraman negara. Ia pun melampiaskan kekesalannya dengan mengamuk menggempur para raksasa itu. Raden Arimba kewalahan menghadapi senapati tua tersebut. Ia tidak mengira ternyata selain Patih Gandamana yang telah dipecat, Kerajaan Hastina masih memiliki jago yang sedemikian hebat. Ditambah lagi dengan Arya Bargawa dan Arya Bilawa yang sama-sama berbadan tinggi besar juga memiliki kekuatan setara dengan para raksasa.

Raden Arimba lalu memerintahkan adik-adiknya, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa untuk bersama-sama mengeroyok Arya Banduwangka. Menghadapi serangan para raksasa itu, Arya Banduwangka mulai kewalahan. Berangsur-angsur ia kehabisan tenaga dan akhirnya lengah, sehingga tewas di tangan para raksasa itu.

Melihat sang senapati telah gugur, Arya Bargawa dan Arya Bilawa segera mengambil alih pimpinan dan bersama menggempur para raksasa Pringgadani. Raden Arimba merasa cukup untuk hari ini. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur ke perkemahan menghindari amukan Arya Bargawa dan Arya Bilawa.

PRABU PANDU MEMINJAM LEMBU ANDINI KEPADA BATARA GURU

Sementara itu, Prabu Pandu dan Dewi Madrim telah sampai di Kahyangan Jonggringsalaka. Dewi Madrim menunggu di lapangan Repatkepanasan, sedangkan Prabu Pandu masuk sendiri untuk menghadap Batara Guru.

Batara Guru tampak duduk di Balai Marcukunda dihadap Batara Narada dan segenap para dewa. Prabu Pandu datang dan menyembah hormat lalu mengutarakan keinginannya untuk meminjam Lembu Andini sebagai kendaraan bertamasya bersama Dewi Madrim yang sedang mengidam. Prabu Pandu begitu yakin bahwa Batara Guru pasti sangat tersinggung mendegar keinginannya itu. Maka, ia pun berjanji kelak jika meninggal dunia, biarlah rohnya ditempatkan di dasar Kawah Candradimuka.

Batara Guru dan para dewa terkejut mendengar ucapan Prabu Pandu. Sungguh Batara Guru tidak mengira kalau Prabu Pandu akan berjanji demikian. Padahal, ia sama sekali tidak keberatan apabila raja Hastina tersebut meminjam Lembu Andini untuk memenuhi idaman istri, mengingat jasa Prabu Pandu yang begitu besar di masa lalu.

Batara Guru pun memberi perintah kepada Lembu Andini untuk menjadi kendaraan Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama sehari penuh. Lembu Andini mematuhi lalu ia pun berjalan mendekati Prabu Pandu. Karena permintaannya dikabulkan, Prabu Pandu merasa senang. Ia menyembah kepada Batara Guru dan para dewa kemudian langsung naik ke punggung Lembu Andini dan mengendarainya keluar menuju Kori Selamatangkep.

Batara Guru dan para dewa tertegun melihat sikap Prabu Pandu yang kehilangan tata krama. Bahkan, ada beberapa dewa yang mengusulkan agar Prabu Pandu segera dicabut nyawanya sebagai balasan atas kekurangajaran ini. Namun demikian, rasa sayang Batara Guru terhadap Prabu Pandu terlalu besar. Ia pun memerintahkan Batara Yamadipati agar pergi bersama istrinya, yaitu Batari Komini, untuk mengawasi Prabu Pandu dari kejauhan. Batara Guru khawatir dalam acara tamasya nanti, Prabu Pandu dan Dewi Madrim lupa diri sehingga melanggar kutukan Resi Kindama di masa lalu.

Begitu mendapat perintah, Batara Yamadipati segera mohon pamit berangkat menemui istrinya untuk kemudian bersama-sama mengikuti perjalanan Prabu Pandu.

PRABU PANDU DAN DEWI MADRIM DIINGATKAN OLEH BATARA YAMADIPATI DAN BATARI KOMINI

Prabu Pandu dan Dewi Madrim telah duduk di atas punggung Lembu Andini. Bersama-sama mereka melanglang buana, menikmati keindahan alam dari atas langit. Tiba-tiba di bawah terlihat sebuah taman bunga alami yang membentang di kaki Gunung Madusakawan. Dewi Madrim sangat terkesan dan ingin bermain di taman tersebut. Lembu Andini menurut dan segera mendarat di sana.

Prabu Pandu dan Dewi Madrim lalu berjalan kaki menyusuri taman indah itu. Bunga-bunga yang tumbuh secara alami tampak bermekaran, disertai suara burung bersahut-sahutan menambah indahnya suasana. Mereka berdua merasa betah berada di situ sehingga tanpa sadar matahari pun telah bergeser ke ufuk barat.

Sinar matahari senja yang menerpa tubuh Dewi Madrim membuat parasnya terlihat semakin cantik. Prabu Pandu menjadi terlena. Perlahan ia memeluk tubuh istri keduanya itu dan mengajaknya bermesraan. Dewi Madrim sendiri juga sedang terlena. Selama menikah ia sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya hubungan suami istri, karena Prabu Pandu terlanjur mendapat kutukan dari Resi Kindama. Janin yang kini dikandungnya memang berasal dari benih sang suami, tetapi ditanam di dalam perutnya dengan bantuan Resi Druwasa dan dimatangkan oleh dewa kembar Batara Aswan dan Batara Aswin.

Belum sempat Prabu Pandu membuka pakaian, tiba-tiba muncul sepasang kijang yang saling kejar-kejaran, kemudian bermesraan di hadapan mereka. Prabu Pandu dan Dewi Madrim tersinggung karena merasa disindir. Dewi Madrim pun meminta Prabu Pandu agar membunuh kedua kijang itu sekaligus menjadikan mereka sebagai makanan di malam nanti. Prabu Pandu segera melepaskan panah dan seketika mengenai kedua kijang tersebut.

Begitu terkena panah, kedua kijang itu langsung musnah dan berubah wujud menjadi Batara Yamadipati dan Batari Komini. Batara Yamadipati menjelaskan bahwa dirinya diutus Batara Guru untuk mengawasi Prabu Pandu dan Dewi Madrim agar jangan sampai lupa diri sehingga melanggar kutukan Resi Kindama. Dahulu kala Resi Kindama dan Rara Dremi tewas saat bermesraan dalam wujud sepasang kijang karena dipanah oleh Prabu Pandu. Resi Kindama pun mengutuk kelak apabila Prabu Pandu bermesraan dengan istrinya, maka ia akan mendapatkan celaka. Untuk itulah, tujuan Batara Yamadipati dan Batari Komini mengubah wujud menjadi sepasang kijang adalah untuk mengingatkan Prabu Pandu akan peristiwa tersebut.

Prabu Pandu bukannya berterima kasih, tetapi justru meminta Batara Yamadipati dan Batari Komini segera pulang ke kahyangan. Ia sama sekali tidak butuh diawasi dan dibuntuti seperti penjahat. Batara Yamadipati tersinggung dan berkata bahwa mungkin memang sudah tiba saatnya Prabu Pandu menyelesaikan tugas-tugas di dunia. Ia pun berkata bahwa kelak dirinya sendiri yang akan menjemput roh Prabu Pandu. Selesai berkata demikian, Batara Yamadipati lalu mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat itu.

PRABU PANDU MENYURUH LEMBU ANDINI PULANG SENDIRI

Prabu Pandu merasa kesal karena dirinya diawasi dari belakang oleh Batara Yamadipati seperti penjahat. Rasa kesalnya pun meluap menjadi nafsu birahi saat melihat Dewi Madrim. Keduanya sudah sama-sama lupa diri. Mereka pun melakukan hubungan badan di dalam taman bunga tersebut hingga sama-sama merasa puas. Tiba-tiba halilintar menyambar di angkasa. Prabu Pandu tertegun dan merasa kutukan Resi Kindama akan segera menjadi kenyataan.

Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera berpakaian dan kemudian kembali ke tempat Lembu Andini yang menunggu di luar taman. Prabu Pandu berkata bahwa matahari sudah terbenam, alangkah baiknya jika Lembu Andini pulang sendiri ke tempat Batara Guru. Karena hari sudah senja, ia merasa sudah tidak berhak lagi duduk di atas punggung sapi kahyangan tersebut.

Lembu Andini tersinggung dan menyebut Prabu Pandu tidak tahu sopan santun karena menyuruh dirinya pulang begitu saja. Namun, Prabu Pandu sudah terlanjur kesal kepada Batara Guru yang memerintahkan Batara Yamadipati untuk mengawasi dirinya. Ia bersikukuh tidak mau mengantarkan Lembu Andini pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Lembu Andini menyebut Prabu Pandu kekanak-kanakan, lalu ia pun melesat terbang ke angkasa.

Setelah Lembu Andini pergi, Prabu Pandu segera menggendong Dewi Madrim dan berlari menuju Kerajaan Hastina menggunakan Aji Sepi Angin.

RADEN PUNTADEWA DAN RADEN BRATASENA MENJEMPUT PULANG RADEN YAMAWIDURA

Sementara itu, Raden Yamawidura (adik Prabu Pandu) sudah lima bulan berada di tempat istri barunya, yaitu Endang Sinduwati, putri Resi Gunabantala di Padepokan Arga Kumelun. Pada hari itu datang berkunjung dua keponakannya, yaitu Raden Puntadewa dan Raden Bratasena.

Kedua putra Prabu Pandu tersebut mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina saat ini sedang kacau. Patih Gandamana telah dipecat dan dipulangkan ke Kerajaan Pancala. Arya Suman pun dilantik sebagai patih yang baru, bergelar Patih Sangkuni dan ia berhasil memengaruhi Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari untuk berkuasa di istana. Prabu Pandu tidak bisa memusatkan pikirannya dengan tenang karena Dewi Madrim juga sedang mengidam ingin naik Lembu Andini. Ditambah lagi, Kerajaan Hastina kini sedang berperang dengan Kerajaan Pringgadani.

Raden Puntadewa pun meminta sang paman agar segera kembali ke Hastina, mendampingi ayahnya menata negara. Raden Yamawidura sangat prihatin atas hal ini. Ia pun meminta izin kepada Resi Gunabantala dan Endang Sinduwati agar diperbolehkan kembali ke istana. Endang Sinduwati sangat sedih. Sebenarnya ia ingin saat melahirkan nanti, sang suami berada di sisinya. Adapun kandungannya saat ini baru berusia empat bulan, berarti masih lima bulan lagi ia ingin bersama Raden Yamawidura.

Resi Gunabantala menasihati putrinya bahwa Raden Yamawidura bukan hanya suami, tetapi juga jaksa agung Kerajaan Hastina yang memiliki tugas dan tanggung jawab besar terhadap negara. Mengenai kelak jika sudah tiba saatnya melahirkan, tentu Raden Yamawidura bisa datang kembali ke Padepokan Arga Kumelun. Untuk saat ini Kerajaan Hastina sedang kacau, maka alangkah baiknya Raden Yamawidura kembali ke istana untuk membantu Prabu Pandu.

Endang Sinduwati akhirnya bisa memaklumi. Ia pun merelakan Raden Yamawidura apabila ingin pulang ke Hastina. Raden Yamawidura berterima kasih. Ia lalu berpesan apabila Endang Sinduwati melahirkan bayi laki-laki, hendaknya diberi nama Raden Yuyutsu. Adapun putra pertama Raden Yamawidura yang lahir dari Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra di Pagombakan, diberi nama Raden Sanjaya dan kini telah dewasa.

RADEN YAMAWIDURA BERTEMU RESIWARA BISMA DAN RADEN PERMADI

Raden Yamawidura, Raden Puntadewa, dan Raden Bratasena telah meninggalkan Padepokan Arga Kumelun menuju Kerajaan Hastina. Di tengah jalan mereka dihadang para raksasa yang mengaku dari Kerajaan Pringgadani. Raden Bratasena pun maju untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba datang pula Resiwara Bisma dan Raden Permadi di tempat itu. Raden Permadi segera terjun membantu sang kakak menumpas para raksasa tersebut.

Setelah para raksasa binasa, Raden Yamawidura menyembah hormat kepada Resiwara Bisma dan saling bertanya kabar. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Permadi dan para panakawan telah datang ke Padepokan Talkanda untuk melaporkan keadaan Kerajaan Hastina yang kini semakin kacau. Selain itu, Kerajaan Hastina juga sedang berperang dengan Kerajaan Pringgadani, dan ini sepertinya hasil adu domba Patih Sangkuni. Mendengar itu, Resiwara Bisma merasa prihatin dan segera menuju Kerajaan Hastina bersama Raden Permadi dan para panakawan.

Kebetulan Resiwara Bisma berjumpa rombongan Raden Yamawidura. Karena tujuan yang sama, mereka pun bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju istana.

PRABU TREMBOKO MENYERANG KERAJAAN HASTINA

Prabu Tremboko raja Pringgadani telah datang di perkemahan anak-anaknya. Ia pun mengumumkan bahwa hari ini Kerajaan Pringgadani akan bertempur habis-habisan dengan pihak Hastina. Raden Arimba dan adik-adiknya, serta segenap para raksasa bersorak gembira. Mereka pun maju bersama-sama, menggempur Kerajaan Hastina.

Arya Bargawa dan Arya Bilawa yang bersiaga di garis depan segera menyambut serangan itu. Maka, pertempuran kembali meletus. Prabu Tremboko mengamuk menumpas pasukan Hastina. Arya Bargawa pun gugur di tangan raja raksasa tersebut.

KEMATIAN PRABU TREMBOKO

Pada saat itulah Prabu Pandu datang sambil menggendong Dewi Madrim. Ia segera memerintahkan Arya Bilawa untuk mengamankan istrinya ke dalam istana. Arya Bilawa sebenarnya masih ingin berperang mengadu nyawa, namun karena Prabu Pandu memaksa, ia tidak berani membantah lagi. Segera ia pun mengantarkan Dewi Madrim masuk ke dalam istana Hastina.

Prabu Pandu lalu menantang Prabu Tremboko berperang tanding satu lawan satu, dan biarlah para prajurit kedua pihak menjadi penonton. Prabu Tremboko setuju. Ia mengaku sadar bahwa perang yang terjadi kali ini adalah akibat adu domba dari pihak yang tidak menyukai persahabatan Kerajaan Hastina dan Pringgadani. Namun, semuanya sudah kepalang tanggung. Prabu Tremboko dan pasukannya sudah terlanjur menjebak Patih Gandamana, serta menewaskan Arya Banduwangka dan Arya Bargawa. Kini antara dirinya dengan Prabu Pandu sebaiknya bertanding sampai mati salah satu. Jika yang mati Prabu Tremboko anggap saja ada guru “nyuwargakake” murid. Sebaliknya, jika Prabu Pandu yang tewas, anggap saja ada murid “nyuwargakake” gurunya.

Prabu Pandu bersedia. Mereka lalu mulai bertanding. Para punggawa dan prajurit dari kedua pihak tegang menyaksikan raja mereka bertarung. Prabu Pandu tampak bersenjatakan Keris Pulanggeni, sedangkan Prabu Tremboko bersenjatakan Keris Kalanadah.

Prabu Pandu yang lebih lincah dan cekatan berhasil menikam dada Prabu Tremboko. Raja raksasa itu pun roboh di tanah bersimbah darah. Prabu Pandu tersenyum senang karena mengira kutukan Resi Kindama tidak berlaku atas dirinya. Ia telah bersetubuh dengan Dewi Madrim tetapi sama sekali tidak mendapatkan celaka, bahkan berhasil merobohkan Prabu Tremboko.

Karena pikirannya takabur, Prabu Pandu menjadi lengah. Tiba-tiba saja Prabu Tremboko bangkit kembali dan menancapkan Keris Kalanadah di paha kanan Prabu Pandu. Setelah itu, Prabu Tremboko pun tewas mengembuskan napas terakhirnya. Jasadnya terlihat musnah seperti asap. Melihat sang ayah tewas, Raden Arimba segera memerintahkan pasukan untuk pulang ke Kerajaan Pringgadani.

PRABU PANDU DIBAWA MASUK KE ISTANA

Rombongan Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura baru datang di tempat itu. Raden Bratasena sangat gugup melihat ayahnya terluka berlumuran darah. Ia langsung menggendong tubuh Prabu Pandu dan membawanya masuk ke dalam istana.

Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim menangis melihat Prabu Pandu terluka setelah bertarung melawan Prabu Tremboko. Patih Sangkuni juga ikut pura-pura sedih. Ia pun menangis tapi dalam hati tertawa-tawa karena yakin ajal Prabu Pandu akan segera tiba. Dengan demikian, dirinya bisa berkuasa penuh di Kerajaan Hastina, mengendalikan para Kurawa.

Resiwara Bisma perlahan-lahan mencabut Keris Kalanadah yang masih menancap di paha kanan Prabu Pandu, lalu menyerahkannya kepada Raden Permadi untuk disimpan. Begitu pula dengan Keris Pulanggeni yang masih berlumuran darah Prabu Tremboko juga diserahkan kepada Pandawa nomor tiga tersebut.

Prabu Pandu tersenyum dan sama sekali tidak takut jika dirinya harus meninggal, karena ini mungkin menjadi penebus atas dosa-dosanya. Namun, Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak mau menyerah. Mereka pun memanggil para tabib agar segera mengobati luka sang raja.

CATATAN : Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta mengisahkan bahwa Prabu Pandu jatuh sakit setelah memanah kijang penjelmaan Batara Yamadipati. Kisah ini oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana angraras kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu kaswareng wiyat”. Sementara itu, menurut kisah-kisah pedalangan, Prabu Pandu terluka akibat perang melawan Prabu Tremboko. Maka, dalam tulisan di atas, penulis pun menggabungkan keduanya menjadi satu cerita.