Senin, 01 Juni 2020

Babad Gajahoya

Babad Gajahoya

Kisah ini menceritakan Prabu Basumurti membantu kakak sepupunya, yang bernama Raden Surata putra Prabu Oya sehingga bisa mendapatkan hak atas takhta Kerajaan Malawa. Kisah dilanjutkan dengan Raden Basukesti melakukan tapa rame dan juga pernikahan Raden Basusena putra Prabu Basumurti. Raden Basusena lalu dilantik menjadi raja Gajahoya, begelar Prabu Hastimurti. Dari tokoh inilah kelak lahir raja-raja Kerajaan Hastina.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan oleh Heri Purwanto.

PRABU BASUMURTI MENOLONG RADEN SURATA DARI MALAWA

Prabu Basumurti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda (ipar), Resi Wakiswara (paman istri), Raden Basunanda (adik), dan Raden Basusena (putra). Ketika mereka sedang membicarakan masalah pemerintahan, tiba-tiba datang Raden Basukesti yang disertai seorang laki-laki bernama Raden Surata. Pertama-tama Raden Basukesti meminta maaf karena dirinya datang terlambat dalam menghadiri pertemuan. Ini karena di rumahnya tiba-tiba datang seorang tamu bernama Raden Surata tersebut, yang mengaku berasal dari Kerajaan Malawa di Tanah Hindustan, dan masih cucu mendiang Prabu Sri Mahapunggung raja Purwacarita terdahulu.

Prabu Basumurti merasa ragu, mengapa Prabu Sri Mahapunggung bisa memiliki cucu yang tinggal di Tanah Hindustan? Ditambah lagi penampilan Raden Surata yang compang-camping, membuat Prabu Basumurti merasa ragu. Raden Surata pun bercerita bahwa ia adalah putra Prabu Oya, sedangkan Prabu Oya adalah putra Prabu Sri Mahapunggung yang pada saat dilahirkan berwujud seekor gajah putih.

Prabu Basumurti seketika teringat mendiang ayahnya (Prabu Basupati) pernah bercerita tentang sepupunya, yaitu putra Prabu Sri Mahapunggung yang berwujud gajah putih dan diasuh oleh Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra. Gajah putih itu kemudian bertapa di Bukit Oya sehingga dikenal dengan sebutan Gajah Oya. Pada suatu hari Prabu Basupati saat masih muda dan bernama Raden Brahmaneka pernah berselisih dengan Gajah Oya karena melindungi seorang bidadari, bernama Batari Indradi. Tanpa sengaja, Raden Brahmaneka menemukan sebatang anak panah dan melemparkannya ke arah Gajah Oya. Secara ajaib, Gajah Oya berubah wujud menjadi laki-laki tampan namun tubuhnya terlempar entah ke mana. Raden Brahmaneka lalu menikahi Batari Indradi, yang kemudian dari perkawinan itu lahirlah Prabu Basumurti.

Raden Surata menyambung cerita Prabu Basumurti tersebut, bahwa Gajah Oya setelah teruwat menjadi manusia lalu bertemu Prabu Aywana raja Malawa yang datang ke Tanah Jawa bersama putrinya, bernama Dewi Hoyi. Gajah Oya lalu diganti namanya menjadi Raden Oya dan dinikahkan dengan Dewi Hoyi tersebut. Mereka hidup berumah tangga di Kerajaan Malawa, dan dari perkawinan itu lahirlah Raden Surata.

Setelah Prabu Aywana meninggal, takhta Kerajaan Malawa diserahkan kepada Raden Oya, yang bergelar Prabu Oya. Beberapa tahun kemudian, Prabu Oya dan Dewi Hoyi meninggal bersamaan. Takhta Kerajaan Malawa harusnya diwarisi oleh Raden Surata selaku putra tunggal mereka, tetapi hal itu ditentang oleh Patih Pratana yang mengatakan bahwa Raden Surata tidak berhak menjadi raja. Alasannya ialah Prabu Oya merupakan pendatang dari Jawa, sehingga bisa menjadi raja Malawa hanya karena mewakili istrinya. Setelah Dewi Hoyi dan Prabu Oya meninggal, maka Raden Surata yang berdarah campuran itu tidak berhak duduk di atas takhta Kerajaan Malawa.

Patih Pratana sangat pandai menghasut rakyat Malawa, sehingga dirinya bisa merebut takhta kerajaan dan bergelar Prabu Pratana. Tidak hanya itu, Prabu Pratana juga berusaha membunuh Raden Surata dan istrinya yang bernama Dewi Sarati. Merasa dalam bahaya, Raden Surata pun Dewi Sarati mengungsi ke Kerajaan Timpuru, yaitu negeri kelahiran istrinya itu. Dewi Sarati sendiri sedang mengandung dan sangat tertekan perasaannya. Sesampainya di Kerajaan Timpuru, ia pun meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra, yang diberi nama Raden Asrama.

Prabu Rasika raja Timpuru sangat marah bercampur sedih atas apa yang telah dialami anak dan menantunya. Ia pun memimpin pasukan dengan didampingi Patih Reksaka, menyerang Kerajaan Malawa untuk menuntut hak Raden Surata. Akan tetapi, pihak lawan terlalu kuat sehingga Prabu Rasika dan Patih Reksaka dapat dipukul mundur dan pulang membawa kekalahan. Prabu Rasika lalu menyarankan supaya Raden Surata meminta bantuan kepada sepupunya yang saat ini menjadi penguasa tunggal di Tanah Jawa, bernama Prabu Basumurti raja Wirata. Prabu Rasika menjelaskan bahwa Raden Surata adalah cucu Prabu Sri Mahapunggung, sedangkan Prabu Basumurti adalah cucu Prabu Basurata. Adapun Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah sama-sama putra Batara Wisnu.

Prabu Basumurti sangat terharu mendengar kisah menyedihkan yang dialami Raden Surata. Ia pun memanggil Raden Surata dengan sebutan “kakak” dan menjamunya dengan penuh penghormatan di istana Wirata. Jika dulu Raden Brahmaneka dan Gajah Oya pernah berselisih, maka tiba saatnya kini anak-anak mereka memperbaiki hubungan dan saling mempererat persaudaraan.

Prabu Basumurti lalu memerintahkan Raden Basukesti dan Raden Basunanda untuk memimpin pasukan Wirata, membantu Raden Surata mendapatkan kembali haknya atas takhta Kerajaan Malawa.

PASUKAN WIRATA MENGALAHKAN KERAJAAN MALAWA

Raden Basukesti dan Raden Basunanda memimpin pasukan Wirata berlayar menuju Tanah Hindustan dengan Raden Surata sebagai penunjuk jalan. Sesampainya di sana, Prabu Rasika dan pasukan Timpuru menggabungkan diri untuk kemudian bersama-sama menyerang Kerajaan Malawa.

Prabu Pratana memimpin pasukan Malawa menghadapi serangan gabungan tersebut. Perang besar pun terjadi. Setelah bertempur seharian, Raden Basukesti akhirnya berhasil menangkap Prabu Pratana.

Para penghuni istana Kerajaan Malawa ternyata tidak semuanya mendukung kepemimpinan Prabu Pratana. Ada sebagian di antara mereka bahkan memiliki bukti bahwa kematian Prabu Oya dan Dewi Hoyi secara bersamaan adalah karena diracun oleh Prabu Pratana yang kala itu menjabat sebagai patih.

Kini, para pembesar Kerajaan Malawa sepakat menyerahkan takhta kepada Raden Surata selaku putra tunggal Prabu Oya dan Dewi Hoyi. Setelah dilantik, Raden Surata pun bergelar Prabu Surata. Ia memimpin persidangan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Prabu Pratana.

RADEN BASUKESTI MENJALANI TAPA RAME

Prabu Surata sangat berterima kasih kepada kedua sepupunya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda yang telah membantunya mendapatkan kembali hak atas takhta Kerajaan Malawa. Setelah mendapatkan perjamuan dan berbagai macam hadiah, Raden Basukesti dan Raden Basunanda pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Wirata bersama pasukan mereka.

Dalam perjalanan pulang, Raden Basukesti sering melamun memikirkan cincin permata Manikwara yang dulu diterimanya dari Batara Mahadewa. Konon, dengan memilliki cincin tersebut, Raden Basukesti dapat menjadi raja Wirata. Tentu saja hal ini membuatnya bingung. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi raja, padahal Prabu Basumurti telah memiliki seorang putra sebagai ahli waris, yaitu Raden Basusena? Raden Basukesti lama-lama khawatir jika terlalu memikirkan takhta Kerajaan Wirata, bisa-bisa dirinya akan memberontak seperti yang telah dilakukan Patih Pratana di Kerajaan Malawa.

Karena takut hatinya tergoda untuk memberontak, maka begitu sampai di Pulau Jawa, Raden Basukesti tidak langsung pulang ke Wirata, tetapi memisahkan diri dari rombongan dengan ditemani dua abdi kesayangannya saja, yaitu Indu dan Sindu. Mereka bertiga lalu menyamar menjadi pengembara, sedangkan Raden Basunanda memimpin rombongan kembali ke Wirata untuk melaporkan kemenangan kepada Prabu Basumurti.

Raden Basukesti yang menyamar sebagai pengembara itu lalu menjalani tapa rame untuk mengumpulkan kebaikan dan mengusir pikiran jahat. Tapa rame adalah kegiatan memberikan pertolongan kepada siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan. Tidak hanya menolong orang yang masih hidup, Raden Basukesti dan kedua abdinya juga menguburkan mayat yang mereka temui di jalanan. Bahkan, mereka bertiga tidak hanya menguburkan mayat manusia, tapi juga bangkai-bangkai binatang, serta membersihkan segala sampah yang mereka temukan.

Setelah satu tahun lamanya berkelana, pada suatu hari Raden Basukesti bertemu Patih Jatikanda di jalan yang mengaku diutus Prabu Basumurti untuk mencari dan menjemputnya pulang. Patih Jatikanda menjelaskan bahwa Prabu Basumurti hendak berbesan dengan Raden Basunanda, yaitu melalui pernikahan antara Raden Basusena dengan Dewi Basundari. Karena upacara perkawinan mereka akan segera diselenggarakan tidak lama lagi, maka Prabu Basumurti pun mengutus Patih Jatikanda untuk mencari Raden Basukesti dan membawanya pulang ke Wirata. Patih Jatikanda mengaku telah mencari Raden Basukesti ke mana-mana hingga akhirnya bisa bertemu di tempat ini.

Raden Basukesti sangat gembira mendengar berita tersebut. Ia pun bergegas pulang bersama Patih Jatikanda ke Kerajaan Wirata untuk menyaksikan pernikahan antara kedua keponakannya tersebut.

PERNIKAHAN RADEN BASUSENA DAN DEWI BASUNDARI

Raden Basusena adalah putra tunggal Prabu Basumurti dengan Dewi Jatiswara (kakak perempuan Patih Jatikanda), sedangkan Dewi Basundari dan adiknya yang bernama Raden Basundara adalah anak Raden Basunanda dengan Dewi Sukawati. Sementara itu, perkawinan Raden Basukesti dan Dewi Pancawati sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang pun anak.

Pada hari yang telah ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Raden Basusena dengan Dewi Basundari tersebut. Kedua mempelai duduk di pelaminan, di atas pangkuan Raden Basukesti yang menganggap mereka seperti anak sendiri.

RADEN BASUSENA MENDIRIKAN KERAJAAN GAJAHOYA

Pada suatu hari, Raden Basusena berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin hidup mandiri seperti pamannya, yaitu Resi Manumanasa yang membangun Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga, ataupun Resi Manonbawa dan Arya Paridarma yang membuka Pedukuhan Gandara. Untuk itu, Raden Basusena pun meminta sebidang tanah kepada sang ayah untuk membangun tempat tinggal sendiri.

Prabu Basumurti merasa senang mendengar keinginan putranya untuk hidup mandiri. Ia pun bercerita bahwa di Desa Wahita terdapat sembilan buah rumah berjajar indah menghadap sebuah telaga jernih yang dulu dibangun oleh Gajah Oya, atas permintaan Dewi Indradi. Karena Raden Basusena adalah cucu Dewi Indradi, maka ia pun berhak mewarisi kesembilan rumah indah tersebut.

Raden Basusena sangat senang dan berterima kasih kepada Prabu Basumurti. Ia lalu mohon pamit berangkat dengan ditemani Dewi Basundari dan Raden Basundara untuk pergi ke Desa Wahita di mana sembilan rumah indah berdiri di sana.

Beberapa bulan kemudian, Raden Basusena telah selesai membangun sebuah istana megah dengan cara menyatukan kesembilan rumah indah tersebut. Bersamaan dengan itu, istrinya juga melahirkan seorang putra. Prabu Basumurti dan Dewi Jatiswara serta Raden Basunanda dan Dewi Sukawati datang berkunjung dan memberi nama cucu mereka itu, Raden Wasanta.

Prabu Basumurti sangat senang melihat istana yang dibangun putranya tersebut, dan mengizinkan Raden Basusena menjadi raja di sana. Karena istana itu dibangun dengan cara menyatukan kesembilan rumah yang dulu didirikan oleh Gajah Oya, maka negeri baru tersebut pun diberi nama Kerajaan Gajahoya.

Raden Basusena dilantik menjadi raja Gajahoya bawahan Wirata dengan memakai gelar Prabu Hastimurti, sedangkan menteri utama dijabat oleh adik iparnya, bergelar Patih Basundara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Minggu, 31 Mei 2020

Pakumpulan Saptaarga

Pakumpulan Saptaarga

Kisah ini menceritakan kesalahpahaman Prabu Basumurti terhadap Resi Manumanasa yang menerima sejumlah murid di Gunung Saptaarga. Raden Basukesti diutus Prabu Basumurti untuk menangkap Resi Manumanasa, namun ia berhasil memperbaiki hubungan di antara mereka. Raden Basukesti juga mendapatkan cincin pusaka dari Batara Mahadewa yang kelak membuatnya bisa menurunkan raja-raja Tanah Jawa.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan oleh Heri Purwanto.

PRABU BASUMURTI MENCURIGAI RESI MANUMANASA

Prabu Basumurti di Kerajaan Wirata dihadap Patih Jatikanda, Resi Wakiswara, Raden Basukesti, Raden Basunanda, serta Prabu Rambana raja Pringgadani. Mereka sedang membicarakan desas-desus bahwa Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga hendak melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Wirata. Untuk itu, Prabu Basumurti telah mengutus para punggawa untuk memeriksa ke sana.

Pada saat itulah kedua punggawa yang dikirim untuk menyelidiki, yaitu Arya Kawaka dan Arya Wisraba datang menghadap dan melaporkan bahwa Resi Manumanasa benar-benar ingin memberontak kepada Kerajaan Wirata. Mereka bercerita bahwa dua orang pembantu Resi Manumanasa yang bernama Kapi Supalawa dan Janggan Smara telah mengumpulkan para pemuda desa di sekitar Gunung Saptaarga untuk melatih mereka ilmu perang dan baris-berbaris. Prabu Basumurti sangat marah mendengar laporan itu. Ia pun memerintahkan Prabu Rambana untuk menangkap Resi Manumanasa dan menghadapkannya ke istana Wirata.

Prabu Rambana mohon pamit berangkat menuju ke Gunung Saptaarga. Prabu Basumurti lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam, disambut oleh sang permaisuri Dewi Jatiswara di gapura kedaton.

RESI MANUMANASA MENGAJAR PARA SEPUPU

Sementara itu, Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga dihadap para sepupunya, yaitu Raden Sriwanda (putra mendiang Prabu Srikala), serta Raden Artaetu, Raden Etudarma, dan Raden Darmahanara (ketiganya putra mendiang Prabu Sriwahana). Mereka berempat telah beberapa bulan ini berguru kepada Resi Manumanasa mempelajari segala macam ilmu pengetahuan. Meskipun Prabu Parikenan (ayah Resi Manumanasa) gugur saat berperang melawan Prabu Srikala, namun tiada dendam di antara anak keturunan mereka.

Hari itu Resi Manumanasa menyatakan keempat sepupunya telah menamatkan segala pelajaran darinya, dan menyarankan agar mereka menjadi pendeta setelah kembali ke Desa Andong. Untuk selanjutnya, Raden Sriwanda hendaknya memakai gelar Resi Sakra, sedangkan ketiga lainnya silakan bergelar Resi Artaetu, Resi Etudarma, dan Resi Darmahanara. Mereka berempat mematuhi, lalu mohon pamit meninggalkan Gunung Saptaarga.

Sesampainya di Desa Andong, Resi Sakra dan ketiga sepupunya segera membangun padepokan. Resi Sakra membangun Padepokan Andongpangukir, Resi Artaetu membangun Padepokan Andongsari, Resi Etudarma membangun Padepokan Andonggading, sedangkan Resi Darmahanara membangun Padepokan Andongdadapan.

PRABU RAMBANA MENYERANG GUNUNG SAPTAARGA

Prabu Rambana beserta Patih Saswamertyu dan pasukan raksasa Pringgadani telah sampai di kaki Gunung Saptaarga dan melihat seekor kera putih dan seorang laki-laki pendek bulat sedang melatih para pemuda desa ilmu perang dan baris-berbaris. Tanpa banyak tanya, Prabu Rambana langsung memerintahkan pasukannya untuk membubarkan perkumpulan itu.

Kera putih dan laki-laki bulat pendek tersebut tidak lain adalah Putut Supalawa dan Janggan Smara. Begitu mendapat serangan mendadak dari para raksasa, mereka pun memberikan perlawanan. Maka, terjadilah pertempuran di antara mereka. Para pemuda desa banyak yang menjadi korban keganasan para raksasa. Namun, para raksasa sendiri juga tidak sedikit yang roboh terkena amukan Putut Supalawa.

Demi mencegah jatuhnya korban lebih banyak, Putut Supalawa segera mengerahkan kesaktiannya berupa Angin Garuda yang membuat Prabu Rambana dan seluruh pasukannya terhempas sejauh-jauhnya dari wilayah Gunung Saptaarga.

PRABU BASUMURTI MENGIRIM RADEN BASUKESTI

Prabu Basumurti sangat marah mendengar berita kekalahan Prabu Rambana. Ia lalu memerintahkan adiknya, yaitu Raden Basukesti supaya memimpin pasukan Wirata mengempur Gunung Saptaarga. Raden Basukesti mematuhi, namun dalam hati ia masih tidak percaya kalau Resi Manumanasa menyusun pemberontakan.

Raden Basukesti pun berangkat didampingi Raden Basunanda memimpin pasukan Wirata. Namun, di tengah jalan Raden Basukesti memerintahkan berhenti. Ia berniat melakukan penyelidikan terlebih dulu apa benar Resi Manumanasa menyusun pemberontakan atau tidak. Untuk itu, Raden Basunanda diminta menunggu bersama seluruh pasukan, sedangkan Raden Basukesti melakukan penyamaran ditemani dua orang abdinya, yang bernama Indu dan Sindu.

RADEN BASUKESTI MERUWAT RAKSASA BERNAMA DITYA DARWAKA

Raden Basukseti dan kedua abdinya menyamar sebagai pedagang untuk menyelidiki benar tidaknya berita pemberontakan Resi Manumanasa. Mereka bertanya kepada para penduduk di sepanjang jalan, dan ternyata para penduduk tidak tahu-menahu soal itu. Ketika Raden Basukesti bertanya mengapa para pemuda desa berlatih perang dan baris-berbaris, para penduduk menjawab bahwa itu bukan latihan perang, melainkan latihan bela diri untuk menghadapi gangguan raksasa ganas bernama Ditya Darwaka.

Raden Basukesti penasaran dan bertanya tentang Ditya Darwaka tersebut. Para penduduk menjawab bahwa sudah beberapa bulan ini ada raksasa ganas bernama Ditya Darwaka yang sering mengamuk mencelakai banyak orang. Tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya. Untuk itulah, para pemuda lalu berlatih ilmu bela diri kepada Putut Supalawa dan Janggan Smara di kaki Gunung Saptaarga supaya bisa mengalahkan raksasa tersebut.

Pada saat itulah Ditya Darwaka datang dan mengamuk, membuat para penduduk berlarian. Raden Basukesti segera menghadapinya. Mereka bertarung sengit di mana Raden Basukesti terdesak kewalahan. Raden Basukesti lalu melepaskan panah yang tepat mengenai leher raksasa itu hingga tewas.

Secara ajaib, jasad Ditya Darwaka musnah dan berubah menjadi seorang dewa, yaitu Batara Mahadewa, putra Batara Guru dari Batari Umaranti. Batara Mahadewa berterima kasih karena Raden Basukesti telah membebaskan dirinya dari kutukan karena tanpa sengaja telah berbuat kesalahan terhadap Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka. Sebagai hadiah, Batara Mahadewa pun memberikan Cincin Manikwara untuk dipakai Raden Basukesti. Barangsiapa memakai cincin tersebut, maka dia akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.

Demikianlah, Batara Mahadewa lalu kembali ke kahyangan, sedangkan para penduduk keluar dari persembunyian untuk berterima kasih kepada Raden Basukesti.

RADEN BASUKESTI MENEMUI RESI MANUMANASA

Raden Basukesti telah sampai di Pertapaan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa sangat gembira menyambut saudara sepupunya itu. Raden Basukesti berterus terang bahwa kedatangannya adalah untuk menyelidiki desas-desus tentang Resi Manumanasa yang kabarnya hendak memberontak terhadap Kerajaan Wirata. Resi Manumanasa sangat terkejut dan menyatakan bahwa berita itu tidak benar.

Raden Basukesti lalu bertanya mengapa Resi Manumanasa melatih para pemuda desa ilmu bela diri seperti hendak membentuk angkatan perang. Putut Supalawa dan Janggan Smara yang juga hadir segera menjelaskan bahwa merekalah yang bertanggung jawab melatih para pemuda desa itu. Awalnya para pemuda desa itu mengeluh sering diganggu raksasa bernama Ditya Darwaka. Mereka pun ingin dilatih ilmu bela diri kepada Putut Supalawa dan Janggan Smara. Lama-kelamaan, para pemuda desa yang ikut berlatih semakin banyak, sehingga terkesan seolah-olah Resi Manumanasa hendak membentuk angkatan perang.

Putut Supalawa juga bercerita pada suatu hari datang punggawa Kerajaan Wirata bernama Arya Kawaka dan Arya Wisraba yang marah-marah dan memerintahkan supaya latihan para pemuda itu dibubarkan. Putut Supalawa tersinggung atas sikap tidak sopan mereka dan membalas dengan ucapan kasar pula. Akibatnya, terjadilah perselisihan dan berlanjut dengan perkelahian di antara mereka.

Raden Basukesti yakin telah terjadi kesalahpahaman antara Kerajaan Wirata dengan Gunung Saptaarga dikarenakan penyelidikan Arya Kawaka dan Arya Wisraba yang kurang cermat. Untuk itu, Raden Basukesti mengajak Resi Manumanasa pergi ke istana Wirata menghadap Prabu Basumurti dan menjelaskan semua persoalan supaya tidak lagi terjadi kesalahpahaman. Resi Manumanasa bersedia memenuhi ajakan tersebut. Maka, mereka pun berangkat meninggalkan pertapaan menuju Kerajaan Wirata.

PRABU BASUMURTI MEMINTA MAAF KEPADA RESI MANUMANASA

Raden Basukesti dan Resi Manumanasa telah sampai di istana Wirata, menghadap Prabu Basumurti. Raden Basukesti pun menceritakan semua peristiwa yang ia alami dari awal sampai akhir kepada sang kakak. Bahwasanya para pemuda desa berlatih ilmu bela diri di kaki Gunung Saptaarga bukanlah untuk membentuk angkatan perang, tetapi untuk menghadapi gangguan Ditya Darwaka. Adapun Ditya Darwaka telah dikalahkan oleh Raden Basukesti. Dalam hal ini Raden Basukesti tidak berani menceritakan kalau raksasa tersebut adalah penjelmaan Batara Mahadewa yang telah memberikan Cincin Manikwara pula, karena takut sang kakak akan tersinggung mendengarnya.

Mendengar penuturan Raden Basukesti, Prabu Basumurti sangat malu telah salah paham kepada Resi Manumanasa. Ia pun meminta maaf namun masih ada perasaan ragu-ragu di hatinya. Resi Manumanasa paham akan hal itu dan segera mengucapkan sumpah setia kepada Prabu Basumurti dan Kerajaan Wirata, dengan Raden Basukesti sebagai saksi.

Prabu Basumurti merasa lega. Ia lantas memberikan hadiah berupa emas dan permata untuk bekal hidup sehari-hari Resi Manumanasa dan para murid di Gunung Saptaarga.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Sabtu, 30 Mei 2020

Lahire Satrukem

Lahire Satrukem

Kisah ini menceritakan kelahiran tiga orang putra Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Mereka lahir dalam keadaan terbungkus dan digunakan untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Kalimantara, yang kemudian jasadnya berubah menjadi sebuah kitab pusaka bernama Jamus Kalimasada. Kisah dilanjutkan dengan kematian Prabu Basupati dan kedua istrinya, serta Dewi Brahmaneki, serta pelantikan Raden Basumurti sebagai raja Wirata yang ketiga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan lakon wayang dalam rubrik Pedhalangan dari Majalah Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan oleh Heri Purwanto.

DEWI BRAHMANEKI MENIKAHKAN RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA

Satu tahun berlalu sejak Prabu Basupati di Kerajaan Wirata menggelar pernikahan Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Pada suatu hari Dewi Brahmaneki datang menghadap dan meminta tolong supaya Prabu Basupati mencarikan jodoh untuk Raden Manonbawa dan Raden Paridarma. Prabu Basupati pun memanggil Patih Waksiwara untuk menanyakan kedua putrinya yang bernama Dewi Suwedi dan Dewi Subahni. Adapun putra sulung Patih Wakiswara bernama Arya Suweda telah menjadi punggawa Kerajaan Wirata. Ketika Prabu Basupati menyampaikan maksudnya ingin menikahkan Dewi Suwedi dengan Raden Manonbawa, serta Dewi Subahni dengan Raden Paridarma, Patih Wakiswara langsung menyatakan setuju.

Maka, pada hari yang ditentukan, dilangsungkanlah pernikahan ganda tersebut. Resi Manumanasa juga datang menghadiri perkawinan adik-adiknya itu namun tidak bersama Dewi Retnawati, karena saat itu sedang mengandung. Setelah upacara pernikahan selesai, Prabu Basupati lalu mengangkat kedua keponakannya itu menjadi pegawai Kerajaan Wirata. Raden Manonbawa dijadikan pendeta, bergelar Resi Manonbawa; sedangkan Raden Paridarma dijadikan punggawa, bergelar Arya Paridarma.

DEWI RETNAWATI MEMAKAN BUAH SUMARWANA

Dalam perjalanan pulang ke Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa melihat sebuah pohon yang hanya memiliki buah satu butir, namun terlihat bersinar menyilaukan. Buah itu pun dipetiknya dan dibawa pulang. Sesampainya di Pertapaan Ratawu, Resi Manumanasa memberikan buah yang bersinar itu kepada Dewi Retnawati.

Tepat tengah hari, Dewi Retnawati memakan buah pemberian suaminya tersebut. Ternyata rasanya sangat manis dan menyegarkan. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati segera keluar memeriksa dan melihat di halaman padepokan tampak Putut Supalawa dan Janggan Smara sedang berkelahi melawan sesosok makhluk gandarwa. Gandarwa itu mengamuk dan meminta supaya buah miliknya dikembalikan.

Resi Manumanasa segera melerai perkelahian tersebut dan menanyakan asal-usul si gandarwa. Gandarwa itu mengaku bernama Satrutapa. Ia bercerita pada suatu hari dirinya mendapatkan bibit pohon Sumarwana. Pohon itu kelak akan berbuah satu kali dan barangsiapa yang memakannya tentu akan menurunkan tokoh-tokoh besar di Tanah Jawa. Maka, Gandarwa Satrutapa pun menanam bibit pohon tersebut dan merawatnya setiap hari hingga akhirnya berbuah. Sungguh malang, ketika Resi Manumanasa kebetulan lewat dan memetik buah tersebut, Gandarwa Satrutapa sedang ketiduran.

Mendengar cerita tersebut, Resi Manumanasa merasa sangat bersalah telah mengambil buah milik orang lain. Tadinya ia mengira buah tersebut tumbuh liar begitu saja seperti pohon-pohon lainnya di sekitar situ. Gandarwa Satrutapa sebenarnya sangat kecewa, namun saat melihat Dewi Retnawati yang sedang mengandung, ia akhirnya merelakan buah tersebut. Namun sebagai gantinya, Gandarwa Satrutapa meminta supaya diizinkan menitis kepada janin yang dikandung Dewi Retnawati itu.

Resi Manumanasa mengamati sosok Gandarwa Satrutapa yang berwujud makhluk halus namun sepertinya memiliki sifat yang polos dan jujur. Maka, ia pun mengizinkan apabila gandarwa tersebut menitis kepada calon anaknya. Gandarwa Satrutapa sangat senang, lalu ia pun masuk ke dalam kandungan Dewi Retnawati.

DEWI RETNAWATI MELAHIRKAN BAYI BUNGKUS

Ketika kandungannya memasuki usia sembilan bulan, Dewi Retnawati pun melahirkan. Akan tetapi, bayi yang dilahirkannya berukuran sangat besar dan terbungkus oleh semacam selaput keras. Dewi Retnawati sendiri meninggal dunia akibat persalinan yang tak wajar itu dan sukmanya kembali ke kahyangan sebagai bidadari.

Resi Manumanasa sangat berduka. Ia berusaha membuka bungkus bayi tersebut namun tidak berhasil. Putut Supalawa dan Janggan Smara juga mencoba namun mereka pun tidak mampu membuka bungkus bayi berukuran besar itu.

Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan menemui Resi Manumanasa. Ia menjelaskan mengapa ukuran bayi berbungkus yang dilahirkan Dewi Retnawati itu sangat besar, adalah karena di dalamnya berisi tiga orang bayi laki-laki. Bungkus tersebut dapat dibuka hanya jika Resi Manumanasa membantu Kahyangan Suralaya yang saat ini diserang musuh dari Kerajaan Nusarukmi, dipimpin Prabu Kalimantara.

Batara Narada pun bercerita bahwa Prabu Kalimantara datang ke Kahyangan Suralaya untuk melamar Batari Gagarmayang sebagai permaisuri, namun ditolak oleh Batara Indra. Merasa tersinggung, Prabu Kalimantara dan saudara-saudaranya lantas mengamuk menyerang para dewa. Menurut petunjuk dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, Prabu Kalimantara hanya bisa dikalahkan oleh Resi Manumanasa dengan menggunakan bayi berbungkus yang baru saja dilahirkan Dewi Retnawati.

Resi Manumanasa menyanggupi hal itu. Ia lalu berangkat bersama Batara Narada menuju Kahyangan Suralaya sambil menggendong ketiga bayinya yang terbungkus menjadi satu itu. Putut Supalawa dan Janggan Smara pun ikut serta.

RESI MANUMANASA MENGALAHKAN PRABU KALIMANTARA

Resi Manumanasa telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung berhadapan dengan pasukan Kerajaan Nusarukmi. Putut Supalawa ikut bertempur menewaskan banyak prajurit musuh. Prabu Kalimantara tampak berbaris bersama saudara-saudaranya, yang bernama Patih Ardadedali, Arya Karawelang, dan Garuda Banatara. Dalam pertempuran sebelumnya, Batara Indra dan para dewa tidak mampu mengalahkan mereka, karena setiap kali ada yang terluka atau terbunuh, akan segera bangkit kembali setelah mendapatkan kibasan sayap Garuda Banatara.

Resi Manumanasa yang telah mendapatkan petunjuk dari Batara Narada segera bersiap untuk melemparkan bayi berbungkusnya. Ia paham hal ini sangat berbahaya, namun hanya dengan cara demikian ketiga bayinya bisa terbebas dari selaput pembungkus. Maka, ketika mendapatkan waktu yang tepat, Resi Manumanasa pun melemparkan bayi berbungkusnya itu ke arah musuh.

Bayi berbungkus tersebut melayang secepat kilat dan membentur kepala Prabu Kalimantara, lalu mental dan berturut-turut mengenai Patih Ardadedali, Arya Karawelang, dan Garuda Banatara. Mereka semua pun roboh kehilangan nyawa, dan secara ajaib jasad masing-masing berubah wujud menjadi pusaka. Prabu Kalimantara berubah menjadi sebuah kitab; Patih Ardadedali menjadi sebatang anak panah; Arya Karawelang menjadi sebatang tombak; dan Garuda Banatara menjadi sebuah payung.

Di lain pihak, selaput pembungkus bayi robek pula, sehingga ketiga putra Resi Manumanasa kini bebas merdeka. Ketiga bayi laki-laki itu menangis bersamaan, membuat Resi Manumanasa kesulitan menentukan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Batara Narada lalu memberikan petunjuk sehingga Resi Manumanasa dapat menetapkan urutan usia bagi ketiga putranya itu. Yang paling tua adalah titisan Gandarwa Satrutapa, diberi nama Bambang Satrukem. Yang nomor dua diberi nama Bambang Sriati, sedangkan yang paling muda diberi nama Bambang Manumadewa.

Batara Indra berterima kasih atas bantuan Resi Manumanasa mengalahkan para musuh kahyangan dan bersiap memberikan hadiah kepadanya. Namun, Resi Manumanasa meminta anugerah untuk ketiga anaknya saja, supaya bisa tetap hidup meskipun ditinggal ibu mereka. Maka, Batara Indra pun memberikan anugerah apabila ketiga bayi itu menghisap jari tangan mereka sendiri, maka dari jari itu akan memancar keluar air susu, sampai kelak mereka berusia dua tahun. Resi Manumanasa sangat berterima kasih atas anugerah ajaib tersebut.

Sementara itu, Batara Narada telah memberi nama kepada pusaka-pusaka yang berasal dari jasad para musuh kahyangan tadi. Prabu Kalimantara yang telah berubah menjadi kitab, diberi nama Serat Kalimasada. Namun, lembaran-lembaran kitab tersebut masih kosong tanpa tulisan. Batara Narada meramalkan kelak akan ada keturunan Resi Manumanasa bernama Resi Abyasa yang mampu menulisi kitab kosong tersebut dengan ajaran-ajaran kesempurnaan hidup.

Sementara itu, anak panah yang berasal dari jasad Patih Ardadedali diberi nama Panah Ardadedali, sedangkan tombak yang tercipta dari jasad Arya Karawelang diberi nama Tombak Karawelang. Adapun Garuda Banatara yang berubah menjadi payung pusaka, diberi nama Payung Tunggulnaga. Batara Narada lalu menitipkan keempat pusaka itu kepada Batara Indra supaya disimpan dan kelak hendaknya diberikan kepada anak keturunan Resi Manumanasa. Batara Indra pun menerima dan menyanggupi permintaan tersebut.

Setelah dirasa cukup, Resi Manumanasa lalu mohon pamit meinggalkan Kahyangan Suralaya, dengan disertai Putut Supalawa dan Janggan Smara. Mereka masing-masing menggendong bayi Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa.

PRABU BASUPATI DIGANTIKAN PRABU BASUMURTI

Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa menerima kunjungan Arya Suweda yang menyampaikan berita duka bahwa Prabu Basupati, Dewi Wakiswari, Dewi Awanti, serta Dewi Brahmaneki meninggal dunia karena keracunan masakan jamur. Resi Manumanasa sangat sedih dan segera berangkat menuju Kerajaan Wirata.

Sesampainya di istana Wirata, Resi Manumanasa melihat semuanya telah berkumpul. Upacara pemakaman terhadap mereka berempat pun diselenggarakan dalam suasana haru, dengan dipimpin Raden Basumurti selaku putra sulung Prabu Basupati.

Beberapa pekan kemudian, Raden Basumurti dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basumurti. Patih Wakiswara yang sudah tua mengundurkan diri dan menjadi pendeta, bergelar Resi Wakiswara. Kedudukannya sebagai menteri utama digantikan oleh adik ipar Prabu Basumurti, bergelar Patih Jatikanda (adik Dewi Jatiswara). Sementara itu, Arya Suweda putra Resi Wakiswara juga menjadi pendeta, bergelar Resi Wedawaka.

Prabu Basumurti juga menawarkan kedudukan kepada Resi Manumanasa. Akan tetapi, Resi Manumanasa menolak dan menyatakan lebih suka menyepi di Gunung Saptaarga sebagai pertapa dan sesekali saja berkunjung ke Kerajaan Wirata sebagai saudara, bukan sebagai pejabat. Prabu Basumurti tidak dapat memaksa sepupunya itu. Setelah masa berkabung usai, Resi Manumanasa dan kedua adiknya, yaitu Resi Manonbawa dan Arya Paridarma mohon pamit kembali ke tempat tinggal masing-masing.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Rabu, 27 Mei 2020

Resi Manumanasa

Resi Manumanasa

Kisah ini menceritakan Raden Kaniyasa mendirikan Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga dan memakai gelar Resi Manumanasa, sedangkan kedua adiknya, yaitu Raden Manonbawa dan Raden Paridarma membuka sebuah pedukuhan di Tanah Gandara, pemberian Prabu Basupati. Kisah ini juga menceritakan awal pertemuan Resi Manumanasa dengan Danghyang Smarasanta yang kelak terkenal dengan sebutan Kyai Semar.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan oleh Heri Purwanto.

DEWI BRAHMANEKI MEMINTA TANAH UNTUK ANAK-ANAKNYA

Prabu Basupati di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti, Raden Basukesti, dan Raden Basunanda. Tidak lama kemudian hadir pula Dewi Brahmaneki bersama ketiga putranya, yaitu Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma. Dewi Brahmaneki mengaku tadi malam bermimpi didatangi arwah suaminya, yaitu Prabu Parikenan yang memberikan wasiat supaya para putra hidup mandiri dan tidak lagi bersantai di istana Wirata. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun meminta sebidang tanah kepada Prabu Basupati sebagai tempat tinggal ketiga putranya dan supaya mereka menjadikannya lahan bercocok tanam.

Prabu Basupati mengabulkan permintaan adiknya tersebut. Ia lalu memberikan tanah bekas milik Arya Gandara kepada Raden Kaniyasa bersaudara. Adapun Arya Gandara tidak lain adalah punggawa Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra yang sudah lama meninggal dunia. Karena tidak memiliki keturunan, tanah tempat tinggalnya pun tiada yang mewarisi pula. Akibatnya, tanah itu sekarang tak terawat lagi dan banyak ditumbuhi tanaman liar.

Dewi Brahmaneki menerima pemberian kakaknya itu dengan senang hati. Setelah dirasa cukup, Raden Kaniyasa, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma mohon doa restu kemudian berangkat menuju Tanah Gandara. Prabu Basupati pun memerintahkan Arya Darmaruci memimpin sejumlah prajurit untuk mengawal ketiga keponakannya itu.

RADEN KANIYASA MENGALAHKAN PRABU RAMBANA

Baru saja rombongan Raden Kaniyasa meninggalkan kota Wirata, mereka langsung bertemu pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin Prabu Rambana, putra Prabu Kuramba. Kedatangan pasukan raksasa itu ke Kerajaan Wirata adalah untuk membalaskan kematian Prabu Kuramba yang dulu tewas di tangan Raden Kaniyasa pada saat menyerang Kahyangan Suralaya.

Maka, terjadilah pertempuran antara rombongan dari Wirata itu melawan para raksasa Pringgadani. Prabu Rambana sendiri masih sangat muda namun memiliki ilmu kesaktian yang lumayan tinggi. Sejak kematian ayahnya, ia banyak belajar kepada Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu. Dalam pertempuran kali ini pun, Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci tidak mampu mengalahkannya. Namun demikian, kesaktian Raden Kaniyasa ternyata masih berada di atas raja raksasa itu. Setelah bertarung sengit, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil meringkus Prabu Rambana, sekaligus beserta Resi Saniwara dan Patih Saswamertyu.

Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci lalu menghadapkan para raksasa itu kepada Prabu Basupati di istana Wirata. Prabu Basupati bersedia mengampuni nyawa mereka asalkan Prabu Rambana menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Wirata. Prabu Rambana menurut dan ia pun mengucapkan sumpah setia di hadapan Prabu Basupati dan para punggawanya. Prabu Basupati sangat berkenan mendengarnya. Ia lalu membebaskan Prabu Rambana dan mengizinkannya pulang kembali ke Kerajaan Pringgadani.

RADEN KANIYASA BERGURU KEPADA BATARA WISNU

Setelah keadaan aman, Raden Kaniyasa dan rombongannya kembali melanjutkan perjalanan menuju Tanah Gandara. Sesampainya di sana, tiba-tiba hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir bandang pun melanda daerah itu, membuat sebagian prajurit Wirata hanyut entah ke mana.

Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci juga ikut hanyut terbawa arus banjir. Dengan susah payah Raden Kaniyasa berenang untuk menangkap dan melemparkan tubuh mereka ke atas pohon tinggi. Akan tetapi, ia sendiri justru hanyut dan tak sempat menyelamatkan diri.

Pada saat itulah muncul Batara Wisnu yang turun dari angkasa untuk menolong Raden Kaniyasa lalu membawanya terbang, hingga akhirnya mendarat di Gunung Saptaarga. Di puncak gunung tersebut, Batara Wisnu mengangkat Raden Kaniyasa sebagai murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan kesaktian.

Setelah dirasa cukup, Batara Wisnu memerintahkan Raden Kaniyasa untuk bertapa mencapai kesempurnaan diri di Gunung Saptaarga, dan mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa. Batara Wisnu meramalkan kelak akan ada leluhur para dewa yang akan datang mengajarkan ilmu kesempurnaan kepadanya. Sementara itu, urusan membuka Tanah Gandara biarlah dilanjutkan oleh Raden Manonbawa dan Raden Paridarma saja.

RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA MEMBUKA PEDUKUHAN GANDARA

Saat itu banjir telah surut dan Batara Wisnu datang ke Tanah Gandara menemui Raden Manonbawa, Raden Paridarma, dan Arya Darmaruci yang sedang menangisi nasib kakak mereka. Batara Wisnu mengabarkan bahwa Raden Kaniyasa selamat dari banjir bandang dan saat ini telah menjadi pertapa di Gunung Saptaarga. Raden Manonbawa dan yang lain lega mendengarnya serta berniat menyusul ke sana. Namun, Batara Wisnu melarang dan menyarankan agar mereka tetap melanjutkan kegiatan membuka Tanah Gandara menjadi pedukuhan.

Raden Manonbawa dan Raden Paridarma mematuhi saran Batara Wisnu tersebut. Mereka lalu bergotong royong membuka Tanah Gandara dengan dibantu Arya Darmaruci dan para prajurit Wirata.

RESI MANUMANASA MEMBUKA PADEPOKAN RATAWU

Sementara itu, Raden Kaniyasa menelusuri Gunung Saptaarga yang memiliki tujuh puncak untuk mencari tempat yang cocok sebagai pertapaan. Saat menelusuri puncak demi puncak, Raden Kaniyasa melihat ada seberkas cahaya teja tegak lurus ke angkasa. Setelah didekati ternyata cahaya teja itu memancar keluar dari tubuh seekor wanara berbulu putih bersih yang sedang bertapa. Wanara putih itu terbangun dan menyambut kedatangan Raden Kaniyasa. Ia mengaku bernama Kapi Supalawa, putra Batara Bayu yang bertapa ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Menurut petunjuk dari ayahnya, Kapi Supalawa akan mencapai cita-cita tersebut apabila mengabdi kepada keturunan Batara Brahma yang bernama Raden Kaniyasa.

Raden Kaniyasa menerima pengabdian Kapi Supalawa. Mereka berdua lalu membangun sebuah pertapaan di bekas tempat Kapi Supalawa bertapa tadi, dan diberi nama Padepokan Ratawu. Sesuai nasihat Batara Wisnu, Raden Kaniyasa pun mengganti namanya menjadi Resi Manumanasa, sedangkan Kapi Supalawa diganti gelarnya menjadi Putut Supalawa.

RESI MANUMANASA MENDAPAT ILMU DARI SANGHYANG PADAWENANG

Setelah membangun padepokan, Resi Manumanasa pun mulai bertapa untuk meraih kesempurnaan hidup. Setelah beberapa hari terlewati, Batara Indra dan para penghuni Kahyangan Suralaya merasa gerah terkena hawa gaib yang dipancarkan olehnya. Batara Indra lalu menurunkan hujan deras disertai angin badai dan petir menyambar-nyambar di puncak Gunung Saptaarga, namun tidak berhasil membangunkan Resi Manumanasa.

Batara Indra lalu mencoba cara halus, yaitu mengirim ketujuh bidadari unggulan untuk menggoda Resi Manumanasa. Ketujuh bidadari itu ialah Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Irim-irim, Batari Gagarmayang, dan Batari Tunjungbiru. Mereka mendarat di Padepokan Ratawu dan berusaha dengan segala cara untuk membuyarkan ketekunan Resi Manumanasa. Akan tetapi, ketujuh bidadari itu justru terlempar kembali ke Kahyangan Suralaya akibat hawa gaib yang dipancarkan Sang Resi.

Tidak lama kemudian, datanglah leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang yang mendarat di Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa mendapat firasat dan segera terbangun dari tapanya untuk kemudian menyembah penuh hormat kepada Sanghyang Padawenang.

Kedatangan Sanghyang Padawenang adalah untuk memberikan anugerah ilmu kesempurnaan hidup kepada Resi Manumanasa. Setelah Resi Manumanasa menamatkan segala pelajaran, Sanghyang Padawenang berpesan bahwa tidak lama lagi akan ada seorang putranya yang datang bergabung di Gunung Saptaarga. Putranya itu tidak lain adalah Batara Ismaya (kakak Batara Guru) yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri.

Setelah berpesan demikian, Sanghyang Padawenang lalu kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.

RESI MANUMANASA BERTEMU KYAI SMARASANTA

Beberapa hari kemudian, Resi Manumanasa melihat seorang laki-laki bertubuh pendek bulat sedang berlari mendaki puncak Gunung Saptaarga karena dikejar dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Resi Manumanasa segera memberikan pertolongan. Ia melepaskan dua anak panah untuk melumpuhkan kedua harimau tersebut. Tak disangka, begitu terkena panah, kedua harimau itu musnah dan berubah wujud menjadi dua orang bidadari yang mengaku bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras.

Sementara itu, laki-laki bertubuh pendek bulat tadi mengaku bernama Kyai Smarasanta yang menyatakan ingin mengabdi di Padepokan Ratawu. Akan tetapi, Resi Manumanasa yakin bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah Batara Ismaya, putra Sanghyang Padawenang yang selama ini tinggal di Alam Sunyaruri. Awal mula Batara Ismaya berubah wujud menjadi gemuk pendek dan buruk rupa seperti itu adalah akibat berlomba menelan gunung bersama Batara Antaga ratusan tahun yang lalu.

Kyai Smarasanta akhirnya berterus terang bahwa dirinya memang perwujudan Batara Ismaya. Ia menjelaskan tentang kedatangannya ke Gunung Saptaarga ini adalah untuk menjalankan perintah Sanghyang Padawenang supaya dirinya mengabdi kepada Resi Manumanasa. Sementara itu, Batara Antaga (kakaknya) juga telah mendapat perintah untuk mengabdi kepada para raja di negeri seberang.

Kyai Smarasanta lalu menjelaskan bahwa kedua bidadari bernama Batari Kanistri dan Batari Kaniraras adalah putri Batara Hira, keturunan Sanghyang Caturkaneka yang secara tidak sengaja melakukan kesalahan, sehingga mendapat kutukan menjadi sepasang harimau merah dan putih. Pada suatu hari, kedua harimau itu menghadang Kyai Smarasanta yang sedang dalam perjalanan menuju Gunung Saptaarga. Kyai Smarasanta mengetahui kalau mereka sesungguhnya adalah bidadari yang terkena kutukan dan salah satunya akan menjadi jodoh Resi Manumanasa. Maka, ia pun pura-pura ketakutan dan berlari mendaki Gunung Saptaarga supaya kedua harimau itu mengejarnya dan bisa bertemu Resi Manumanasa.

Kini kedua harimau tersebut telah teruwat oleh panah Resi Manumanasa dan kembali menjadi bidadari. Mereka pun menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Resi Manumanasa. Resi Manumanasa sendiri tidak berani menganggap Kyai Smarasanta sebagai abdi dan lebih suka menjadikannya sebagai saudara tua. Maka, ia pun memilih Batari Kaniraras sebagai istri, sedangkan Batari Kanistri hendaknya menjadi istri Kyai Smarasanta.

Maka, diadakanlah pernikahan ganda di Gunung Saptaarga tersebut. Karena nama Batari Kaniraras sama persis dengan nama kakak sulungnya, maka Resi Manumanasa pun memanggil istrinya itu dengan sebutan baru, yaitu Dewi Retnawati. Sementara itu, Kyai Smarasanta juga mengganti nama Batari Kanistri menjadi Dewi Kenastren, supaya lebih mudah disebut.

Sejak saat itu, Kyai Smarasanta tinggal di Gunung Saptaarga sebagai pengurus rumah tangga Padepokan Ratawu, dan mengganti namanya menjadi Janggan Smara.

DEWI BRAHMANEKI MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA

Pada suatu hari, Dewi Brahmaneki datang ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Resi Manumanasa dan berkenalan dengan menantu barunya, yaitu Dewi Retnawati. Setelah beramah tamah dan melepas kerinduan, Dewi Brahmaneki lalu menceritakan keadaan di Kerajaan Wirata. Saat ini Resi Brahmastungkara di Gilingwesi dan Resi Wrigu di Medangkawuri (Wirata lama) telah meninggal dunia. Kedudukan mereka lalu digantikan oleh menantu masing-masing, yaitu Arya Darmaruci menduduki Padepokan Gilingwesi, bergelar Resi Darmaruci, serta Arya Suganda menduduki Padepokan Medangkawuri, bergelar Resi Suganda.

Dewi Brahmaneki juga mengabarkan bahwa beberapa hari lagi Prabu Basupati akan melangsungkan pernikahan untuk putra kedua dan ketiganya, yaitu Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Rupanya Prabu Basupati hendak berbesan dengan adik iparnya, yaitu Arya Awangga yang memiliki tiga orang putri bernama Dewi Pancawati, Dewi Sukawati, dan Dewi Dwarawati. Raden Basukesti akan dinikahkan dengan Dewi Pancawati, sedangkan Raden Basunanda dinikahkan dengan Dewi Sukawati. Untuk itu, Dewi Brahmaneki pun menyampaikan pula undangan Prabu Basupati kepada Resi Manumanasa supaya berkumpul di Kerajaan Wirata menghadiri pernikahan tersebut.

Maka, esok harinya Dewi Brahmaneki pun turun gunung bersama Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati. Mereka singgah pula di Pedukuhan Gandara, mengajak serta Raden Manonbawa dan Raden Paridarma untuk kemudian bersama-sama menuju ke Kerajaan Wirata.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Senin, 25 Mei 2020

Kaniyasa Sraya

Kaniyasa Sraya

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryosaputro, dengan sedikit pengembangan oleh Heri Purwanto.

DEWI KANIRARAS DILAMAR RAJA SEBERANG

Prabu Basupati di Kerajaan Wirata (Andongwilis) dihadap Patih Wakiswara, Raden Basumurti, Resi Brahmanaradya, Resi Brahmanaweda, dan Resi Brahmanakestu. Mereka sedang membicarakan hilangnya putra angkat Sang Prabu, yaitu Raden Kaniyasa (putra kandung Prabu Parikenan dan Dewi Brahmaneki yang tinggal di Wirata) yang pergi meninggalkan istana tanpa pamit.

Pada saat itulah datang seorang tamu yang mengaku bernama Patih Abisatya dari Kerajaan Duhyapura di Tanah Hindustan. Ia diutus rajanya yang bernama Prabu Durapati untuk menyampaikan pinangan kepada Dewi Kaniraras, keponakan Prabu Basupati. Apabila pinangan diterima, maka Kerajaan Wirata dan Duhyapura bisa menjadi sahabat. Tetapi apabila lamaran ditolak, maka kedua kerajaan bisa menjadi musuh.

Dewi Kaniraras memang telah menjadi janda sejak suaminya meninggal karena kecelakaan kerja, yaitu Empu Kanomayasa. Akan tetapi, Prabu Basupati sangat tersinggung mendengar ucapan Patih Abisatya yang bernada menantang itu. Ia pun menolak lamaran tersebut dan mempersilakan apabila pihak Kerajaan Duhyapura ingin memulai serangan. Patih Abisatya pun mohon pamit kembali ke perkemahan tempat rajanya menunggu.

Prabu Basupati segera memerintahkan Patih Wakiswara dan Raden Basumurti untuk mempersiapkan pasukan. Keduanya pun keluar istana, di mana Arya Suganda, Arya Darmaruci, Arya Panurta, Arya Suhatya, dan Arya Maradana telah menunggu perintah.

PRABU BASUPATI MENERIMA LAMARAN PRABU DURAPATI

Patih Abisatya telah sampai di perkemahan Kerajaan Duhyapura dan melaporkan kepada Prabu Durapati bahwa Prabu Basupati menolak lamarannya. Prabu Durapati memarahi Patih Abisatya karena salah bicara dan membuat Prabu Basupati tersinggung. Namun, semua sudah terlanjur. Prabu Durapati pun berangkat ke istana Wirata untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut.

Akan tetapi, pihak Wirata yang dipimpin Patih Wakiswara dan Raden Basumurti sudah terlanjur bersiaga dan langsung menyerang rombongan Prabu Durapati itu. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Prabu Durapati berhadapan melawan Raden Basumurti dan berhasil menangkapnya. Melihat putra sulungnya jatuh ke tangan musuh, Prabu Basupati pun terjun ke medan pertempuran untuk menolong.

Setelah bertarung cukup lama, Prabu Basupati akhirnya berhasil meringkus Prabu Durapati. Pada saat itulah muncul seorang anak perempuan yang menangis meminta supaya Prabu Durapati jangan disakiti. Ternyata anak perempuan itu adalah putri Prabu Durapati dari istri terdahulu, bernama Dewi Dalupi.

Prabu Basupati tersentuh hatinya melihat anak kecil tersebut dan ia pun melepaskan lawannya. Prabu Durapati sendiri meminta maaf dan menjelaskan bahwa Patih Abisatya tadi telah melakukan kesalahan bicara saat menyampaikan surat lamaran darinya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya adalah putra mendiang Prabu Basukirata raja Duhyapura terdahulu, yang merupakan sahabat Prabu Basurata (ayah Prabu Basupati).

Prabu Basupati teringat cerita ayahnya yang pernah berkunjung ke Tanah Hindustan untuk membantu Prabu Dasarata raja Ayodya saat mengadakan upacara mengambil Jamur Dipa demi mendapatkan putra. Pada kesempatan itu, Prabu Basurata juga banyak berkenalan dengan para raja Tanah Hindustan, antara lain Prabu Basukirata dari Kerajaan Duhyapura tersebut.

Kini, tiada lagi kesalahpahaman antara kedua pihak. Prabu Basupati pun menerima lamaran Prabu Durapati yang ingin memperistri Dewi Kaniraras. Dewi Kaniraras sendiri bersedia namun ia ingin pernikahan keduanya ini dilaksanakan setelah adiknya (Raden Kaniyasa) ditemukan.

Mendengar permintaan tersebut, Prabu Basupati segera mengutus Arya Darmaruci untuk pergi mencari keberadaan Raden Kaniyasa.

RADEN KANIYASA DIBAWA KE KAHYANGAN

Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, Arya Darmaruci akhirnya berhasil menemukan Raden Kaniyasa menyepi di Hutan Wimana. Ternyata sepupunya itu sedang bertapa untuk menambah ilmu dan kepandaian demi bisa menjadi seorang resi. Arya Darmaruci pun mengabarkan bahwa Raden Kaniyasa diminta untuk segera pulang karena kakak sulungnya, yaitu Dewi Kaniraras akan menikah dengan Prabu Durapati dari Kerajaan Duhyapura.

Pada saat itulah muncul Batara Narada yang turun dari angkasa mengabarkan bahwa saat ini Kahyangan Suralaya sedang dikepung musuh dari Kerajaan Pringgadani, bernama Prabu Kuramba yang ingin memperistri Batari Wilotama. Karena Batara Indra menolak lamaran itu, Prabu Kuramba pun mengamuk menggempur pertahanan para dewata. Batara Indra lalu meminta petunjuk Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru pun meramalkan bahwa yang bisa mengalahkan Prabu Kuramba adalah Raden Kaniyasa, putra mendiang Prabu Parikenan yang menjadi anak angkat Prabu Basupati.

Mengetahui dirinya mendapat kepercayaan, Raden Kaniyasa pun menyatakan bersedia. Ia meminta Arya Darmaruci supaya pulang lebih dulu. Namun, Arya Darmaruci tidak bersedia pulang kalau tidak bersama Raden Kaniyasa. Ia meminta supaya diizinkan mendampingi pergi ke Kahyangan Suralaya. Maka, Batara Narada lalu membawa mereka berdua naik ke Kahyangan Suralaya untuk dihadapkan kepada Batara Indra.

RADEN KANIYASA MENUMPAS PRABU KURAMBA

Prabu Kuramba adalah putra Ditya Singasari yang dulu pernah menculik Dewi Satapi dan akhirnya tewas di tangan Arya Sadaskara. Sepeninggal ayahnya, Ditya Kuramba berguru kepada seorang pendeta raksasa bernama Resi Saniwara. Setelah mendapatkan kesaktian, ia pun menaklukkan banyak raksasa untuk dijadikan anak buah, dan membuka Hutan Wanapringga tempat tinggal ayahnya menjadi sebuah kerajaan bernama Pringgadani.

Demikianlah, Prabu Kuramba semakin bertambah kekuasaannya dan ia pun mengutus Patih Saswamertyu untuk melamar Batari Wilotama di Kahyangan Suralaya. Karena Batara Indra menolak lamaran tersebut, Prabu Kuramba pun menyusul dan mengamuk menggempur pertahanan para dewa.

Pada saat itulah Raden Kaniyasa dan Arya Darmaruci muncul di hadapan para raksasa itu. Keduanya mengaku sebagai para jago untuk menumpas musuh kahyangan. Prabu Kuramba sangat marah mendengarnya, apalagi begitu mengetahui kalau Arya Darmaruci adalah anak Patih Sadaskara dan Dewi Satapi. Maka, ia pun menyerang pemuda itu untuk melampiaskan dendam kematian ayahnya. Arya Darmaruci terdesak kewalahan menghadapi serangan Prabu Kuramba tersebut. Melihat sepupunya dalam bahaya, Raden Kaniyasa segera menghadapi Prabu Kuramba, dengan berbekal Panah Sarotama pemberian Batara Indra.

Setelah bertempur sekian lama, Raden Kaniyasa akhirnya berhasil menewaskan Prabu Kuramba menggunakan panah pusaka tersebut. Melihat rajanya terbunuh, Patih Saswamertyu memilih kabur meninggalkan Kahyangan Suralaya untuk kembali ke Kerajaan Pringgadani.

RADEN KANIYASA MENDAPATKAN PAKAIAN KEBESARAN

Setelah memenangkan pertempuran, Batara Indra pun memberikan hadiah kepada Raden Kaniyasa berupa pakaian kebesaran, yaitu mahkota Gandawara, kopiah Indrakala, cincin Talipraba, gelang kaki Indrabraja, kutang Jajasulardi, praba Kuntibajra, baju Gandawari, sengkang Bama, gelang bahu Waliyasa, gelang lengan Bauwara, dan keroncong Karawili.

Setelah mendapatkan anugerah tersebut, Raden Kaniyasa disertai Arya Darmaruci mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya. Batara Narada pun mengantarkan mereka hingga mendarat di istana Kerajaan Wirata. Prabu Basupati sangat gembira mengetahui apa yang telah dialami Raden Kaniyasa. Setelah dirasa cukup, Batara Narada kemudian kembali ke kahyangan.

PERKAWINAN DEWI KANIRARAS DAN PRABU DURAPATI

Setelah Raden Kaniyasa ditemukan, maka diselenggarakanlah upacara pernikahan antara Dewi Kaniraras dengan Prabu Durapati yang dipimpin Resi Brahmanaradya.

Prabu Basupati sendiri terkesan melihat pakaian Raden Kaniyasa pemberian Batara Indra. Ia pun memerintahkan para seniman untuk membuat tiruan pakaian tersebut dalam jumlah banyak, untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pangeran, yaitu Raden Basumurti, Raden Basukesti, Raden Basunanda, Raden Manonbawa, dan Raden Paridarma, untuk dikenakan pada pesta perkawinan tersebut.

Beberapa hari kemudian, Prabu Durapati berniat memboyong Dewi Kaniraras untuk menetap di Kerajaan Duhyapura. Akan tetapi, Empu Dewayasa (kakak mendiang Empu Kanomayasa) meminta supaya Dewi Kaniraras meninggalkan kedua anaknya dari perkawinan terdahulu, yaitu Raden Prawa dan Dewi Prawita. Empu Dewayasa sangat menyayangi kedua keponakannya itu bagaikan anak sendiri, dan meminta supaya mereka tetap tinggal di Kerajaan Wirata.

Setelah dipertimbangkan, Dewi Kaniraras akhirnya mengabulkan permintaan kakak iparnya tersebut. Dengan berat hati, Dewi Kaniraras meninggalkan kedua anaknya dan ia pun pergi bersama suami barunya ke Kerajaan Duhyapura di tanah seberang.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Kamis, 07 Juni 2018

Lakon Durno gugur

Lakon Durno gugur

Durno gugur

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. “Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”

“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.

Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”

“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai.” Ah . . sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.

Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.

Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”

Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.

“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.

Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.

Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun,punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.

Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****

Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.

Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.

Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya.Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.

Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.

Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.

Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.

“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.

Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.

Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”

Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”

“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.

“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.

“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.

“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.

Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.

“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi”

“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna.

“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.

Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain

Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”

Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.
Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .”

“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.

“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.

Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.

“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.

“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.

Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.

Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.

Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu “
******

Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.

Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .” menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.

Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna.

Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.

Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.

Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian.

******

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.

Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.

Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara.

Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”

Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.

“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.

“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut bibirnya bergetar.

“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.

Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”

“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!”

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang”.

Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.

“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.

Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.

Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”

Sabtu, 28 April 2018

Bikin terharu, Kalabendana menjemput Gathotkaca

Bikin terharu, Kalabendana menjemput Gathotkaca

Gatutkaca Gugur

Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.

Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.

Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.

Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.

“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”.

“Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.

“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.

“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk menghadap hyang widi wasa.

“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.

“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu ?” kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya yang masih saja ragu.

“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.

“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.

Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.

“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata pamitan terakhir kalinya.

Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.

“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.

“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda senapati.

Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.

Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas.
Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya.

Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca.

Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.

Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang.
Segera Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.

Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.

Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.

Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.

Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.

Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.

Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena tegal Kuru malam itu.

Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.

Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.

“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.

Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap pamannya.

“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” senyum sang paman menanyakan permintaan keponakannya.

“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.

“Baik aku bisa melakukannya !”

Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini berakhir.

Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.

Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang terhenti !
Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.

Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.

“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.

Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya. Maka upacara segera dimulai.

Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.

Join Our Newsletter