Tampilkan postingan dengan label Baratayudha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Baratayudha. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Juni 2018

Lakon Durno gugur

Lakon Durno gugur

Durno gugur

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. “Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”

“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.

Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”

“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai.” Ah . . sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.

Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.

Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”

Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.

“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.

Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.

Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun,punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.

Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****

Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.

Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.

Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya.Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.

Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.

Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.

Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.

“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.

Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.

Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”

Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”

“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.

“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.

“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.

“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.

Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.

“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi”

“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna.

“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.

Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain

Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”

Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.
Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .”

“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.

“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.

Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.

“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.

“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.

Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.

Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.

Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu “
******

Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.

Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .” menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.

Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna.

Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.

Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.

Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian.

******

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.

Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.

Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara.

Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”

Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.

“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.

“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut bibirnya bergetar.

“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.

Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”

“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!”

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang”.

Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.

“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.

Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.

Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”

Sabtu, 28 April 2018

Bikin terharu, Kalabendana menjemput Gathotkaca

Bikin terharu, Kalabendana menjemput Gathotkaca

Gatutkaca Gugur

Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin. Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya, namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.

Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa, memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan Lembusaka.

Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.

Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan. Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.

“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu, jangan terbawa oleh hawa kemarahan”.

“Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.

“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini ?”. Sahut Werkudara.

“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk menghadap hyang widi wasa.

“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was, naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.

“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin jaman. Masihkah kamu ragu ?” kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya yang masih saja ragu.

“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.

“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca menghadapku. Sekarang juga ”.

Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.

“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata pamitan terakhir kalinya.

Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu. Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.

“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya keanehan dalam ucapanmu tadi”.

“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu, sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga sebagai tanda senapati.

Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya. Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.

Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga terlepas.
Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya akan segera lepas dari lehernya.

Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh tangan kekar Gatutkaca.

Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.

Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang.
Segera Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut, Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.

Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.

Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.

Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca, ketika tali pusar berhasil diputus.

Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.

Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.

Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena tegal Kuru malam itu.

Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya menghadap Gatutkaca.

Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.

“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.

Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman. Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap pamannya.

“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” senyum sang paman menanyakan permintaan keponakannya.

“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.

“Baik aku bisa melakukannya !”

Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih, digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama kemenakan tersayang, hari ini berakhir.

Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.

Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang terhenti !
Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.

Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.

“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat apa yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.

Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya. Maka upacara segera dimulai.

Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka, menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.

Kamis, 26 April 2018

Begini kisah kematian Raden Burisrawa

Begini kisah kematian Raden Burisrawa

Burisrawa lena

Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela sela perang, dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa hati itu akhirnya terbayang diwajah kusut sang Prabu.

Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya, tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati.

Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau yang diletakkan diatas pedupaan. Segera disulut dengan api secara hati hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya, menutup semua sembilan lubang tubuhnya.

Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar akaran, mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata.

Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma yang melayang dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa.

Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia gagal

Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya.

Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk didadanya.

Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari.
Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka.

“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ? Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa selama itu tak kelihatan nyatanya ! Gugurnya anakku yang merupakan kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati.

“Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan ? Taklah itu seimbang dengan gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati !” 
Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi tubi, malu dalam hatinya. Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata katanya, tak tahan ia. Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping hancurnya hati.

Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin.

“Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. “Akan susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan kekuatan orang orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan kekuatannya sendiri.”

Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya, segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.

“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan pamanmu pulang, sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba ditemani Aswatama ?”

Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia , Aswatama telah menjadi orang yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu. Namun otaknya yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti.

“Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya Pandita Durna”.

Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah. Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan Aswatama. Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan, mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah jauh meninggalakan medan Kurusetra.

Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti ganti terrasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama sama murid dari Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan.

Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju sendiri ke peperangan sebagai senapati.

Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan, maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.

Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak sulungnya Lesmana Mandrakumara.

“Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.
“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa”.

Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati. 
Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada Dursasana.

“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.

“Hah . . . bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.

“ Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”. Makin tak mengerti ia mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia melanjutkan “Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang ?”

“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati” Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama saja.

Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit, yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana ? Kalau boleh kali ini hamba menolak perintah paduka”

“Apa kamu tidak takut aku ?” tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.

“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung hamba”. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika batinnya berontak hebat.

“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud dari semua perintah terhadap adiknya.

Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.

Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya, dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.

**********

Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah mengambil alih peran Pandita Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi buta.
Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan Randugumbala segera bersiap menghadang.

Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera menyelonong kehadapan Arya Werkudara.

“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.

“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara meyakinkan tekad Setyaki.

“Yang paling utama adalah tekad !” jawab Setyaki yakin.

“Tekad tidak cukup !” kembali Werkudara menjawab

“Jadi harus bagaimana ?” tanya Setyaki memancing.

“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu kekuatanmu !“ Werkudara menawarkan cara

“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.

“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya, kamu pantas menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.

Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha, terangkat gada super berat Arya Bimasena.

“Bagus , kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !” . Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian, Setyaki tetap bangga.

“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang !.” Kembali ujian kedua ditawarkan.
“Silakan kanda.” Kembali Setyaki bersiap diri.

Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan badan Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming. Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya.

“Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba

Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu.

Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar. “Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu !”

Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam. Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan kemenangan.

“Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng ! Tidak mungkin kamu mengalahkan aku !”

“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu !”.

“Apa yang kamu andalkan ? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas nyawamu !”

“Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga !”

Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke leher Setyaki.

Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan, Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang.

Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan beradu gada.

Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian dan menyadap kekuatan alam.

Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa. Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa.

Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki “Disini akhir hidupmu Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.

Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya, bahwa peperangan tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal, Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu dapat ditolong.

“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak anakmu. Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu. Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”

“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa ragaku” mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu.

Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna, tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah.

Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa, Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali kali, tewas seketika Burisrawa.

Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi.

“Huh Burisrawa . . . ! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit ! Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !” berkacak pinggang Setyaki didepan jasad Burisrawa.

“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki.

“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” kebanggaan Setyaki belum habis juga

“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan lawanmu ?” tanya Kresna.

“Oooh . . . . . jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul kepalanya ?”

“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir , lihat ayah Burisrawa, Prabu Salya tidak terima !” Buru buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar menjauhi jasad Burisrawa.

Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang. Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa, Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati, Surtikanti dan Banuwati.

Bersambung

Rabu, 25 April 2018

Tragisss, inilah akhir riwayat Raden Jayadrata

Tragisss, inilah akhir riwayat Raden Jayadrata

JAYADRATA LENA

Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk. Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke tempat Arjuna berada.

disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak sang Dewi.

Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.

“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.

“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.

“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja, sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka minta andika pijak ?”

“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.

“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan. Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi siapakah sang Dewi sebenarnya ?” kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.
“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur rasa penasaran lawan bicaranya.

“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.

“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar, menyambar tangan Arjuna.

“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.

“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden. Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih menumpahkan isi hatinya.

“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” pancing Arjuna.

“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya. Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.

Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya. Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua asmarawan dan asmarawati itu.

Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.

Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling. Mati seketika gajah Murdaningkung.

Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah kesayangannya sambil menangis.

Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib membangunkan sang gajah dari kematian.

Terheran Arjuna melihat kejadian itu. Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang diberikan gurunya.

Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik seperguruannya , muncul ditengah kejadian.

Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu Bogadenta memarahi adik seperguruannya.

“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu. Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”

“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu Duryudana. !”

“Siapa kamu !” tanya Arjuna penasaran

“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan dirinya

“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.” Arjuna menantang.

“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”

Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.

Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur, bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.

Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong sesama kawannya.

Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.

“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”

Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah baktiku kanda”

Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa, maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang tergelarnya jagad”.

“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.

“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.

“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” aku Arjuna

“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu ?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan tentang wanita cantik itu.

“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.

“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang belum kamu lakukan !”.

Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya bersamaan.

“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna mendengar kata kakak iparnya.

*******

palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung, membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.

Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah dilumpuhkan.

Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan, Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan, kembali buru buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya arus banjir yang hendak melandanya.

Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna. Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.

Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong kalimat sumpah.

“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.
Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah persembunyian Jayadrata.

Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik iparnya.

“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna mengandalkan kakak iparnya.

Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !

Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam menlihat tempat persembunyian Jayadrata.

“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat berlindungnya Jayadrata !”

Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?”

“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka, berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”

Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.

Segera bergerak Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.

Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.

Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna, maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai menyambung ke masa senja yang sebenarnya.

Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih. Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian Arjuna.

Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung , bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.

Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri, pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang terjadi diluar sana.

Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.

Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana. Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.

Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang dibuat permainan itu.

“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”

Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala dendam terpancar dari bola mata itu !

“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” sabda sang Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.

Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan. Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !

Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah Jayadrata, jangan mati”.

Berulang kalimat ini diucapkan.

Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra dengan benar.

Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal akalan yang dilakukan Kresna.

Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.

Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya. Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga matahari sudah menyentuh ufuk.

Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap dinginnya hujan”.

Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.

Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.

Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . . 
BERSAMBUNG

Sabtu, 21 April 2018

Kematian wisamuka, anak Jayadrata

Kematian wisamuka, anak Jayadrata

Kelanjutan bharatayudha( seri 8)

Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari Jayadrata-Tirtanata.

Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.

Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.

“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan.

“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” terheran sang ibu ketika anaknya menanyakan hal yang tak terduga.

“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban ibunya.

“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak” Jawab sang ibu akhirnya.

“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam waktu singkat”

Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab runtut pertanyaanya.

“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”. Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu satunya.

“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda, ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan anak Janaka.

Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.

“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu, kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.

Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.

“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari ayahmu !”. Larang ibunya.

“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak ! Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya, kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya tangan anaknya.

“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu sayang terhadap ibumu ?”. dibimbingnya anak muda itu kembali duduk. Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak menyelami isi dalam hati buah hatinya.

“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali bertanya.
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.

“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali anaknya membantah.

Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.

“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi ayahmu ?”.

“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.

Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya, anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang terakhir.

Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.

Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya, membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah yang berjalan mendekatinya.

Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama. Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.

“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.

Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya membuat ia makin mengerti sebab musababnya.

“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana sajakah selama ini ? tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang sangat rindu akan kedatanganmu ?”

Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.

“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu !”.

“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin, kali ini ia akan menjadi pahlawan.

Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.

Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya, Arjuna malah merayunya.

Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada Arjuna.

“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang tanpa tanding”.

Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya. Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya. Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan kembali senyumnya membayang.

“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga, sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.

Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya, sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya. Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.

“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang disandang uwa Jayadrata !”

Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya, didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher Wisamuka, tak bernyawa ia.

Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.

Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.

Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati. Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang dikenalnya dengan nama Arjuna.

Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung, tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.

Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat riwayat Dursilawati.

Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula kesedihan membeban di hatinya.

Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.
Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi. Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit putih wajahnya. senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.

Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna.

Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat asmara mengurung sukmanya.

“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika sang Dewi ?” sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.

Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah demikian, tak perlu diceritakan lagi.

Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.

Bersambung.

Kamis, 19 April 2018

Munculnya ribuan jayadrata tiruan

Munculnya ribuan jayadrata tiruan

Kelanjutan seri bharatayudha..

Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan memenangkan peperangan kali ini.

Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.

“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi pendamping senapati”.

Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya. Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada tara bagi mereka.

“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri tinggi.

“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan, karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna, akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap asmara.” Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu.

“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk menawan Arjuna”.

Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna “Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara seperguruanku Murdaningkung, ?

“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus.

Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah putih bernama Murdaningkung.

Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya
“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.

Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara.

“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali kelelahan jiwanya”.

Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah, mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.

Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini. Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.

“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan, tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya itu”.

**********

Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti. Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor ditempati oleh Wara Srikandi.

Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh menuju medan peperangan dihari itu.

Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar Cakrabyuha.

Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.

Heh Setyaki ! jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.

Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi tubi datangnya bagaikan banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya masing masing.

Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.
Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang. Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa. Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan menjadi bulan bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa sempat ia berteriak.

Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah, walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya, bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti ganti. Sama dengan lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal. Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan keseimbangan. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang didepan matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh, terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya.

Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran. Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.

Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha

Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.

Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi, tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian

“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa terusik, menghentikan lepasan anak panahnya.

“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik bertanya.

“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?. Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.

“Akulah Wiringsakti ! salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.

“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang Bisma !”

Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi, lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah berdebu.

Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.
Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya.

Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak bongkol dan juga anak Antareja , Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana, mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban.

Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya. Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa menjadi korban.

Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga mereka masing masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar, yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua pecundang mengakhiri perlawanan.

Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.
“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”

“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” minta penjelasan Patih Sengkuni.

“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”. perintah Durna Kumbayana.

“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,

Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.

Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan Sangkuni keberatan.

“Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur ?!”

“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja, anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.
“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata mengemukakan keberatannya.

“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !”

Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata kehadapan ayahnya, Sempani.
“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika datang ke pesanggrahan kami ini ?”

“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni memulai penjelasannya.

“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke pesanggrahan ini demi keselamatannya”.

Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.

“ Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima anakku !”

“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak dijalankan oleh Pandita Durna.

Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.

“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata, masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali menemuimu.”

Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena.

Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat, digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu, diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya.
Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !

Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.

Bersambung...