Tampilkan postingan dengan label Baratayudha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Baratayudha. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 April 2018

Kematian Resi Krepa

Kematian Resi Krepa

Seri bharatayudha

Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari senapati pengatur perang, Drestajumna.
Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria menghindar dari tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding itu.
Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.
Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.
Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur makin menyeretnya tenggelam.
Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak Kurawa.
Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat. Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.
Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan Randuwatangan.
Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
********
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali. Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.
Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.
Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya menjadi bagai lumpuh.
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil nama pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!”
Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.
“Daulat sinuwun memanggil hamba “
“Ini siang atau malam?”
Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana mengeluarkan isi pikirannya.
“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.”
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.
Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.
“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan kiri”.
Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia diberi wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup. Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan cara menang dalam perang Baratayuda”.
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!
“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !’
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan menyerang para Pandawa”.
Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan segala unek unek yang terpendam didadanya.
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali melingkup sidang, ia membuka mulutnya.
“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.
Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.
“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana. Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.
“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan sinuwun menanyakan”.
Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.
Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.
“Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.

“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang keringpun akan aku lakukan”.
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”.
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu Duryudana memotong.
“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya kurang tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar? Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?”
Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa memandangnya dengan sedikit memancing.
Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,
“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata, menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna. Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.
Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur berkobar.
“Mengapa diumpamakan begitu?”
Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.
“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya resi Krapa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krapa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara, tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar air kesabaran”.
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya. Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.
“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman. Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan merambat kepada semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana para pejabat berlaku.
Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil. Semua harus bisa menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa. Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi!
Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang dikenal berhati batu itu.
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat dahaga.”
Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.
“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak panah tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.
“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu Duryudana malah berkata dengan nada memelas.
“Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”.
Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.
Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.
Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.
Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka, tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika.
Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu. Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa korban.
Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita Durna Kumbayana. dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.
Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun. Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.
“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.
Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna memegangi anaknya. Aswatama.
“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan hamba menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali mendekat, bila tidak aku panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati remuk.
Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan sebagai seorang prajurit negara.
Catatan: Versi lain, menyebutkan Krepa tidak dibunuh Adipati Karna, namun hanya diusir Prabu Duryudana bersamaan dengan Aswatama.
Ada beberapa versi tentang akhir hidup Resi Krepa, Dalam Mahabharata diceritakan, Resi Krepa hidup sampai jaman Prabu Parikesit, dan diangkat menjadi Parampara/Ahli nujum kerajaan. Cerita Pedalangan menyebutkan, Krepa mati oleh tangan Adipati Karna. Kisah lain menyebutkan. Krepa mati oleh panah Arjuna setelah berakhirnya perang Bharatayuda, tatkala ia bersama Aswatama menyelundup masuk ke dalam istana Astina untuk membunuh Parikesit.

Kamis, 12 April 2018

Dahyang Durna Madeg Senopati

Dahyang Durna Madeg Senopati

Dahyang Durna madeg senopati

Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada, sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat adil terhadapnya.

Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.

“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang rubuh bila terserang musuh”.

Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar, kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala, disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat disebu satu persatu.

Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya. Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni, manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi penunjang berdirinya kekuatan Astina?”

Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja dan parampara yang ada di balairung.

Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar dari air mukanya yang menjadi cerah.

Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma, seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.

Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan semangat anakmu ini”.

“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”. Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi senapati pengganti.

“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”

Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kejayaan keluarga Kurawa”.

“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin lebar.

“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma, kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi. Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna meneruskan.

“Sekarang bagaimana caranya?” kembali ia berhenti. Matanya kembali menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya “Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana , Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.

Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”

Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari !” sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.

Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ? Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti, pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu. Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam. Pasti keduanya akan segera tewas”.

******
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok hari.

Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad. Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga menyebabkan tewasnya Resi Bisma.

Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya apa.
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi sampaikan dalam sidang ini ?”

“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah, alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam. Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung. Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.

“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.

Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai mengatur kekuatan langkah.

Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya pertahankan”

“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”. Prabu Kresna mengingatkan.

Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau serangan musuh.

*****
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu, selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin. Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.
Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari Pihak Kurawa semakin banyak berguguran.

Sementara tak kalah pada sayap seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.

Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana, kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuata terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.

Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara! Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar sakti. Kejar aku..!!”

Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah lawannya menuju ketempat yang ditujunya.

Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari arena di Kurusetra.

Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa. Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan. Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.

Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit “Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh. Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.

Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu Kresna.

“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap Drestajumna memelas.

“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.

“Lho . . ! nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.

Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna, satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah “Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah diberikan”.

Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan kekuatan, kakangmas”.

“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.

Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?” Sambar Drestajumna.

“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan

Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya. Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.

“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini. Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.

“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.

Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”. Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.

“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya masih dengan garis keturunan, eyang.

“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga mereka segera dikawinkan.

Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati. Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.

“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.

Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis mereka.

Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru. “Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.

Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah.
Semakin erat kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami. Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.

Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua istrinya.

Ranjaban Abimanyu

Ranjaban Abimanyu

Ranjaban Abimanyu..

Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.

“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu kali ini, ngger !” sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu lebih berpengaruh dalam benaknya.

Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,

“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua kami”

“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah, sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa

“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.

“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”. Demikian putusan Sang Senapati.

Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.

Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid. Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara, Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas. Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu. Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.

Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan. Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak lama jatuh bergelimpang ke tanah.

Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah satu lagi putra Arjuna.

Bambang Sumitra

Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.

Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu. Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.

Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke empat lawannya yang malah bagai dipedayai.

Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.

Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu, sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.

Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.

Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang barusan sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka !”. kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai dirinya lagi.

Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua. Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.

Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam hatinya ia mengatakan,

“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya. Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”

“Eee. . . kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya. Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.

“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”. Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.

Karno

“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab Narpati Basukarna sekenanya.

“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.

“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” berat hati Karna menyahut.

“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah. Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.

“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”. Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.

Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:

“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.

“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari, layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.

Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu dengan darah menyembur dari lukanya.

Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk diberi laporan.

“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.

Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil. Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.

Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju menyongsong serangan.

“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”. 
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih lantang dan berdirinya masih tetap tegar.

Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap ditubuh satria muda itu.

Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti halnya untaian melati menghiasi pinggang.

Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya dengan senjata apapun.

Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan hati, inilah bayaran atas janjinya.

Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan. Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.

Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.

Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.

“E . . e . . e . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong lehermu”.

Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.

Lesmana Mandrakumara

Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh, maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara, berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.

Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.

Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur, jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.
Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu, seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi kusuma negara yang gugur, di lepas siang .

Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Rabu, 11 April 2018

Gugurnya Raden Utara dan Raden Wratsangka

Gugurnya Raden Utara dan Raden Wratsangka

 Mengawali seri bharatayudha...

Gugur nya R. Utara dan R. Wratsangka di hari pertama bharatayudha... 
Dan R. Rukmarata putra mandraka di pihak kurawa

Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung gemunung ketika hendak menerangi jagat.

Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa. Demikian juga barisan dengan seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.

Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni elok bagaikan kelompok kembang setaman.
Suara gemerincing kendali dan kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling, kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.

Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi, memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.

Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya. Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.
Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada, seorang wanita berwatak prajurit.

Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.

Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta bahwa Baratayuda segera terjadi.

Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan ikut serta dalam perang suci ini.
Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa, Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani, kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara muda yang lain.
Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra. Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai istana.

Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu, pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.

******

Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu, pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan, sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.

Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu Salya mesanggrah di Karangpandan.

******

Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya Sanjaya ke Randuwatangan.

“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu, menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.

Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.

“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji. Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu masih kecil”

Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam lingkungan kerajaan Astina.

******
Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan senapati.

Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang. Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.
“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal dengan menunjuk seorang senapati.

“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.

Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.

Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini tersimpan dalam relungnya.

Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.

Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah, membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh perempuan.

Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke alam tepet suci.

Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda, karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat Wirata ada di pihak Pandawa.

Catatan: Terdapat versi lain, yang terbunuh oleh Raden Dewabrata ketika itu adalah Dewi Ambika. Namun versi pada cerita ini adalah ; Ketika itu Dewi Amba, Ambika dan Rambalika menjadi boyongan ke Astina ketika sayembara perang yang diselenggarakan Raja Kasi telah dimenangkan oleh Dewabrata.

Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.

Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.

Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang, gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.

Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa. Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.

“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku. Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu sekalian”.

“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.

“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.

Catatan:
Pada versi lain, majunya Resi Seta ke palagan terjadi ketika Utara dan Wratsangka telah tewas dan terpancing kemarahan Resi Seta saat jugar dari tapa tidur.

Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta? Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.

Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.

Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang, namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah sebaya dengan anak anak Pandawa.

Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang. Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan perang dengan memakai aturan “.

Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka disisi kiri dan kanan.

Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.

“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan, paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.

Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi saja?”.

“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.

“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” banyak banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.

“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku adalah orang yang aku agungkan?” tanya Arjuna.

“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru, bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan, jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna menjelaskan.

Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.

Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani mendekati arena pertarungan antar keduanya.

Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru. Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding. Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak Wratsangka.
Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur perang.

“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” teriakan para prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.

Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.
Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.

Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.
Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam, dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada Durna.

Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.
Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar, mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya. Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya segera diterjang.

“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi korbanku hari ini!!!”

Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.

Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa dalam peperangan pada ujung hari.

Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.
Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung ketika Bisma mandheg senapati.

Gugurnya Resi Seta dalam Baratayudha

Gugurnya Resi Seta dalam Baratayudha


Gugurnya Resi Seta

Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari kembang.

Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali. Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa, kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya, dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari raga.

Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu juga.
“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.

Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap, bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.

*********
Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta dari tidur.

Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.

Belum matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya , dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti tombak kembar penggedor pertahanan lawan.

Dari pihak Randuwatangan, Werkudaa dan Arjuna menjadi pengganti posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.

Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.

Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang remuk, sementara Kartamarma selamat.
Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping.

Bukan main marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.

Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya. Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan dari dendam membara Seta.

*********

Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.

********

Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah, kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu, setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.

“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah menyahut.

Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan yang kelewat luas dan dalam.

Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.

***********

Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan, “Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”

Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik dengan dandanan serba putih.

“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu tanya.
Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”

“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”

“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.

“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. sambung Sang Batari.

********

Beginilah cerita singkatnya ngger anakku :
“Pada suatu hari ayah Prabu Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.

Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh alam semesta.

Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa, Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkerama berburu.

Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina bersama sama.
Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu harus dihanyutkan di bengawan Gangga.

Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang maha berat baginya.
Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga disanggupinya permitaan yang satu itu.

Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke sembilan. 
Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap diriku.
Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina kembali ke alam kawidodaren”.

Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.

Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda Matswapati.

Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek moyang Pandawa, dan Sentanu.
Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.

“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini, anakku..?” sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.

Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam lautan.

“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”

“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.
Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama lama melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.

********

Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.

“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?” Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.

“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih menyimpan percaya diri yang besar.

Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi seiring muncratnya darah dari dada sang satria.

Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan mata.

Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih. Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . sudah tuntas … Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . . . . . “

Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.

Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan “Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka adalah prajurit wanita”

Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari peperangan.
Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir mencari selamat.

Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar terhindarkan.

Catatan:
Versi lain menyebutkan Seta tewas oleh panah Bargawastra, panah pusaka warisan guru Resi Bisma, Rama Parasu atau Rama Bargawa. Tidak ada pertemuan dengan Dewi Gangga sebelumnya ketika Bisma mengalahkan Seta.

Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.

“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.

“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”

Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.

____________________Tancep Kayon______________

Kematian Bisma

Kematian Bisma

Bhisma Gugur

Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung istana Astina.

“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! “ Dada Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat kemenangan akan segera datang.

Lanjutnya “ Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”

“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang. Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” berkata lantang Prabu Duryudana, dengan mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut kemenangan.

Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan ditangan.

Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta menyahut

“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit. Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”

“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai masalah. Jadi tetaplah waspada!!”

Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh serangan.

Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan menyusup kedalam.

Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.

***

Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas, sebagian lain menjadi murung.

Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.

Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.

Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.

Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu waktu dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.

Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama. Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.

Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering diakhir musim kemarau panjang.
Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut. Gemuruh mengerikan.

Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng. Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.

Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati, membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi. Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang menakjubkan.

Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang Resi Bisma.

Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.

Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.

Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.

“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih mendekat.
Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.

“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma . . .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”

“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.

Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama Dewabrata ?!”

Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang Dewabrata?”

“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.
Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.

Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera dipegang lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “ Ayolah istriku, jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh amukan Eyang Bisma.”
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.

*******

Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi, Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti dengan cinta abadi di alam kelanggengan.

Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran tersenyum. Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.

Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi Durgandini.
Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama berbulan-bulan tanpa henti.

Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.

Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi bagai senyum kekasih hatinya, Dewi amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian, ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma saat ini.

Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh Dewi Amba.

Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.

Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang merah darah yang membuncah.

Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.

*****

“ Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini. Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi terhenti. . . .” tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.
“ Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.

Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat. “Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.
“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” perintah Prabu Duryudana gemetar.
Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih ditangannya.

Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan perang”.
Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala sang resi.

Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang prajurit . . . .!”

Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan kurang senang.

Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah patah perintah Sang Resi kepada cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya setetes”.

Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa, dibawanya secawan anggur merah segar.

“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur mewah kerajaan”. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak meneteskan minuman.

Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi Bisma kembali menolak pemberiannya.

Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia memerintahka kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”

Prabu Kresna yang sedari tadi juga berada di tempat kejadian, segera membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.

Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya. Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.

Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah berakhir dengan senyum.

Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini, kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah saat bahagia itu menjelang.