Tampilkan postingan dengan label Lakon Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lakon Wayang. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 April 2018

Basudewa Krama

Basudewa Krama

Basudewa Krama

Kisah ini menceritakan Raden Basudewa mengembara untuk menikah dengan Endang Rohini (kelak melahirkan Prabu Baladewa) serta Dewi Dewaki (kelak melahirkan Prabu Sri Kresna). Setelah itu, Raden Basudewa menjadi raja Mandura dan menikahi Ken Badra yang diganti namanya menjadi Dewi Badraini (kelak melahirkan Dewiwara Sumbadra). Juga disisipkan kisah hubungan gelap antara Raden Basudewa dengan Ken Yasoda alias Nyai Sagopi (kelak melahirkan Patih Udawa).

Kisah ini diolah dan kembangkan dari artikel Majalah Panjebar Semangat. Mengenai sayembara memperebutkan Dewi Dewaki, di selaraskan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, yaitu tokoh Basudeva diwakili oleh Sini (kakek Satyaki versi kitab) dalam mengikuti sayembara. Untuk cerita berikut ini, tokoh Sini penulis ganti dengan Raden Ugrasena (ayah Raden Setyaki).

Heri Purwanto di kediri

------------------------------ ooo ------------------------------

RADEN BASUDEWA MENGHILANG DARI ISTANA

Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura dihadap putra ketiga dan keempat, yaitu Raden Rukma dan Raden Ugrasena beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Yudawangsa dan Arya Saragupita. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan sang putra mahkota, yaitu Raden Basudewa yang sudah tiga bulan ini menghilang dari istana. Padahal, Prabu Kuntiboja merasa dirinya sudah tua dan ingin turun takhta, serta menyerahkan tampuk pemerintahan kepada putra sulungnya tersebut.

Patih Yudawangsa melapor bahwa dirinya sudah mengerahkan banyak orang untuk mencari Raden Basudewa ke mana-mana tetapi belum juga mendapatkan hasil. Mendengar itu, Prabu Kuntiboja akhirnya memerintahkan Raden Ugrasena pergi ke Gunung Saptaarga untuk meminta petunjuk kepada sang besan, yaitu Bagawan Abyasa. Ia yakin, Bagawan Abyasa yang berilmu tinggi pasti dapat memberikan petunjuk tentang keberadaan Raden Basudewa. Nanti setelah mendapatkan petunjuk, Raden Ugrasena diperintahkan untuk menjemput pulang kakak sulungnya tersebut.

Raden Ugrasena pun siap melaksanakan perintah. Ia lalu mohon pamit berangkat meninggalkan istana. Prabu Kuntiboja merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi. Ia pun membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton, di mana Dewi Bandondari (istri) dan Dewi Maherah (menantu) sudah menunggu di gapura.

PRABU GORAWANGSA INGIN MEREBUT DEWI MAHERAH

Sementara itu di Kerajaan Guagra, tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Gorawangsa. Pada suatu malam ia bermimpi bertemu seorang wanita cantik yang mengaku bernama Dewi Maherah. Seketika Prabu Gorawangsa pun jatuh cinta kepada wanita itu dan ingin menikahinya. Begitu terbangun dari tidur, ia segera memanggil para panakawan untuk dimintai keterangan, yaitu Kyai Togog dan Bilung.

Kyai Togog yang berwawasan luas menjelaskan bahwa Dewi Maherah adalah putri Resi Amiraga dari Padepokan Andongcempaka yang kini telah menjadi istri Raden Basudewa dari Kerajaan Mandura. Antara Raden Basudewa dan Dewi Maherah sudah menikah cukup lama, namun kabarnya sampai sekarang mereka belum juga dikaruniai anak.

Prabu Gorawangsa sudah terlanjur jatuh cinta kepada Dewi Maherah dan ia tidak peduli meskipun wanita dalam mimpinya itu sudah bersuami. Kyai Togog dan Bilung menasihati Prabu Gorawangsa agar mengurungkan niatnya untuk merebut istri orang. Namun, Prabu Gorawangsa tetap keras kepala dan menolak nasihat tersebut. Ia pun mengirim Patih Suratimantra yang merupakan adiknya sendiri untuk pergi ke Mandura, memboyong Dewi Maherah.

Patih Suratimantra menerima perintah dari sang kakak, kemudian berangkat dengan membawa pasukan raksasa menuju Kerajaan Mandura.

PERTEMPURAN ANTARA PASUKAN MANDURA MELAWAN GUAGRA

Patih Suratimantra bersama pasukannya telah sampai di wilayah Kerajaan Mandura. Mereka pun membuat kekacauan untuk memancing pihak istana agar segera keluar. Tidak lama kemudian datanglah Raden Rukma dan Patih Yudawangsa menemui mereka.

Patih Suratimantra berterus terang ingin merebut Dewi Maherah dari tangan Raden Basudewa untuk diserahkan kepada kakaknya, yaitu Prabu Gorawangsa. Mendengar itu, Raden Rukma marah dan menantang Patih Suratimantra bertempur secara jantan.

Maka, terjadilah pertempuran antara kedua pihak. Raden Rukma dan Patih Yudawangsa merasa terdesak menghadapi Patih Suratimantra dan pasukannya yang ternyata sangat kuat tersebut. Bahkan, Patih Yudawangsa pun tewas dalam pertempuran itu. Merasa tidak mungkin menang, Raden Rukma lalu memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kemudian menutup rapat-rapat pintu gerbang benteng Kerajaan Mandura.

Prabu Kuntiboja telah mendapat laporan dari Raden Rukma bahwa Kerajaan Mandura kini dikepung musuh dari Kerajaan Guagra, serta bagaimana Patih Yudawangsa gugur dalam pertempuran. Prabu Kuntiboja merasa pihak lawan sangat kuat, dan ia pun memerintahkan punggawa Arya Saragupita untuk berangkat ke Kerajaan Hastina, meminta bantuan kepada sekutu sekaligus menantunya, yaitu Prabu Pandu Dewanata.

Begitu menerima perintah tersebut, Arya Saragupita segera mohon pamit berangkat dengan berhati-hati agar jangan sampai tertangkap oleh pihak Guagra.

RADEN UGRASENA MEMINTA PETUNJUK BAGAWAN ABYASA

Sementara itu, Raden Ugrasena telah sampai di Gunung Saptaarga dan menghadap Bagawan Abyasa. Kepada besan ayahnya itu, ia memohon petunjuk tentang keberadaan Raden Basudewa yang sudah tiga bulan menghilang dari istana Mandura.

Bagawan Abyasa mengheningkan cipta sejenak, lalu membuka mata dan menjelaskan bahwa saat ini Raden Basudewa sedang berada di Gunung Suweda, di mana ia menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Namun demikian, Bagawan Abyasa melarang Raden Ugrasena untuk pergi ke Gunung Suweda. Akan lebih baik apabila Raden Ugrasena pergi ke Kerajaan Widarba saja karena di sanalah nanti ia bisa bertemu dengan kakak sulungnya tersebut.

Raden Ugrasena berterima kasih atas petunjuk yang diberikan Bagawan Abyasa. Ia pun mohon pamit berangkat meninggalkan Gunung Saptaarga, menuju Kerajaan Widarba.

RADEN UGRASENA BERTEMU PRABU PANDU

Raden Ugrasena yang telah meninggalkan Gunung Saptaarga kini bertemu kakak iparnya, yaitu Prabu Pandu Dewanata di tengah jalan. Tampak olehnya, sang kakak ipar memimpin sejumlah pasukan Hastina bersama Arya Saragupita pula. Raden Ugrasena pun bertanya ada kejadian apa di Kerajaan Mandura. Arya Saragupita menjelaskan bahwa saat ini istana sedang dikepung para raksasa dari Kerajaan Guagra yang ingin merebut Dewi Maherah, istri Raden Basudewa.

Mendengar berita itu, Raden Ugrasena merasa bimbang dan ingin pulang ke Mandura untuk membantu mengusir para raksasa tersebut. Namun, Prabu Pandu melarang dan memintanya untuk tetap melanjutkan tugas dari sang ayah, yaitu menemukan keberadaan Raden Basudewa. Soal menghadapi para raksasa, biarlah ini menjadi tugas Prabu Pandu saja.

Raden Ugrasena percaya pada kemampuan kakak iparnya tersebut. Ia pun mohon pamit melanjutkan perjalanan. Prabu Pandu lalu memerintahkan para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong supaya ikut menemani perjalanan Raden Ugrasena.

PRABU PANDU MENGUSIR PATIH SURATIMANTRA

Prabu Pandu dan pasukan Hastina telah sampai di wilayah Kerajaan Mandura. Mereka segera menggempur perkemahan para raksasa Kerajaan Guagra. Terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Dalam pertempuran kali ini, Patih Suratimantra merasa terdesak menghadapi kesaktian Prabu Pandu dan kekuatan pasukan Hastina. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Guagra.

Prabu Kuntiboja dan Raden Rukma keluar dari dalam benteng untuk menyambut kemenangan Prabu Pandu. Mereka berterima kasih atas bantuan raja Hastina tersebut dalam mengusir musuh. Namun demikian, Prabu Pandu meminta pihak Mandura untuk tetap waspada, karena ia yakin tidak lama lagi Prabu Gorawangsa akan datang untuk membalas kekalahan pasukannya.

RADEN BASUDEWA MEMBOYONG ENDANG ROHINI

Sementara itu, Raden Basudewa yang sedang dicari-cari saat ini berada di Gunung Suweda, di mana ia telah menikah dengan Endang Rohini, putri Resi Kawita. Kepada istri barunya tersebut ia sudah menjelaskan bahwa dirinya memiliki seorang istri di istana Mandura yang bernama Dewi Maherah, putri Resi Amiraga dari Padepokan Andongcempaka. Namun, sudah sekian lama mereka menikah belum juga dikaruniai anak. Itulah sebabnya mengapa Raden Basudewa pergi berkelana adalah untuk mencari wanita yang bisa melahirkan keturunan untuknya. Hingga akhirnya ia pun bertemu Endang Rohini dan menjadikannya sebagai istri kedua.

Kini sudah tiba saatnya Raden Basudewa meminta izin kepada sang mertua untuk memboyong Endang Rohini pindah ke Kerajaan Mandura. Resi Kawita pun mempersilakan karena putrinya sudah resmi menjadi istri Raden Basudewa. Ia pun menasihati Endang Rohini untuk selalu melayani Raden Basudewa dengan sepenuh hati, serta menganggap Dewi Maherah sebagai saudara yang lebih tua.

Setelah mendapatkan restu dari sang ayah, Raden Basudewa dan Endang Rohini pun berangkat meninggalkan Gunung Suweda, menuju Kerajaan Mandura.

RADEN BASUDEWA MENOLONG BATARA BASUKI

Begitu sampai di kaki Gunung Suweda, Raden Basudewa melihat seekor ular naga berwarna putih tertindih sebongkah batu besar, di mana tampak pula seekor burung garuda siap menerkamnya. Raden Basudewa tidak tega melihatnya dan ia pun maju menyerang burung garuda tersebut yang mengaku bernama Garuda Wilmana. Terjadilah perkelahian di antara mereka yang dimenangkan oleh Raden Basudewa. Garuda Wilmana merasa terdesak dan segera terbang melarikan diri.

Ular naga berwarna putih itu pun berterima kasih atas bantuan Raden Basudewa. Kini ia meminta pertolongan sekali lagi supaya dibebaskan dari himpitan batu. Raden Basudewa bersedia membantu asalkan si naga putih berjanji tidak memangsa dirinya. Naga putih itu menyatakan bersedia, bahkan ia bersumpah selama hidupnya belum pernah memangsa manusia sama sekali.

Raden Basudewa lalu mengerahkan segenap kekuatannya untuk mendorong batu besar yang menghimpit tubuh si naga putih. Perlahan-lahan batu tersebut bergerak. Merasa agak longgar, naga putih itu pun merayap keluar dan berhasil membebaskan diri.

Sungguh ajaib, begitu terbebas dari himpitan batu, ular naga putih itu langsung berubah wujud menjadi seorang dewa, yaitu Batara Basuki.

BATARA BASUKI MEMBERIKAN PETUNJUK KEPADA RADEN BASUDEWA

Raden Basudewa dan Endang Rohini menyembah hormat kepada Batara Basuki. Sebaliknya, Batara Basuki pun berterima kasih atas bantuan putra mahkota Kerajaan Mandura tersebut. Ia bercerita bahwa dirinya kurang berhati-hati saat berkelahi dengan Garuda Wilmana tadi, sehingga tubuhnya tertimpa sebongkah batu besar dan tidak dapat bergerak, juga tidak dapat kembali ke wujud dewa.

Batara Basuki lalu bertanya apakah Raden Basudewa hendak pulang ke Kerajaan Mandura bersama Endang Rohini? Raden Basudewa pun mengiakan. Ia memang berniat memperkenalkan istri barunya tersebut kepada segenap keluarga, dan berharap Endang Rohini kelak dapat mengandung keturunannya. Terus terang Raden Basudewa merasa kecewa karena sudah bertahun-tahun menikah dengan Dewi Maherah tetapi belum juga memiliki anak. Padahal, adiknya yaitu Dewi Kunti sudah melahirkan dua orang putra dari perkawinannya dengan Prabu Pandu di Kerajaan Hastina. Itulah sebabnya, Raden Basudewa pun pergi berkelana dan memilih Endang Rohini dari Gunung Suweda sebagai istri barunya.

Batara Basuki mendengar dengan seksama lalu mengucapkan ramalan bahwa Raden Basudewa kelak memiliki empat orang anak. Anak yang pertama saat ini sudah berada dalam kandungan Ken Yasoda di Desa Widarakandang. Raden Basudewa tertunduk malu karena ternyata Batara Basuki mengetahui bahwa dirinya pernah berselingkuh dengan seorang penyanyi istana Mandura yang bernama Ken Yasoda. Adapun Ken Yasoda ini adalah adik dari punggawa Arya Saragupita.

Dengan perasaan malu Raden Basudewa pun menjelaskan peristiwa tersebut kepada Endang Rohini. Awalnya telah terjadi pertengkaran antara dirinya dengan Dewi Maherah. Raden Basudewa menuduh Dewi Maherah mandul dan tidak dapat memberinya keturunan. Sebaliknya, Dewi Maherah meminta sang suami untuk berani mengakui bahwa dirinya juga mandul dan tidak dapat membuat istri mengandung. Raden Basudewa tersinggung mendengar ucapan istrinya itu dan ia pun pindah ke kamar lain. Untuk menghibur diri, Raden Basudewa memanggil penyanyi istana bernama Ken Yasoda untuk datang ke kamarnya.

Raden Basudewa yang merasa terhibur mendengar suara Ken Yasoda akhirnya lupa diri. Ia pun berzinah dengan penyanyi cantik tersebut. Beberapa waktu kemudian, Ken Yasoda melapor kepada Raden Basudewa bahwa dirinya telah hamil akibat peristiwa tersebut. Raden Basudewa takut peristiwa aib ini bisa mencoreng wibawa Kerajaan Mandura. Ia pun menikahkan Ken Yasoda dengan tukang kuda istana yang bernama Kyai Antyagopa, lalu menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang. Kyai Antyagopa lalu diangkat sebagai kepala desa tersebut, bergelar Ki Buyut Antyagopa. Raden Basudewa juga mengganti nama Ken Yasoda menjadi Nyai Sagopi.

Raden Basudewa mengakhiri ceritanya dan ia pun bertanya kepada Batara Basuki apakah tiga putranya yang lain akan lahir dari Endang Rohini? Batara Basuki menjelaskan bahwa Endang Rohini hanya akan melahirkan seorang putra saja. Adapun anak-anak yang lain masing-masing akan lahir dari ibu yang berbeda. Yang satu akan lahir dari putri Kerajaan Widarba yang bernama Dewi Dewaki, sedangkan yang satu lagi akan lahir dari penyanyi istana Mandura yang bernama Ken Badra.

Raden Basudewa terkejut mendengarnya. Itu berarti selain Endang Rohini, dirinya harus menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken Badra. Jika dengan Dewi Dewaki rasanya masih masuk akal, lalu bagaimana dengan Ken Badra? Apakah menikahi seorang penyanyi istana tidak akan merendahkan wibawa Raden Basudewa? Lalu bagaimana dengan Ken Yasoda yang juga seorang penyanyi dan kini telah mengandung putranya? Bukankah Ken Yasoda dan Ken Badra sama-sama penyanyi istana, mengapa yang satu harus disembunyikan dan yang satu harus dinikahi secara sah?

Batara Basuki pun menjelaskan bahwa Ken Yasoda sebaiknya tetap disembunyikan di Desa Widarakandang dengan nama Nyai Sagopi. Adapun Ken Badra meskipun hanya seorang penyanyi istana, namun ia ditakdirkan kelak akan melahirkan seorang perempuan tercantik di dunia. Bahkan, putri yang cantik tersebut kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa pula.

Raden Basudewa menerima penjelasan Batara Basuki dengan seksama. Ia pun meminta izin kepada Endang Rohini untuk menikah lagi dengan Dewi Dewaki dan Ken Badra. Endang Rohini menjawab bahwa sejak awal dirinya sudah menerima takdir, bahwa suaminya memiliki istri lebih dari satu. Lagipula sebelum dirinya, Raden Basudewa juga sudah menikah dengan Dewi Maherah.

Batara Basuki lalu menjelaskan bahwa saat ini Dewi Dewaki sedang dilamar banyak raja dan pangeran. Untuk itulah, kakak Dewi Dewaki yang bernama Raden Candradwipa mengadakan sayembara tanding, yaitu barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka ia berhak memperistri adiknya tersebut.

Setelah memberikan penjelasan demikian, Batara Basuki pun undur diri kembali ke kahyangan.

RADEN UGRASENA MEWAKILI RADEN BASUDEWA DALAM SAYEMBARA

Setelah mendapatkan petunjuk dewata, Raden Basudewa dan Endang Rohini membelokkan perjalanan yaitu tidak lagi menuju Kerajaan Mandura, melainkan menuju Kerajaan Widarba. Sesampainya di sana, mereka melihat Raden Candradwipa bertarung di atas gelanggang menghadapi para raja dan pangeran yang ingin melamar Dewi Dewaki.

Satu persatu para pelamar tersebut menyerah kalah menghadapi kesaktian Raden Candradwipa. Hingga akhirnya yang tersisa hanya tinggal Raden Ugrasena bersama para panakawan. Raden Basudewa terkejut melihat adik bungsunya ada di bangku penonton dan segera menghampirinya. Raden Ugrasena senang bertemu Raden Basudewa. Ia menjawab bahwa dirinya datang ke Kerajaan Widarba adalah untuk menemukan kakak sulungnya tersebut, sesuai petunjuk dari Bagawan Abyasa.

Raden Basudewa pun menjelaskan kepada Raden Ugrasena bahwa dirinya telah mendapatkan petunjuk dari Batara Basuki bahwa Dewi Dewaki akan menjadi jodohnya. Maka itu, ia pun datang ke Widarba untuk mengikuti sayembara tanding.

Sementara itu, Raden Candradwipa merasa kesal melihat Raden Basudewa dan Raden Ugrasena bukannya naik ke gelanggang tetapi justru mengobrol sendiri. Ia pun menantang kedua pangeran dari Mandura itu untuk maju bersama-sama. Raden Ugrasena tersinggung melihat kesombongan Raden Candradwipa. Ia pun naik ke atas gelanggang untuk menantang pangeran dari Widarba tersebut. Ia berkata bahwa kakak sulungnya tidak perlu repot-repot turun tangan, cukup dirinya saja yang maju menghadapi kesombongan Raden Candradwipa.

Raden Candradwipa pun bertarung melawan Raden Ugrasena. Pertarungan kali ini berlangsung sangat seru. Raden Candradwipa lama-lama merasa kewalahan menghadapi lawannya itu. Akhirnya, ia pun mengaku kalah dan mengumumkan bahwa Raden Ugrasena adalah pemenang sayembara.

RADEN BASUDEWA MEMBOYONG DEWI DEWAKI

Prabu Candrapadma raja Widarba yang sejak tadi menonton sayembara yang digelar putranya, kini naik ke atas gelanggang. Ia mengumumkan bahwa Raden Ugrasena adalah pemenang sayembara yang berhak menjadi suami putrinya, yaitu Dewi Dewaki. Namun, Raden Ugrasena menjelaskan bahwa sejak awal dirinya mengikuti sayembara hanyalah untuk mewakili sang kakak, yaitu Raden Basudewa. Maka, sebaiknya Dewi Dewaki diserahkan kepada Raden Basudewa saja.

Prabu Candrapadma lalu bertanya kepada Raden Candradwipa apakah ia rela jika Raden Basudewa yang memperistri Dewi Dewaki? Raden Candradwipa mempersilakan. Ia berpendapat bahwa Raden Ugrasena yang bungsu saja sudah sedemikian hebat, tentunya Raden Basudewa yang sulung jauh lebih hebat lagi.

Demikianlah, Prabu Candrapadma pun mengumumkan pernikahan antara Raden Basudewa dengan Dewi Dewaki di hadapan para hadirin. Namun demikian, Raden Basudewa mengaku tidak dapat tinggal lama di Widarba karena harus segera pulang ke Mandura. Maka, begitu pesta pernikahan selesai, Raden Basudewa segera meminta izin kepada sang mertua dan kakak ipar untuk memboyong istri barunya tersebut.

PRABU PANDU MEMUKUL MUNDUR PRABU GORAWANGSA

Sementara itu, Prabu Gorawangsa sangat marah saat menerima laporan kekalahan Patih Suratimantra. Ia pun berangkat memimpin langsung serangan terhadap Kerajaan Mandura, demi untuk merebut Dewi Maherah. Prabu Pandu yang telah bersiaga segera menghadang serangan tersebut. Maka, terjadilah pertempuran di antara kedua pihak yang berlangsung sengit.

Prabu Gorawangsa akhirnya terdesak menghadapi kesaktian Prabu Pandu. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur. Namun demikian, ia merasa belum puas jika belum bisa mewujudkan cita-citanya. Ia pun bersumpah kelak akan datang lagi ke Kerajaan Mandura untuk merebut Dewi Maherah, meskipun dengan cara yang paling licik.

DEWI MAHERAH BERNIAT BUNUH DIRI

Setelah keadaan tenang kembali, Raden Basudewa dan kedua istri barunya datang bersama Raden Ugrasena dan para panakawan. Prabu Kuntiboja beserta segenap keluarga menyambut kepulangan sang putra mahkota yang sudah tiga bulan menghilang tersebut. Raden Basudewa pun memperkenalkan Endang Rohini dan Dewi Dewaki kepada segenap keluarga. Tidak hanya itu, Raden Basudewa juga meminta izin kepada sang ayah untuk bisa menikahi penyanyi istana yang bernama Ken Badra. Itu semua ia lakukan demi untuk memenuhi petunjuk dewata.

Dewi Maherah terkejut mengetahui sang suami telah menikah lagi, bahkan berniat menggenapi jumlah istri menjadi empat. Ia pun berkata lebih baik dirinya diambil Prabu Gorawangsa daripada dimadu tiga sekaligus. Raden Basudewa tersinggung dan mempersilakan Dewi Maherah pergi ke Guagra jika ingin menjadi istri raja raksasa tersebut.

Dewi Maherah merasa ucapannya salah. Karena malu, ia pun mengambil keris dan berniat bunuh diri. Endang Rohini dan Dewi Dewaki segera memeluk lutut Dewi Maherah dan memohon kepadanya agar menghentikan niat tersebut. Mereka mengaku tidak punya niat untuk merebut Raden Basudewa. Bagaimanapun juga mereka berjanji akan tetap menganggap Dewi Maherah sebagai kakak tertua. Mendengar itu, Dewi Maherah akhirnya luluh. Ia pun meminta maaf kepada sang suami telah berbicara kurang pantas. Ia merasa dirinya memang tidak dapat memberikan keturunan, sehingga pantas apabila Raden Basudewa menikah lagi dengan wanita lain.

RADEN BASUDEWA MENJADI RAJA MANDURA

Demikianlah, beberapa hari kemudian Prabu Kuntiboja mengumumkan pengunduran dirinya sebagai raja Mandura dan sejak saat itu ia pun hidup sebagai petapa di Gunung Gandamadana bersama Dewi Bandondari. Ia berpesan kepada putra-putranya, kelak jika dirinya meninggal agar dimakamkan di gunung tersebut.

Bersamaan dengan itu, Raden Basudewa sang putra mahkota pun diangkat sebagai raja Mandura yang baru, bergelar Prabu Basudewa. Prabu Pandu dan Dewi Kunti dari Kerajaan Hastina ikut hadir untuk menyaksikan pelantikan sang kakak.

Prabu Basudewa kemudian memberikan jabatan penting kepada kedua adiknya. Raden Rukma diangkat sebagai wakil raja yang berkedudukan di Kumbina, bergelar Aryaprabu Rukma. Sementara itu, Raden Ugrasena si bungsu diangkat sebagai senapati tertinggi yang berkedudukan di Lesanpura, bergelar Arya Ugrasena. Adapun jabatan menteri utama diisi oleh Arya Saragupita untuk menggantikan Patih Yudawangsa yang telah gugur dalam pertempuran.

Beberapa hari kemudian, Prabu Basudewa pun menikahi Ken Badra sebagai istri keempat. Sejak hari itu, Ken Badra diganti namanya menjadi Dewi Badraini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Lahire Angkaramurka(Sengkuni)

Lahire Angkaramurka(Sengkuni)

Gendari - Suman Lahir

Kisah ini menceritakan lahirnya Dewi Gendari yang kelak menjadi istri Adipati Dretarastra dan melahirkan Seratus Kurawa, serta kelahiran Raden Suman yang kelak bergelar Patih Sangkuni, yaitu tokoh licik yang mengadu domba para Kurawa dan Pandawa sehingga meletus Perang Bratayuda.

Kisah ini disusun heri purwanto berdasarkan informasi dari kawan-kawan pecinta wayang di media sosial, yang kemudian diolah dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa dan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryosaputro.

KELAHIRAN RADEN GENDARA DAN DEWI GENDARI

Pada suatu hari Prabu Kiswara di Kerajaan Gandaradesa dihadap Patih Mandasrawa, Arya Kistawa, dan Arya Prahasana, serta para punggawa lainnya. Arya Kistawa melaporkan bahwa istrinya, yaitu Dewi Kesru baru saja melahirkan bayi laki-laki dan perempuan, dan ia memohon kepada sang kakak supaya memberikan nama kepada mereka. Prabu Kiswara sangat bahagia mendengarnya dan memberi nama untuk kedua keponakannya itu, Raden Gendara dan Dewi Gendari. Makna dari nama tersebut adalah “putra dan putri yang dilahirkan di Kerajaan Gandaradesa”.

Ketika Prabu Kiswara hendak membubarkan pertemuan untuk menengok dua keponakannya yang baru lahir, tiba-tiba muncul sesosok makhluk halus yang mengaku bernama Gandarwa Sutibar, utusan Prabu Siswandakala dari Kerajaan Selamangleng. Kedatangan Gandarwa Sutibar adalah untuk menyampaikan surat lamaran dari rajanya yang ingin menikahi Dewi Kesru, istri Arya Kistawa.

Arya Kistawa sangat marah dan mengatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan istrinya kepada Gandarwa Sutibar. Ia pun menantang Gandarwa Sutibar supaya melangkahi mayatnya terlebih dahulu jika ingin merebut Dewi Kesru. Gandarwa Sutibar menerima tantangan tersebut dan kemudian undur diri menunggu Arya Kistawa di luar istana.

Prabu Kiswara berpesan agar Arya Kistawa berhati-hati menghadapi Gandarwa Sutibar yang berasal dari golongan makhluk halus tersebut. Patih Mandasrawa dan Arya Prahasana pun diperintahkan untuk menyiagakan pasukan Gandaradesa demi membantu Arya Kistawa.

Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Kiswara lalu masuk ke dalam istana di mana sang permaisuri Dewi Mandarawati telah menunggu. Sudah bertahun-tahun mereka menikah namun belum juga memiliki anak, sehingga kelahiran Raden Gendara dan Dewi Gendari ini membuat mereka ikut bahagia. Bahkan, Prabu Kiswara berniat mengambil Raden Gendara sebagai anak angkat.

GANDARWA SUTIBAR MENCULIK DEWI KESRU

Sementara itu, Gandarwa Sutibar telah kembali ke pasukannya yang menunggu di luar istana. Tidak lama kemudian Arya Kistawa dan Patih Mandasrawa datang dengan diiringi pasukan Gandaradesa. Pertempuran pun terjadi di antara mereka demi menjawab surat lamaran dari Prabu Siswandakala tadi.

Gandarwa Sutibar melihat prajuritnya banyak yang tewas di tangan Arya Kistawa dan pasukannya. Menyaksikan pihaknya terdesak, Gandarwa Sutibar pun menghilang lenyap dari pandangan. Ia lalu masuk ke dalam kaputren dan menculik Dewi Kesru yang sedang beristirahat.

Prabu Kiswara dan Dewi Mandarawati yang masing-masing sedang menggendong bayi Raden Gendara dan Dewi Gendari sangat terkejut melihat Dewi Kesru tiba-tiba lenyap dari pandangan. Arya Kistawa yang telah memukul mundur pasukan musuh pun ikut terkejut begitu mendengar laporan. Ia segera mencari ke seluruh pelosok istana tetapi tidak juga menemukan keberadaan istrinya.

Prabu Kiswara menasihati adiknya untuk tetap tenang. Ia menyarankan agar Arya Kistawa meminta petunjuk tentang hilangnya Dewi Kesru kepada Resi Abyasa yang kini telah menjadi raja Hastina, bergelar Prabu Kresna Dwipayana. Arya Kistawa menurut dan segera berangkat meninggalkan Kerajaan Gandaradesa.

ARYA KISTAWA MENDAPAT BANTUAN GANDARWARAJA SWALA

Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Tiba-tiba datang Arya Kistawa yang memohon untuk dibantu mengatasi permasalahannya. Berdasarkan silsilah Resi Manumanasa dan Resi Sakra, maka Prabu Kresna Dwipayana pun memanggil “kakak” kepada Arya Kistawa. Mendengar berita penculikan Dewi Kesru tersebut, Prabu Kresna Dwipayana merasa prihatin. Ia lalu mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk dari dewata bahwa Dewi Kesru hilang karena diculik Gandarwa Sutibar.

Karena yang menculik adalah bangsa gandarwa, maka Prabu Kresna Dwipayana segera bersiul mengundang sahabat ayahnya, yaitu Gandarwaraja Swala (ayah kandung panakawan Petruk). Raja makhluk halus itu seketika datang, siap melaksanakan tugas. Prabu Kresna Dwipayana pun meminta tolong kepada Gandarwaraja Swala untuk membantu Arya Kistawa menemukan istrinya yang diculik Gandarwa Sutibar.

Gandarwaraja Swala menjelaskan bahwa Gandarwa Sutibar adalah bekas anak buahnya yang berkhianat dan kini mengabdi kepada Prabu Siswandakala, raja raksasa dari Kerajaan Selamangleng. Gandarwaraja Swala pun bersedia membantu Arya Kistawa, sekaligus untuk memberikan hukuman kepada Gandarwa Sutibar. Keduanya lalu mohon pamit berangkat. Prabu Kresna Dwipayana memerintahkan panakawan Petruk dan Bagong untuk ikut bersama mereka. Ia sendiri mengajak Resiwara Bisma beserta Kyai Semar dan Nala Gareng pergi mengunjungi Prabu Kiswara di Kerajaan Gandaradesa.

GANDARWA SUTIBAR MEMERKOSA DEWI KESRU

Sementara itu, Gandarwa Sutibar sedang menyekap Dewi Kesru di dalam Hutan Tikbrasara. Pada mulanya, ia berniat menghadapkan Dewi Kesru kepada Prabu Siswandakala yang ingin sekali menikahinya. Akan tetapi, begitu menyaksikan kecantikan istri Arya Kistawa tersebut, Gandarwa Sutibar menjadi terpikat dan ingin memilikinya untuk diri sendiri, atau istilahnya “melik nggendong lali”.

Melihat keadaan Dewi Kesru yang masih lemah karena baru saja melahirkan dua bayi sekaligus, Gandarwa Sutibar tidak kekurangan akal. Ia pun mengerahkan ilmu sihirnya untuk menyembuhkan perempuan itu sehingga menjadi sehat seperti sediakala. Gandarwa Sutibar lalu meminta Dewi Kesru untuk menjadi istrinya. Dewi Kesru menolak dengan tegas. Karena kesehatannya sudah pulih, ia pun meronta dan berusaha melarikan diri dari sekapan Gandarwa Sutibar.

Gandarwa Sutibar marah dan hasratnya semakin memuncak. Ia pun mengejar Dewi Kesru dan berhasil menangkapnya, lalu memerkosa wanita itu demi melampiaskan nafsu birahinya.

GANDARWARAJA SWALA MEMBUNUH GANDARWA SUTIBAR

Gandarwaraja Swala dan Arya Kistawa telah sampai di Hutan Tikbrasara. Mereka sangat marah melihat ulah Gandarwa Sutibar. Tanpa banyak bicara, Gandarwaraja Swala langsung menghajar bekas anak buahnya itu dan terjadilah pertarungan di antara mereka.

Setelah bertarung cukup lama, Gandarwaraja Swala akhirnya berhasil membunuh Gandarwa Sutibar. Ia lalu bersama Arya Kistawa membawa Dewi Kesru pulang ke Kerajaan Gandaradesa.

DEWI KESRU MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI

Arya Kistawa, Dewi Kesru, dan Gandarwaraja Swala telah tiba di Kerajaan Gandaradesa. Di hadapan Prabu Kiswara dan anggota keluarga lainnya, Dewi Kesru berterus terang bahwa dirinya baru saja diperkosa oleh Gandarwa Sutibar. Ia merasa sangat sedih dan berniat bunuh diri. Namun, Arya Kistawa mencegahnya karena menganggap apa yang telah terjadi adalah suratan takdir di luar kehendak manusia.

Prabu Kiswara membenarkan ucapan adiknya. Namun demikian, ia tidak rela jika Dewi Kesru sampai mengandung anak Gandarwa Sutibar hasil pemerkosaan tersebut. Prabu Kiswara pun meminta tolong kepada Gandarwaraja Swala untuk memeriksa rahim adik iparnya itu dan mengeluarkan benih yang tertanam akibat ulah Gandarwa Sutibar, tanpa menyakiti Dewi Kesru. Gandarwaraja Swala segera maju untuk memenuhi permintaan tersebut.

Sementara itu, arwah penasaran Resi Dwapara sedang melayang-layang di atas Kerajaan Gandaradesa. Dahulu kala, Resi Dwapara tewas di tangan sepupunya sendiri, yaitu Resi Satrukem (kakek buyut Prabu Kresna Dwipayana) saat ia menyerang Gunung Saptaarga. Arwahnya pun penasaran dan bertekad ingin membalas dendam dengan cara menghancurkan keturunan Resi Satrukem. Atas petunjuk Batara Kala, arwah Resi Dwapara harus menitis ke dalam rahim Dewi Kesru jika ingin mewujudkan keinginan tersebut.

Maka, begitu sampai di Kerajaan Gandaradesa, arwah Resi Dwapara segera masuk ke dalam rahim Dewi Kesru. Di sisi lain, Gandarwaraja Swala yang sedang mengerahkan kesaktiannya tidak menyadari kehadiran arwah penasaran tersebut. Ia sendiri sibuk berusaha mengeluarkan benih yang ditanam Gandarwa Sutibar. Akan tetapi, benih dalam rahim Dewi Kesru itu kini dilindungi oleh arwah Resi Dwapara. Perpaduan kesaktian dari kedua makhluk halus tersebut membuat si janin bukannya gugur keluar, melainkan justru berkembang makin lama makin besar. Arwah Resi Dwapara kemudian bersatu jiwa raga dengan janin tersebut yang kini siap dilahirkan.

Sungguh ajaib, kandungan Dewi Kesru telah matang hanya dalam waktu sehari dan kini ia pun melahirkan seorang bayi laki-laki.

KEMATIAN PRABU KISWARA

Pemandangan ajaib itu membuat heran semua yang menyaksikannya. Prabu Kiswara tidak peduli dan ia berniat membunuh bayi laki-laki anak gandarwa tersebut. Namun, Arya Kistawa mencegah kakaknya karena tidak tega melihat wajah polos si bayi. Entah mengapa, Arya Kistawa merasa kasihan terhadap bayi itu dan ingin merawatnya sebagai anak sendiri.

Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma dari Kerajaan Hastina. Prabu Kiswara menyambut kedatangan mereka dan menceritakan keanehan yang dialami adik iparnya. Prabu Kresna Dwipayana mendapatkan firasat bahwa bayi laki-laki yang baru lahir ini akan menjadi sumber kekacauan di masa depan. Namun, itu semua sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa sebagai sarana untuk membersihkan bumi dari angkara murka. Itu sebabnya, bayi laki-laki ini tidak ditakdirkan untuk mati sekarang. Prabu Kresna Dwipayana pun tunduk pada suratan takdir dan ia hanya bisa berusaha menyabarkan kemarahan Prabu Kiswara.

Pada saat itulah datang Patih Mandasrawa yang melaporkan bahwa raja raksasa Prabu Siswandakala dari Kerajaan Selamangleng telah menyerbu Kerajaan Gandaradesa karena lamarannya ditolak. Prabu Kiswara yang masih dibakar amarah langung maju ke medan perang untuk menyambut datangnya musuh. Karena perasaannya sedang bingung, ia menjadi kurang waspada sehingga lengah dan menemui ajal di tangan Prabu Siswandakala dalam pertempuran tersebut.

Melihat sang tuan rumah terbunuh, Resiwara Bisma tidak bisa tinggal diam begitu saja. Ia pun terjun ke medan perang menghadapi musuh. Dalam pertempuran itu, ia berhasil menewaskan Prabu Siswandakala dan menghancurkan pasukan Selamangleng.

ARYA KISTAWA MENJADI RAJA GANDARADESA

Kerajaan Gandaradesa kini berduka karena kehilangan rajanya. Setelah masa berkabung usai, Prabu Kresna Dwipayana menyarankan agar Dewi Mandarawati menggantikan suaminya menjadi raja. Namun, Dewi Mandarawati merasa tidak sanggup dan menyerahkan takhta Gandaradesa kepada adik iparnya, yaitu Arya Kistawa. Ia sendiri merasa sudah cukup bahagia jika dapat melaksanakan keinginan mendiang Prabu Kiswara, yaitu mengambil Raden Gendara sebagai anak angkat.

Arya Kistawa merasa keberatan menjadi raja karena dirinya bukan asli orang Gandaradesa, tetapi pendatang dari Andongdadapan. Namun, karena Dewi Mandarawati tetap memaksa, akhirnya ia pun bersedia dilantik sebagai raja yang baru. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Gandarwaraja Swala yang telah membantunya menemukan kembali Dewi Kesru, maka Arya Kistawa pun memakai gelar yang mirip dengannya, yaitu Prabu Suwala.

Resiwara Bisma masih prihatin atas musibah yang telah terjadi. Ia pun berharap agar kelak Prabu Suwala dan Prabu Kresna Dwipayana dapat berbesan supaya hubungan persaudaraan antara kedua negara dapat menjadi lebih erat. Semoga kelak setelah dewasa, Dewi Gendari bisa menikah dengan salah satu putra Kerajaan Hastina, entah itu Raden Kuru, Raden Pandu, ataupun Raden Widura. Prabu Suwala merasa bersyukur jika hal itu bisa menjadi kenyataan.

Sementara itu, Prabu Kresna Dwipayana sedang merenung membayangkan bahwa bayi laki-laki yang dilahirkan Dewi Kesru kelak akan menjadi sumber kekacauan, sebagaimana firasat yang ia terima. Ia pun berharap Batara Wisnu juga terlahir sebagai manusia untuk menangkal pengaruh buruk bayi laki-laki ini. Untuk itu, Prabu Kresna Dwipayana mengusulkan agar sebaiknya bayi laki-laki tersebut diberi nama Raden Suman.

Resiwara Bisma berbisik apakah Suman itu singkatan dari “nafsu siluman”, yaitu sebagai pengingat bahwa si bayi laki-laki adalah hasil kejahatan Gandarwa Sutibar? Prabu Kresna Dwipayana menjawab bahwa Suman adalah nama lain Batara Wisnu. Dengan demikian, apabila nama Raden Suman dipanggil, maka itu sama saja dengan mengharap kehadiran Batara Wisnu, sang pemelihara ketertiban dunia agar segera lahir ke dunia.

Prabu Suwala menerima saran Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Ia pun memberi nama Raden Suman kepada bayi laki-laki yang dilahirkan istrinya. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina disertai para panakawan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Bima Bungkus

Bima Bungkus

Bima Bungkus

Kisah ini menceritakan Raden Bima putra kedua Prabu Pandu keluar dari dalam bungkus berkat bantuan Gajah Sena yang dikirim para dewa. Gajah Sena kemudian bersatu jiwa raga dengan Raden Bima, sehingga Pandawa nomor dua tersebut kemudian dikenal dengan nama Raden Bimasena.

Kisah ini saya di kembangkan heri purwanto dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang di padukan dengan pentas pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.

Raden Bima keluar dari dalam bungkus

RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA DITUGASI MENJEMPUT RADEN BIMA

Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Suman. Mereka sedang membicarakan putra kedua Prabu Pandu, yaitu Raden Bima yang sejak lahir ke dunia berada dalam bungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Tak terasa kini sudah memasuki tahun keempat belas sejak peristiwa kelahiran tersebut terjadi.

Hari demi hari Prabu Pandu menunggui kapan kiranya Pandawa nomor dua tersebut dapat keluar dari dalam selaput yang selama ini membungkusnya. Sebenarnya ia sudah beberapa kali mencoba untuk membuka bungkus tersebut. Namun, tiada satu pun senjata yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima.

Hingga akhirnya, tadi malam Prabu Pandu mendapat petunjuk dewa bahwa putra keduanya itu akan segera keluar dari dalam bungkus. Ia pun berniat pergi ke Hutan Mandalasana untuk menyaksikan detik-detik keluarnya Raden Bima dan menjemputnya pulang ke istana.

Arya Suman satria Plasajenar maju menyampaikan usulan, bahwa akan lebih baik jika Prabu Pandu tetap berada di istana untuk mempersiapkan upacara penyambutan Raden Bima. Urusan menjemput kepulangan Raden Bima cukup diserahkan kepada para punggawa saja. Dalam hal ini ia siap melaksanakan tugas penjemputan tersebut. Adipati Dretarastra membenarkan usulan Arya Suman dan ia pun ikut menyarankan agar Prabu Pandu menugasi salah seorang di sini untuk pergi ke Hutan Mandalasana.

Prabu Pandu menimbang-nimbang usulan Arya Suman dan Adipati Dretarastra tersebut. Ia akhirnya menyerahkan tugas penjemputan tersebut kepada adiknya, yaitu Raden Yamawidura dengan ditemani Patih Gandamana. Bagaimanapun juga tugas menjemput kedatangan sang putra kedua akan lebih baik diserahkan kepada anggota keluarga, bukan kepada punggawa biasa.

Menerima tugas tersebut, Raden Yamawidura dan Patih Gandamana menyatakan sanggup. Mereka lalu mohon pamit meninggalkan istana. Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu pun membubarkan pertemuan. Ia kemudian masuk ke dalam kedaton di mana Dewi Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu di gapura.

ARYA SUMAN MENDAHULUI KEPERGIAN RADEN YAMAWIDURA

Arya Suman merasa kesal karena Prabu Pandu tidak memercayai dirinya untuk melaksanakan tugas menjemput kepulangan Raden Bima. Sebenarnya, ia sudah merencanakan pembunuhan terhadap putra dalam bungkus tersebut, karena ia yakin bahwa Pandawa nomor dua ini akan menjadi batu sandungan bagi kemuliaan anak-anak Adipati Dretarastra, atau yang disebut para Kurawa.

Karena tidak mendapat izin dari Prabu Pandu, maka Arya Suman pun menjalankan rencana kedua, yaitu mengirim pasukan dari Kerajaan Gandaradesa yang dipimpin adiknya, bernama Aryaprabu Sarabasanta untuk membunuh Raden Bima bungkus. Adapun adiknya yang lain, yaitu Aryaprabu Anggajaksa ditugasi untuk menghambat perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana agar tidak mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.

Begitu mendapat perintah dari sang kakak, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta segera membagi pasukan Gandaradesa menjadi dua. Pasukan yang pertama berangkat bersama Aryaprabu Sarabasanta menuju ke Hutan Mandalasana, sedangkan pasukan yang kedua bersama Aryaprabu Anggajaksa menghadang perjalanan Raden Yamawidura dan Patih Gandamana.

Setelah kedua adiknya berangkat, Arya Suman lantas mengajak kedua keponakannya, yaitu Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk mengamati dari kejauhan. Kurawa nomor satu dan nomor dua itu pun bertanya mengapa sepupu mereka, yaitu Raden Bima harus dibunuh. Arya Suman menjawab bahwa putra Prabu Pandu dalam bungkus tersebut harus disingkirkan kerena bisa menjadi penghalang bagi Raden Suyudana untuk mendapatkan takhta Kerajaan Hastina. Sejak kecil, para Kurawa terutama Raden Suyudana memang telah dihasut Arya Suman untuk selalu membenci putra-putra Prabu Pandu, serta menganggap mereka sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Setelah mendapat penjelasan demikian, Raden Dursasana hanya tertawa-tawa sedangkan Raden Suyudana tampak masih bimbang. Arya Suman tidak mau membuang-buang waktu. Ia pun memerintahkan kedua keponakannya itu untuk segera naik kuda, lalu mereka pun bersama-sama mengikuti pasukan Gandaradesa yang menuju Hutan Mandalasana.

ARYAPRABU ANGGAJAKSA MENGHADANG RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA

Aryaprabu Anggajaksa bersama pasukannya mengenakan topeng supaya tidak dikenali oleh Raden Yamawidura dan Patih Gandamana. Mereka pun menghadang perjalanan kedua orang itu agar tidak dapat mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.

Karena dihadang secara tiba-tiba oleh kawanan manusia bertopeng, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura segera membela diri. Patih Gandamana seorang diri bertarung melawan para prajurit Gandaradesa, sedangkan Raden Yamawidura menghadapi Aryaprabu Anggajaksa.

Setelah bertempur agak lama, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya berhasil memukul mundur pasukan dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh melarikan diri, Raden Yamawidura pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan perjalanan.

ARYAPRABU SARABASANTA DITERJANG SI BUNGKUS

Sementara itu, Aryaprabu Sarabasanta dan pasukannya telah sampai di Hutan Mandalasana. Mereka melihat si bungkus tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas, sambil sesekali terdengar suara menggeram seperti singa dari dalam benda itu. Tanpa banyak bicara, mereka pun segera menghujani si bungkus dengan berbagai macam senjata.

Namun demikian, tidak ada satu pun senjata mereka yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima. Justru sebaliknya, Raden Bima bungkus tiba-tiba bergerak menggelinding menghantam orang-orang Gandaradesa suruhan Arya Suman tersebut.

Aryaprabu Sarabasanta beserta pasukannya kelabakan menghadapi terjangan si bungkus. Mereka kalang kabut berhamburan, bagaikan dihantam batu besar yang menggelinding ke sana kemari. Tidak hanya itu, si bungkus ternyata mampu mengeluarkan angin topan yang membuat orang-orang Gandaradesa itu terhempas jauh keluar dari Hutan Mandalasana.

Arya Suman, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana merasa ngeri melihat pemandangan ini. Mereka pun bergegas pergi dan menunda rencana membunuh Raden Bima sampai kelak jika sudah keluar dari bungkusnya saja.

BATARA BAYU DAN GAJAH SENA MENDAPAT TUGAS MERUWAT SI BUNGKUS

Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Batara Narada sedang membahas tentang Pandawa nomor dua, yaitu Raden Bima yang sudah saatnya keluar dari dalam bungkus. Sudah empat belas tahun lamanya Raden Bima bertapa di dalam bungkus dan kini ia akan keluar menjadi kesatria berkekuatan dahsyat yang lahir untuk membela kebenaran. Batara Guru lalu memanggil Batara Bayu dan kendaraannya yang berwujud gajah, bernama Gajah Sena untuk menghadap.

Setelah keduanya hadir, Batara Guru pun menyampaikan perintahnya. Batara Bayu mendapat tugas untuk masuk ke dalam bungkus dan memberikan pakaian lengkap kepada Raden Bima. Nanti jika sudah selesai, maka Gajah Sena ditugasi untuk merobek selaput pembungkus Raden Bima. Hal itu karena di muka bumi hanya gading milik Gajah Sena saja yang mampu merobek bungkus tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun mempersilakan keduanya berangkat. Keduanya lalu mohon diri untuk melaksanakan tugas tersebut.

BATARA BAYU MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA RADEN BIMA

Batara Bayu dan Gajah Sena telah sampai di Hutan Mandalasana. Dengan kekuatan gaibnya, Batara Bayu pun masuk menyusup ke dalam bungkus dan menemui Raden Bima. Ia memperkenalkan diri sebagai ayah angkat Raden Bima, serta menjelaskan bahwa orang tua kandungnya berada di Kerajaan Hastina, bernama Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti.

Raden Bima bertanya kapan dirinya akan keluar dari dalam bungkus untuk melihat dunia luas. Batara Bayu menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Gajah Sena yang datang untuk merobek bungkusnya. Namun sebelum itu, Batara Bayu akan memberikan pakaian lengkap terlebih dulu kepada Raden Bima. Pakaian tersebut berupa Pupuk Mas Jarot Asem, Anting Panunggul Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang Bintulu Aji, Gelang Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde Bara.

Setelah Raden Bima mengenakan semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera keluar dari dalam bungkus dan memberi isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke angkasa.

GAJAH SENA MEROBEK BUNGKUS RADEN BIMA

Begitu menerima isyarat dari Batara Bayu, Gajah Sena segera maju dan mulai berusaha membuka bungkus Raden Bima. Ia menginjak-injakbungkus tersebut dan juga membelitnya dengan belalai. Hingga akhirnya, kedua gadingnya pun menembus dan merobek bungkus Raden Bima.

Begitu pembungkusnya terbuka, Raden Bima langsung keluar dan berdiri tegak di hadapan Gajah Sena. Sungguh Gajah Sena merasa kagum melihat Raden Bima yang baru berusia empat belas tahun namun bertubuh tinggi besar melebihi orang dewasa. Tiba-tiba ia teringat ucapan Batara Guru bahwa Raden Bima terlahir menjadi pria perkasa yang senantiasa membela kebenaran. Hal itu menyebabkan terlintas keinginannya untuk bersatu jiwa raga dengan pemuda tersebut.

Maka, Gajah Sena pun segera maju menyerang Raden Bima untuk memancing amarahnya. Raden Bima yang terkejut karena diserang secara tiba-tiba segera membela diri. Ia pun bergulat menghadapi gajah kahyangan tersebut. Setelah bertarung cukup lama, akhirnya Raden Bima berhasil mematahkan kedua gading di mulut Gajah Sena. Begitu gadingnya patah, Gajah Sena langsung musnah dan berubah menjadi cahaya, kemudian masuk ke dalam tubuh Raden Bima. Tidak hanya itu, kedua gading milik Gajah Sena pun bersatu pula di dalam jempol tangan kiri dan kanan Raden Bima, membentuk semacam kuku yang sangat tajam.

RADEN BIMA BERTEMU RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA

Tidak lama kemudian Raden Yamawidura dan Patih Gandamana datang di Hutan Mandalasana. Raden Bima langsung menyerang mereka karena mengira keduanya adalah teman Gajah Sena. Patih Gandamana maju menghadapinya. Keduanya pun bergulat sama-sama kuat tidak ada yang kalah. Dalam hati Patih Gandamana merasa heran mengapa ada anak muda yang begitu perkasa dan mampu menyamai kekuatannya.

Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada dan Batara Bayu yang melerai mereka. Raden Bima yang mengenali Batara Bayu segera menghentikan perkelahian, begitu pula dengan Patih Gandamana. Batara Narada pun memperkenalkan Raden Bima adalah putra kedua Prabu Pandu yang telah keluar dari dalam bungkusnya. Raden Yamawidura dan Patih Gandamana sangat gembira mendengar itu. Mereka pun bergantian memeluk sang keponakan.

Batara Narada juga berpesan kepada Raden Bima apabila ingin bertemu dengan kedua orang tua kandungnya, maka harus mengikuti Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Bima pun menurut. Setelah berkata demikian, Batara Narada memungut selaput bekas pembungkus tubuh Raden Bima yang berserakan di tanah, lalu membawanya terbang menuju ke Kadipaten Banakeling.

Setelah Batara Narada pergi, Batara Bayu pun berpesan kepada Raden Bima bahwa sepasang gading milik Gajah Sena yang kini bersatu di kedua jempol tangannya dapat menjadi pusaka yang ampuh. Apabila Raden Bima berkehendak, maka kedua kuku jempol tersebut dapat memanjang sampai satu jengkal dan dapat digunakan untuk membunuh musuh. Sepasang kuku pusaka tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain Raden Bima, ada putra angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka, bernama Kapi Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti dapat bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.

Batara Bayu melihat Gajah Sena kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima. Maka, ia pun memberikan nama baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena. Setelah berkata demikian, ia lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura, Patih Gandamana, dan Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali ke Kerajaan Hastina.

BATARA NARADA MENEMUI ADIPATI SAPWANI DAN DEWI DRATA

Sementara itu, Batara Narada telah mendarat di Kadipaten Banakeling, yang masih termasuk bawahan Kerajaan Hastina. Kadipaten Banakeling sendiri dipimpin oleh raja tua bernama Adipati Sapwani yang semasa muda dulu pernah menyerang Kerajaan Hastina dan ditaklukkan oleh Resiwara Bisma. Sudah puluhan tahun lamanya Adipati Sapwani menikah dengan Dewi Drata namun tidak juga dikaruniai keturunan. Mereka pun tekun bertapa di Gunung Gihacala untuk memohon kemurahan dewata agar bisa segera mendapatkan putra.

Batara Narada yang telah hadir di Gunung Gihacala segera membangunkan suami istri yang sedang bertapa tersebut. Adipati Sapwani dan Dewi Drata membuka mata kemudian menyembah hormat. Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah mengabulkan permohonan Adipati Sapwani dan Dewi Drata untuk mendapatkan putra. Sebagai sarananya, Batara Narada menyerahkan selaput pembungkus Raden Bima kepada Adipati Sapwani agar direndam di dalam Tirta Kaskaya selama tujuh hari tujuh malam. Adapun Tirta Kaskaya adalah air hujan yang pertama kali turun dan ditampung dalam sebuah wadah. Setelah itu, air rendaman tersebut harus diminum Adipati Sapwani dan Dewi Drata sebelum melakukan hubungan badan.

Batara Narada berkata bahwa Tirta Kaskaya bekas rendaman selaput pembungkus Raden Bima berkhasiat menyuburkan benih Adipati Sapwani dan Dewi Drata. Kelak Dewi Drata akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Batara Narada berjanji akan datang lagi untuk “menjedi” bayi tersebut sehingga tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Putra yang dibesarkan dalam waktu singkat itu kelak hendaknya diberi nama Raden Jayadrata.

Adipati Sapwani dan Dewi Drata berterima kasih atas sarana yang diberikan dewata kepada mereka. Namun, mereka merasa heran mengapa putra mereka kelak jika lahir harus dijedi supaya bisa menjadi dewasa dalam waktu singkat? Batara Narada pun menjawab bahwa Raden Jayadrata ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Dursilawati, yaitu satu-satunya Kurawa yang berkelamin wanita. Saat ini Dewi Dursilawati sudah berusia empat belas tahun, sehingga Raden Jayadrata kelak jika sudah lahir harus dijedi menjadi dewasa dalam waktu sekejap, agar bisa serasi dengan Dewi Dursilawati.

Mendengar penjelasan demikian, Adipati Sapwani dan Dewi Drata merasa lega. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.

RADEN BIMASENA BERTEMU KEDUA SAUDARANYA

Sementara itu di Kerajaan Hastina, Raden Puntadewa dan Raden Permadi, yaitu putra pertama dan ketiga Prabu Pandu telah mendengar kabar bahwa hari ini Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pergi ke Hutan Mandalasana untuk menjemput kepulangan saudara mereka. Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka sengaja tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.

Namun di tengah jalan, Raden Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh Raden Bima telah gagal, Arya Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk memukuli Raden Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan. Mendapat perintah demikian, Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju menyerang kedua Pandawa itu.

Raden Permadi berusaha membela diri, sedangkan Raden Puntadewa mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela tidak melawan apabila itu memang bisa membuat kedua sepupunya tersebut merasa bahagia.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung menerjang Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain adalah Raden Bimasena yang langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan, Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman, paman mereka.

Raden Puntadewa dan Raden Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden Bimasena. Raden Yamawidura pun menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah saudara mereka yang nomor dua, yang baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden Puntadewa dan Raden Permadi terharu bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan Raden Bimasena.

Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran remaja itu kepada Raden Bimasena. Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun adalah kakak sulung Raden Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang kini berusia dua belas tahun adalah adiknya. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka semua untuk tidak menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi kepada keluarga di istana.

PRABU PANDU MENYAMBUT KEPULANGAN PUTRA KEDUANYA

Demikianlah, Raden Yamawidura dan rombongannya telah sampai di istana Kerajaan Hastina. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan segenap anggota keluarga lainnya menyambut kedatangan Raden Bimasena dengan penuh perasaan haru dan bahagia.

Prabu Pandu kagum melihat putra keduanya itu bertubuh tinggi besar dan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia teringat dewata pernah berpesan bahwa penempatan Raden Bima bungkus di tengah Hutan Mandalasana bukanlah sebagai pembuangan, melainkan sebagai sarana bagi Pandawa nomor dua tersebut untuk melakukan tapa brata selama empat belas tahun. Teringat pada hal itu, maka Prabu Pandu pun memberikan nama tambahan untuk Raden Bimasena, yaitu Raden Bratasena.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Catatan : kisah Bima Bungkus ini menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengkala 679 yang ditandai dengan sengkalan “trusthaning wiku angraras barakan”, atau bertepatan dengan tahun Candrasengakala699 dengan ditandai sengkalan “rudra mukar angayak langit”. Menurut versi ini, kisah Bima Bungkus terjadi hanya beberapa hari saja setelah Bima Lahir, bahkan sebelum Kurawa Lahir di tahun yang sama. Namun, menurut versi Ki Anom Suroto, kisah Bima Bungkus terjadi belasan tahun setelah Bima Lahir.

Srikandhi Meguru Manah

Srikandhi Meguru Manah

Srikandi Meguru Manah

Kisah ini menceritakan tentang Dewi Srikandi putri Prabu Drupada yang berguru memanah kepada Raden Arjuna. Hubungan mereka berubah menjadi kekasih namun dipisahkan oleh Dewi Drupadi. Dewi Srikandi pun kembali ke negerinya dan berusaha menaikkan harga diri melalui peperangan melawan Prabu Jungkungmardeyayang menginginkannya.

Kisah ini di olah heri purwanto dari sumber rekaman pagelaran wayang orang Sekar Budaya Nusantara, yang di padukan dengan rubrik pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat, serta buku Srikandi Berguru Memanah karya Sunardi D.M. dengan disertai pengembangan seperlunya.

Dewi Srikandi

DEWI SRIKANDI MENGHILANG DARI ISTANA

Prabu Drupada di Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) dihadap para menteri dan punggawa, antara lain Raden Drestajumena (putra mahkota), Patih Drestaketu, Arya Yudamanyu, dan Arya Utamayuda. Mereka sedang membicarakan putri raja nomor dua, yaitu Dewi Srikandi yang sudah tiga bulan ini menghilang entah ke mana.

Prabu Drupada teringat kisah masa lalu, di mana pernikahannya dengan sang permaisuri Dewi Gandawati tidak dikaruniai anak sama sekali. Hingga pada suatu hari Kerajaan Pancala diserang musuh lama Prabu Drupada, yaitu Resi Druna bersama murid-muridnya. Prabu Drupada dan Arya Gandamana (adik iparnya) kalah di tangan Raden Arjuna dan Raden Bimasena. Resi Druna pun merebut kekuasaan atas Kerajaan Pancala dan membaginya menjadi dua. Wilayah bagian utara termasuk istana lama menjadi milik Resi Druna, sedangkan wilayah selatan diserahkan pada Prabu Drupada. Sejak saat itu, Prabu Drupada sekeluarga pindah ke selatan dan membangun ibu kota baru di Desa Cempala. Oleh sebab itulah, Kerajaan Pancala Selatan pun dikenal pula dengan nama Kerajaan Cempalareja.

Prabu Drupada merasa iri pada Resi Druna yang memiliki seorang putra dan seratus lima murid yang selalu patuh pada perintahnya. Karena Dewi Gandawati mandul, Prabu Drupada pun pergi bertapa agar bisa memiliki keturunan. Setelah sekian lama bertapa, muncul dua orang pendeta bernama Resi Yodya dan Resi Upayodya yang dikirim dewata untuk membantu kesulitan Prabu Drupada. Kedua pendeta itu lalu mengadakan sesaji api, yang mana kobaran api tersebut mampu menghisap benih dari dalam tubuh Prabu Drupada. Dari kobaran api itulah, muncul seorang gadis remaja yang diberi nama Dewi Drupadi. Prabu Drupada belum puas dan meminta upacara dilanjutkan. Tak lama kemudian muncullah seorang gadis yang bersifat kelaki-lakian, diberi nama Dewi Srikandi. Prabu Drupada masih belum puas juga dan meminta sesaji tetap dilanjutkan agar mendapatkan anak yang benar-benar laki-laki. Akhirnya, muncul seorang pemuda dari dalam kobaran api yang diberi nama Raden Drestajumena.

Demikianlah awal mulanya Prabu Drupada memiliki tiga orang anak. Yang tertua Dewi Drupadi telah menjadi istri Prabu Puntadewa raja Amarta, melalui sayembara yang mereggut nyawa Arya Gandamana. Sekarang tiba saatnya Prabu Drupada memikirkan putri keduanya, yaitu Dewi Srikandi yang sudah waktunya untuk menikah. Namun, Dewi Srikandi tidak tertarik berumah tangga. Sifatnya yang kelaki-lakian membuatnya lebih suka berlatih perang-perangandaripada mempelajari bagaimana caranya menjadi calon istri yang baik.

Prabu Drupada sengaja membangun sebuah taman yang sangat indah bernama Taman Maherakaca sebagai tempat tinggal Dewi Srikandi, dengan harapan semoga putrinya itu berubah sifat menjadi perempuan sejati. Namun, taman indah tersebut justru digunakan Dewi Srikandi sebagai tempat berlatih memanah dan ilmu keprajuritan lainnya. Dewi Srikandi juga pernah berkata bahwa dirinya iri kepada sang adik, yaitu Raden Drestajumena yang pernah berguru ilmu perang kepada Resi Druna. Namun, hal itu justru membuat Prabu Drupada marah dan menyuruhnya untuk melupakan semua keinginannya menjadi wanita petarung.

Sejak kejadian itu Dewi Srikandi tiba-tiba menghilang entah ke mana. Prabu Drupada sangat menyesal telah memarahi putri keduanya itu. Patih Drestaketu segera menyebarkan orang-orangnya untuk mencari ke segala penjuru, namun Dewi Srikandi tidak juga dapat ditemukan. Tak terasa kini sudah tiga bulan lamanya sang putri menghilang dan tidak diketahui keberadaannya.

Prabu Drupada

PRABU DRUPADA MENDAPAT SURAT LAMARAN DARI KERAJAAN PARANGGUBARJA

Ketika Patih Drestaketu sedang menyampaikan laporan tentang pencarian Dewi Srikandi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertampang seram memasuki balai penghadapan. Laki-laki itu mengaku bernama Patih Jayasudarga dari Kerajaan Paranggubarja di tanah seberang. Dengan sikap angkuh, ia pun menyampaikan surat dari rajanya yang bernama Prabu Jungkungmardeya kepada Prabu Drupada.

Prabu Drupada membaca surat itu yang berisi keinginan Prabu Jungkungmardeya untuk memperistri Dewi Srikandi. Melalui suratnya, Prabu Jungkungmardeya juga memamerkan bahwa dirinya seorang raja yang masih muda, tampan, sakti, dan juga kaya raya. Ia berharap Prabu Drupada menerima lamarannya, karena dirinya tidak ingin jika Dewi Srikandi terpaksa direbut melalui peperangan.

Raden Drestajumena sang putra mahkota sangat tersinggung mendengar isi surat yang dibaca ayahnya. Ia pun bertanya apa benar sosok Prabu Jungkungmardeya sama seperti apa yang tertulis dalam surat tersebut, atau jangan-jangan wajahnya sama menyeramkan seperti patih yang sekarang datang. Patih Jayasudarga menjawab isi surat tersebut sangat benar. Pada mulanya, Patih Jayasudarga adalah raja Paranggubarja yang sebenarnya. Hingga suatu hari datang seorang pemuda bernama Bambang Jungkung yang menantangnya bertanding. Prabu Jayasudarga kalah dan terpaksa menyerahkan takhta kerajaannya kepada pemuda itu. Bambang Jungkung pun menjadi raja baru di Paranggubarja, bergelar Prabu Jungkungmardeya. Adapun Prabu Jayasudarga kemudian diturunkan pangkatnya menjadi patih.

Patih Jayasudarga bercerita bahwa Prabu Jungkungmardeya tidak hanya sakti, tetapi juga tampan dan masih muda. Raden Drestajumena tidak peduli. Ia berkata bahwa hari ini Dewi Srikandi sedang menghilang entah ke mana. Andaikan telah ditemukan, tetap saja ia tidak rela jika kakaknya itu menikah dengan seorang raja sombong semacam Prabu Jungkungmardeya. Patih Jayasudarga berkata bahwa dirinya telah diberi wewenang oleh rajanya untuk membawa Dewi Srikandi, baik itu melalui cara sopan, ataupun cara kasar. Raden Drestajumena pun mempersilakannya untuk menunggu di luar, lengkap dengan segenap pasukan dari Paranggubarja, apabila memang ingin menempuh cara kasar.

Patih Jayasudarga pun undur diri meninggalkan pertemuan. Prabu Drupada segera menegur putranya yang bertindak gegabah, menantang Patih Jayasudarga beserta pasukannya. Jika perang sampai terjadi, maka yang menjadi korban pastilah para prajurit rendahan dan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Raden Drestajumena mohon maaf atas sikapnya yang lancang. Namun, ia tidak rela apabila kakak keduanya menjadi istri seorang raja sombong. Bagaimanapun juga lamaran ini harus ditolak. Lagipula ini adalah kesempatan bagi Raden Drestajumena untuk menguji hasil bergurunya kepada Resi Druna beberapa tahun yang lalu. Ia pun mohon restu kepada sang ayah untuk berangkat menghadapi tantangan Patih Jayasudarga tersebut.

Patih Drestaketu

PERTEMPURAN ANTARA PIHAK CEMPALAREJA MELAWAN PARANGGUBARJA

Patih Jayasudarga telah kembali ke induk pasukannya dan kemudian mereka bersiaga di alun alun Kerajaan Cempalareja. Tidak lama kemudian Raden Drestajumena datang bersama pasukannya. Pertempuran pun terjadi antara kedua pihak. Setelah agak lama, Raden Drestajumena akhirnya terdesak dan dapat dikalahkan oleh Patih Jayasudarga.

Melihat putranya dalam bahaya, Prabu Drupada segera melerai kedua pihak yang sedang berperang. Ia berkata kepada Patih Jayasudarga agar membawa pasukannya beristirahat di Kesatrian Mandirajajar, yaitu bekas kediaman mendiang Arya Gandamana. Ia berjanji apabila Dewi Srikandi telah ditemukan, maka urusan pernikahan bisa dibicarakan lagi. Patih Jayasudarga terkesan dengan sikap bijak Prabu Drupada. Ia pun mohon pamit mundur dan membawa pasukannya menuju ke arah Mandirajajar dengan dipandu Patih Drestaketu.

Sepeninggal orang-orang Paranggubarja, Raden Drestajumena bertanya kepada sang ayah mengapa pertempuran tadi dihentikan, padahal dirinya belum kalah. Prabu Drupada pun menasihati putranya itu yang mudah sekali menyebut Prabu Jungkungmardeya sebagai raja sombong, padahal ia sendiri tidak kalah sombong. Dalam peperangan tadi, Raden Drestajumena bersikap terlalu meremehkan lawan, sehingga menjadi kurang waspada dan dapat dikalahkan oleh Patih Jayasudarga yang lebih berpengalaman.

Raden Drestajumena mengakui bahwa dirinya memang takabur. Andai saja tadi ia lebih waspada, tentu segala ilmu pelajaran dari Resi Druna dapat dikerahkan dengan sebaik-baiknya.Prabu Drupada pun memaklumi bahwa putranya itu memang baru pertama kali ini terjun dalam pertempuran, sehingga masih kurang pengalaman. Namun, ia mendapat firasat bahwa suatu saat nanti nama Raden Drestajumena pasti tercatat dalam sejarah sebagai seorang panglima besar yang ahli dalam memimpin pertempuran.

Prabu Drupada lalu memerintahkan Raden Drestajumena agar berangkat ke Gunung Saptaarga untuk meminta petunjuk kepada Bagawan Abyasa, di mana kiranya Dewi Srikandi berada. Raden Drestajumena menerima tugas tersebut dan segera mohon pamit saat itu juga.

Setelah Raden Drestajumena berangkat, Prabu Drupada pun menulis surat kepada putri sulungnya, yaitu Dewi Drupadi perihal menghilangnya Dewi Srikandi. Prabu Drupada kemudian memerintahkan Arya Yudamanyu untuk membawa surat tersebut menuju Kerajaan Amarta.

Patih Jayasudarga

DEWI SRIKANDI BERGURU PANAH KEPADA RADEN ARJUNA

Dewi Srikandi yang dicari-cari oleh keluarganya ternyata sudah tiga bulan ini berada di Kesatrian Madukara, tepatnya di dalam Taman Maduganda, yaitu sedang berguru ilmu memanah kepada Raden Arjuna.

Awal mulanya ialah peristiwa sayembara memperebutkan Dewi Drupadi beberapa tahun yang lalu, di mana Dewi Srikandi menyaksikan sang paman Arya Gandamana gugur di tangan Wasi Balawa, yaitu penyamaran Arya Wrekodara, sang Panenggak Pandawa. Saat itu Raden Drestajumena tidak terima kakaknya berjodoh dengan pendeta miskin, sehingga menantang para Pandawa untuk mengikuti sayembara yang ia adakan, yaitu memanah sehelai rambut di puncak tiang. Sayembara tersebut pun dapat dimenangkan pula oleh Wasi Parta, yang ternyata penyamaran Raden Arjuna. Maka, Dewi Drupadi kemudian diserahkan kepada para Pandawa, dan menjadi istri Raden Puntadewa, sang Pandawa tertua.

Sejak itulah tertanam dalam benak Dewi Srikandi bahwa Raden Arjuna adalah pemanah terbaik di dunia. Pada dasarnya Dewi Srikandi bersifat kelaki-lakian yang lebih suka bermain perang-perangan daripada berlatih menari atau membuat batik. Dalam hatinya ia ingin sekali berguru ilmu panah kepada Pandawa nomor tiga tersebut, tetapi hatinya malu bercampur takut, dan tidak tahu bagaimana caranya harus memulai. Baru setelah mendapat marah dari ayahnya untuk tidak lagi bermain perang-perangan, Dewi Srikandi pun membulatkan tekad untuk pergi tanpa pamit menuju Kerajaan Amarta. Sesampainya di sana, ia langsung masuk ke dalam Kesatrian Madukara dan bertemu dengan Raden Arjuna.

Tak disangka, Raden Arjuna menyambut ramah kedatangan Dewi Srikandi dan bersedia menerimanya sebagai murid. Mereka pun meminta izin kepada Dewi Sumbadra selaku istri padmi tertua untuk berlatih di dalam Taman Maduganda. Dewi Sumbadra tanpa membantah langsung mengizinkan mereka. Ia pun memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada sang suami untuk mengajar dan melatih Dewi Srikandi segala hal yang berkaitan dengan ilmu perang.

Demikianlah, tak terasa Dewi Srikandi sudah tiga bulan lamanya berada di Kesatrian Madukara untuk berguru kepada Raden Arjuna. Segala macam ilmu keprajuritan telah ia pelajari, terutama seni memanah. Berbagai sasaran sudah ia coba, mulai dari memanah telur ayam, telur puyuh, buah ranti, bahkan sampai sehelai rambut sekalipun. Betapa lembut dan sabar Raden Arjuna dalam membimbing Dewi Srikandi membuat gadis itu sangat terkesan kepadanya. Seumur hidup Dewi Srikandi selalu bersikap kelaki-lakian, namun sejak berada di dekat Raden Arjuna, ia berubah menjadi layaknya wanita yang sedang dimabuk asmara. Ia kini berubah menjadi perempuan yang memerhatikan penampilan, suka berdandan, memakai wangi-wangian, serta cara berjalannya pun ditata menjadi lebih anggun dan berirama.

Sebaliknya, Raden Arjuna diam-diam juga menaruh hati kepada Dewi Srikandi. Rasa cinta pun tumbuh bersemi di antara mereka karena selalu bersama. Jika dulu pada awalnya Raden Arjuna mengarahkan Dewi Srikandi hanya melalui lisan, namun kini ia tidak segan-segan menyentuh tangan gadis itu sambil memeluk dari belakang. Tidak jarang Raden Arjuna menempelkan pipinya pada pipi Dewi Srikandi dengan alasan untuk mengarahkan pandangan mata gadis itu agar lebih lurus menuju sasaran. Tentu saja jantung Dewi Srikandi berdebar kencang dan keringatnya pun bercucuran. Hingga ia pun membayangkan betapa bahagia seandainya bisa menjadi istri muda kesatria Panengah Pandawa tersebut.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Raden Arjuna akhirnya berterus terang menyatakan perasaannya bahwa ia telah jatuh cinta kepada Dewi Srikandi dan ingin menikah dengannya. Dewi Srikandi sangat bahagia dan ia pun menyatakan bersedia, namun tentunya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Dewi Sumbadra dan Niken Larasati.

Raden Arjuna

DEWI DRUPADI MEMERGOKI DEWI SRIKANDI BERMESRAAN DENGAN RADEN ARJUNA

Sang permaisuri Kerajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi menerima kedatangan Arya Yudamanyu yang membawa surat dari ayahnya, yaitu Prabu Drupada. Dalam surat itu tertulis bahwa Dewi Srikandi telah menghilang tiga bulan lamanya dan hingga kini belum juga ditemukan. Dewi Drupadi yang berpikiran cerdas segera menghubungkan peristiwa ini dengan Raden Arjuna yang sudah tiga bulan tidak pernah hadir menghadap Prabu Puntadewa. Apalagi Dewi Drupadi ingat bahwa Dewi Srikandi dari dulu gemar bermain perang-perangan dan menaruh iri kepada Raden Drestajumena yang pernah berguru kepada Resi Druna. Ia pun menduga adiknya itu pasti menghilang dari istana karena ingin berguru kepada Raden Arjuna, yang merupakan pemanah terbaik murid Resi Druna.

Maka, Dewi Drupadi pun bergegas menuju Kesatrian Madukara dan melihat para panakawan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berjaga di luar Taman Maduganda. Para panakawan itu segera menghalang-halangi Dewi Drupadi dengan alasan Raden Arjuna sedang bertapa di dalam taman dan tidak ingin diganggu. Hal ini membuat Dewi Drupadi semakin curiga. Ia pun nekat menerobos taman dan melihat Dewi Srikandi sedang berpelukan mesra dengan Raden Arjuna. Ia pun marah-marah melabrak mereka. Tangannya bergerak menampar pipi dan menjambak rambut Dewi Srikandi. Raden Arjuna sangat malu dan segera lari menghindar, meninggalkan Taman Maduganda.

Dewi Srikandi jatuh terduduk sambil menangis sedih bercampur malu. Dewi Drupadi pun memaki-maki adiknya itu sebagai wanita murahan yang hendak merebut suami orang. Pada saat itulah Dewi Sumbadra dan Niken Larasati datang untuk melerai. Dewi Drupadi memberi tahu mereka bahwa Raden Arjuna telah berselingkuh dengan Dewi Srikandi. Namun, Dewi Sumbadra dengan lembut menolong Dewi Srikandi bangkit sambil berkata bahwa ia sudah tahu semuanya. Dirinya sudah mengetahui bahwa hubungan guru dan murid di antara Raden Arjuna dan Dewi Srikandi telah berubah menjadi pasangan kekasih. Namun sayangnya, mereka belum juga berterus terang soal ini kepada Dewi Sumbadra. Andaikan mereka berterus terang untuk menikah, pasti Dewi Sumbadra memberikan izin.

Dewi Drupadi heran mengapa Dewi Sumbadra tidak marah melihat suaminya mencintai wanita lain. Dewi Sumbadra pun menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang dikaruniai Tuhan memiliki kasih sayang melimpah ruah, sehingga pantas saat masih remaja dijuluki sebagai Sang Permadi. Seorang laki-laki yang memiliki kasih sayang berlebih sangat wajar apabila mencintai wanita lebih dari satu. Dewi Sumbadra pun yakin, andaikata Raden Arjuna menikah lagi, cintanya kepada para istri yang lain tidak akan pernah berkurang.

Dewi Srikandi yang mendapat pembelaan dari Dewi Sumbadra justru merasa sangat malu. Ia pun meronta dan lari meninggalkan Kesatrian Madukara sambil menangis berlinang air mata. Dewi Drupadi berusaha mengejar, namun adiknya itu sudah menghilang entah ke mana.

Dewi Drupadi

DEWI SRIKANDI MENDERITA GANGGUAN JIWA

Dewi Srikandi telah berlari jauh meninggalkan Kerajaan Amarta. Ia sangat marah bercampur sedih, karena laki-laki yang ia cintai ternyata mencari selamat sendiri saat dirinya dilabrak sang kakak sulung. Perasaan sedih yang mendalam membuat pikiran Dewi Srikandi agak terganggu. Kadang-kadang ia bicara tak keruan, menantang-nantang, menjerit-jerit, kadang pula menangis tanpa sebab.

Dewi Srikandi yang kini menderita sakit jiwa terus berjalan tak tentu arah. Namun demikian, penampilannya yang lusuh dan rambutnya yang acak-acakan sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Kadang muncul beberapa laki-laki yang berniat jahat kepadanya, namun dengan cekatan Dewi Srikandi dapat meringkus mereka sambil tertawa riang.

Hingga akhirnya, Raden Drestajumena muncul dan menemukan kakaknya itu. Rupanya Raden Drestajumena telah mendapat petunjuk dari Bagawan Abyasa di Gunung Saptaarga agar berjalan lurus ke arah barat apabila ingin bertemu dengan Dewi Srikandi.

Dewi Srikandi marah-marah dan mengamuk karena tidak mengenali adiknya. Raden Drestajumena terkejut namun dengan cekatan berhasil meringkus kakaknya itu. Berangsur-angsur, ingatan Dewi Srikandi akhirnya pulih kembali. Ia pun menangis memeluk adiknya dan bersedia dibawa pulang ke Kerajaan Pancala Selatan.

Raden Drestajumena

PRABU JUNGKUNGMARDEYA TEWAS MELAWAN DEWI SRIKANDI

Prabu Drupada di Kerajaan Pancala Selatan sangat bahagia karena putri keduanya berhasil ditemukan. Ia pun meminta maaf karena telah memarahi Dewi Srikandi yang menyebabkan putrinya itu kabur dari istana. Mulai saat ini, Prabu Drupada mengizinkan apabila Dewi Srikandi ingin lebih mendalami seni memanah dan ilmu keprajuritan lainnya.

Tidak lama kemudian datang pula Patih Jayasudarga bersama rajanya yang masih muda dan tampan, yaitu Prabu Jungkungmardeya dari Paranggubarja. Prabu Jungkungmardeya berkata bahwa dirinya tidak sabar menunggu laporan dari Patih Jayasudarga. Karena didesak oleh perasaan ingin segera menikahi Dewi Srikandi, Prabu Jungkungmardeya pun berangkat menyusul ke Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan). Patih Jayasudarga yang beberapa hari ini tinggal di Kesatrian Mandirajajar segera menyambut kedatangan rajanya itu. Mereka lalu bersama-sama menghadap Prabu Drupada untuk menanyakan bagaimana keputusan yang diambil, apakah lamaran terhadap Dewi Srikandi diterima ataukah ditolak.

Prabu Drupada berkata bahwa yang hendak menjalani rumah tangga adalah Dewi Srikandi, maka biarlah putrinya itu yang memberikan jawaban. Adapun Dewi Srikandi sendiri baru saja ditemukan setelah menghilang dari istana tiga bulan lamanya. Prabu Drupada pun mempersilakan putri keduanya itu untuk menjawab lamaran Prabu Jungkungmardeya.

Dewi Srikandi mengamati sosok raja yang melamar dirinya ternyata memang tampan dan masih muda. Namun, sayang sekali lagaknya sombong dan angkuh, sangat berbeda dengan Raden Arjuna yang lembut dan sederhana. Meskipun hatinya kecewa, namun Dewi Srikandi masih menyimpan cinta yang mendalam terhadap kesatria dari Madukara tersebut. Maka, ia pun berkata kepada Prabu Jungkungmardeya, apabila ingin menikah dengannya harus bertanding terlebih dahulu. Apabila Dewi Srikandi dapat dikalahkan, maka ia bersedia menjadi istri raja Paranggubarja tersebut.

Prabu Jungkungmardeya tertawa meremehkan. Ia pun menerima tantangan Dewi Srikandi dan berniat ingin mempermalukan wanita pujaannya itu. Keduanya lalu bertanding di halaman istana. Prabu Jungkungmardeya bertarung sambil merayu genit. Sesekali tangannya berhasil mencolek dagu Dewi Srikandi, membuat gadis itu semakin benci kepadanya.

Dewi Srikandi merasa jika bertarung adu kekuatan jelas dirinya tidak mungkin menang melawan Prabu Jungkungmardeya yang perkasa dan lebih berpengalaman. Maka, ia pun menantang lawannya itu bertanding adu panah. Mereka berdua harus sama-sama melepaskan panah ke arah masing-masing. Prabu Jungkungmardeya keberatan karena hal ini sangat berbahaya dan bisa-bisa Dewi Srikandi terluka nantinya. Namun, Dewi Srikandi terus memaksa sambil mengejek Prabu Jungkungmardeya pengecut, sehingga membuat lawannya itu tersinggung dan menerima tantangannya.

Maka, Prabu Jungkungmardeya pun melepaskan panah ke arah Dewi Srikandi, sedangkan Dewi Srikandi melepaskan panah ke arah Prabu Jungkungmardeya. Demikianlah, kedua panah itu sama-sama meluncur dan akhirnya bertemu di udara. Sungguh luar biasa hasil pelajaran yang diberikan Raden Arjuna. Anak panah yang dilepaskan oleh Dewi Srikandi begitu dahsyat dan berhasil membelah panah lawan menjadi dua. Kemudian, panah itu terus meluncur hingga menancap di leher Prabu Jungkungmardeya.

Prabu Jungkungmardeya melotot tidak percaya. Sekejap kemudian, ia pun roboh kehilangan nyawa. Patih Jayasudarga terkejut melihat pemandangan ini. Ia pun segera pergi sambil mengancam akan melakukan balas dendam atas kematian rajanya.

Prabu Jungkungmardeya

DEWI SUMBADRA BERANGKAT MELAMAR DEWI SRIKANDI

Sementara itu, Raden Arjuna jatuh sakit sejak peristiwa kepergian Dewi Srikandi meninggalkan Kesatrian Madukara. Para Pandawa lainnya datang menjenguk dan memberikan penghiburan. Prabu Puntadewa berjanji akan memberikan seperangkat gamelan baru asalkan adiknya itu bisa segera sembuh. Arya Wrekodara berjanji akan memberikan sebilah keris baru, begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa berjanji akan memberikan pakaian baru untuk Raden Arjuna. Namun, Raden Arjuna tetap saja terkulai lemah di atas ranjang.

Dewi Sumbadra yang memahami suami segera berjanji akan meminang calon istri baru dari Kerajaan Cempalareja asalkan Raden Arjuna segera pulih. Mendengar itu, Raden Arjuna membuka mata dan segera bangun dari tempat tidur. Dewi Sumbadra tersenyum dan segera mengajak Niken Larasati berangkat membawa segala perlengkapan lamaran. Raden Arjuna didampingi Raden Gatutkaca dan para panakawan pun berjalan di belakang mereka.

Dewi Wara Sumbadra

DEWI SRIKANDI MENGAJUKAN SYARAT

Singkat cerita, rombongan yang dipimpin Dewi Sumbadra telah sampai di istana Cempalareja dan langsung menghadap Prabu Drupada dan Dewi Gandawati. Dewi Sumbadra berterus terang bahwa dirinya ingin melamar Dewi Srikandi menjadi madu, yaitu sebagai istri muda Raden Arjuna, suaminya sendiri.

Prabu Drupada sangat terkejut mendengar lamaran aneh ini. Biasanya wanita akan marah-marah apabila suaminya menikah lagi, tetapi Dewi Sumbadra justru mencarikan istri baru untuk Raden Arjuna. Dewi Sumbadra menjawab dirinya sudah mengenal bagaimana watak suaminya. Raden Arjuna mendapat karunia Tuhan memiliki kasih sayang yang berlimpah. Suaminya itu mampu mencintai istri baru tanpa mengurangi sedikit pun kasih sayangnya terhadap istri yang lama.

Prabu Drupada tertawa senang bercampur heran. Ia pun mempersilakan Dewi Srikandi untuk menjawab lamaran tersebut. Dewi Srikandi dalam hati sangat mencintai Raden Arjuna. Namun, ia menjawab ketus bahwa Raden Arjuna adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan memikirkan keselamatan diri sendiri. Saat dirinya dilabrak dan dicaci-maki oleh Dewi Drupadi, Raden Arjuna justru kabur tanpa melakukan pembelaan.

Dewi Srikandi menyatakan dirinya tidak butuh laki-laki. Ia merasa mampu melindungi diri sendiri, bahkan Prabu Jungkungmardeya yang sakti saja tewas di tangannya. Dewi Sumbadra pun menasihati agar Dewi Srikandi jangan takabur. Sehebat-hebatnya perempuan tetap saja butuh kasih sayang laki-laki. Perempuan tidak dapat hidup sendiri, demikian pula dengan laki-laki. Keduanya saling membutuhkan. Kini Raden Arjuna datang bersama dirinya ke istana Cempalareja adalah untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Dewi Srikandi merasa bimbang hendak menerima atau menolak. Namun, dirinya teringat caci maki sang kakak sulung yang menyebutnya sebagai wanita murahan. Maka, demi untuk menaikkan harga diri, ia pun menantang Dewi Sumbadra untuk memenuhi syarat yang diajukannya. Ia menyatakan bersedia menikah asalkan ada perempuan lain yang bisa mengalahkan dirinya.

Sungguh tak disangka, Dewi Sumbadra menjawab bersedia. Ia berkata bahwa di dunia ini wanita petarung bukan hanya Dewi Srikandi seorang, karena adiknya yang sekaligus menjadi madunya juga seorang prajurit terlatih. Usai berkata demikian, Dewi Sumbadra pun mempersilakan Niken Larasati untuk maju melayani tantangan Dewi Srikandi.

PERTARUNGAN NIKEN LARASATI DENGAN DEWI SRIKANDI

Niken Larasati dan Dewi Srikandi kini telah berhadap-hadapan di halaman istana. Keduanya pun mulai bertarung dengan disaksikan banyak orang, antara lain Prabu Drupada, Dewi Gandawati, Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, Raden Drestajumena, dan Raden Gatutkaca.

Meskipun hanya tiga bulan Dewi Srikandi berlatih pada Raden Arjuna, namun keterampilannyabertarung sungguh luar biasa. Ia mampu membuat Niken Larasati terdesak oleh serangannya yang gencar. Namun, Niken Larasati adalah murid Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana dulu. Meskipun terdesak, ia tetap pantang menyerah dengan semangat membara demi kemenangan Dewi Sumbadra. Pertahanannya sangat kuat, membuat Dewi Srikandi lama-lama merasa lelah juga.

Dewi Srikandi menghentikan pertarungan dan ganti menantang Niken Larasati adu keterampilan memanah. Prabu Drupada meminta kepada putrinya itu agar jangan sampai jatuh korban seperti Prabu Jungkungmardeya. Maka, yang menjadi sasaran hendaknya bukan tubuh lawan, tetapi sebutir telur burung pipit yang diletakkan di atas tiang. Dewi Srikandi setuju dan segera meminta Raden Drestajumena untuk membuatkan sasaran tersebut.

Dewi Srikandi mendapat giliran pertama membidik. Dengan perasaan takabur karena telah berhasil menewaskan Prabu Jungkungmardeya, ia pun melepaskan panahnya dan tepat mengenai telur burung pipit tersebut, hingga terpental dan jatuh di tanah. Para penonton pun bersorak memuji kehebatan Dewi Srikandi.

Ketika giliran Niken Larasati membidik, Raden Arjuna pun berbisik kepada istrinya itu agar jangan sampai menjatuhkan telur dari tiang. Niken Larasati paham dan segera membidik dengan tenang. Ia pun mengheningkan cipta, memohon kepada dewata agar mendapat kemenangan untuk Dewi Sumbadra, dan juga demi kebahagiaan sang suami.

Setelah hatinya mantap, Niken Larasati pun melepaskan panahnya. Anak panah itu melesat dan tepat menancap pada telur burung pipit di atas tiang tersebut. Telur itu tetap berada pada tempatnya, tidak goyah sedikit pun, hanya isinya yang menetes ke tanah.

Sungguh kagum para hadirin menyaksikan keterampilan Niken Larasati dalam memanah. Dewi Srikandi berkali-kali memuji sekaligus merasa malu karena merasa dirinya adalah satu-satunya wanita yang pandai bertarung dan memanah. Ia lalu memeluk Niken Larasati dan mengakui kekalahannya di hadapan semua orang.

Niken Larasati

RESI DEWANGKARA MEMBAKAR TAMAN MAHERAKACA

Tiba-tiba Patih Drestaketu datang melapor bahwa Patih Jayasudarga dan pasukan Paranggubarja datang kembali untuk mengacau Kerajaan Cempalareja. Kali ini mereka datang bersama seorang pendeta sakti bernama Resi Dewangkara. Kedatangan mereka adalah untuk membalas kematian Prabu Jungkungmardeya di tangan Dewi Srikandi tempo hari.

Raden Arjuna dan Raden Gatutkaca segera mohon izin untuk menghadapi serangan tersebut. Mereka lalu bahu-membahu bersama pasukan Cempalareja melawan gempuran musuh. Resi Dewangkara ternyata ayah kandung sekaligus guru Prabu Jungkungmardeya. Dahulu kala Prabu Jungkungmardeya memiliki nama asli Bambang Jungkung, hanya seorang pemuda gunung biasa. Berkat pendidikan keras dari ayahnya, ia mampu mengalahkan Prabu Jayasudarga dan merebut takhta Kerajaan Paranggubarja.

Prabu Jayasudarga yang telah turun pangkat menjadi patih, hari ini akhirnya tewas di tangan Raden Gatutkaca. Kepalanya ditarik putus dan dilemparkan ke arah pasukan Paranggubarja. Para prajurit pun berhamburan melihat pemimpin mereka gugur. Sementara itu, Resi Dewangkara masih bertarung melawan Raden Arjuna. Meskipun kesaktiannya di atas Prabu Jungkungmardeya, tetapi menghadapi Raden Arjuna jelas tidak mudah. Keduanya pun bertarung sengit berusaha saling menjatuhkan. Hingga pada suatu kesempatan, Keris Pulanggeni di tangan Raden Arjuna berhasil merobek perut Resi Dewangkara.

Resi Dewangkara pun terluka parah. Menjelang ajal ia sempat mengheningkan cipta sambil membaca mantra. Seketika tubuhnya pun musnah dan berubah menjadi seberkas cahaya seukuran kunang-kunang. Cahaya tersebut melesat kencang dan jatuh di dalam Taman Maherakaca. Seketika taman indah itu pun terbakar hebat.

Raden Gatutkaca

DEWI SRIKANDI MENGADAKAN SAYEMBARA MEMBANGUN TAMAN

Patih Drestaketu dan para prajurit segera berjuang memadamkan kebakaran. Tidak lama kemudian api pun telah padam. Namun, Taman Maherakaca kini hanya tinggal puing-puing belaka. Segala macam tanaman indah dan pepohonan asri telah berubah menjadi arang dan abu mengenaskan.

Dewi Srikandi sangat sedih melihat keadaan taman tersebut. Taman Maherakaca dulu dibangun sang ayah khusus untuk dirinya. Waktu itu Prabu Drupada prihatin melihat Dewi Srikandi yang bersifat kelaki-lakian, sehingga ia pun membangun taman indah sebagai tempat putrinya belajar cara menjadi perempuan yang anggun. Namun tetap saja, Dewi Srikandi menggunakan Taman Maherakaca sebagai tempat untuk berlatih perang-perangan.

Kini Dewi Srikandi sangat berduka melihat taman miliknya telah hangus terbakar. Karena terbawa amarah, ia pun bersumpah tidak ingin menikah, kecuali dengan laki-laki yang mampu memperbaiki Taman Maherakaca hanya dalam waktu semalam saja. Raden Arjuna terkejut mendengar sumpah tersebut. Ia pun mohon pamit kepada Prabu Drupada dan bergegas pergi mencari sarana untuk mewujudkan syarat yang diajukan Dewi Srikandi itu.

Prabu Drupada sebenarnya senang jika Dewi Srikandi menjadi istri Raden Arjuna, namun putrinya sudah terlanjur bersumpah demikian. Maka, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain memberikan doa restu semoga semuanya berjalan lancar. Setelah dirasa cukup, Dewi Sumbadra didampingi Niken Larasati dan Raden Gatutkaca pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Amarta, sedangkan panakawan Kyai Semar beserta anak-anaknya berangkat menyusul kepergian Raden Arjuna.

Baladewa Rabi

Baladewa Rabi

Baladewa Rabi

Kisah ini menceritakan Wasi Jaladara alias Raden Kakrasana menjadi jago dewa untuk menumpas Prabu Nagaprasanta dan pasukannya. Berkat kemenangan itu, ia mendapat bantuan Batara Indra untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu Salya demi memperistri Dewi Erawati. Kisah ditutup dengan pelantikan Raden Kakrasana sebagai raja Mandura, bergelar Prabu Baladewa.

Kisah ini diolah dan di kembangkan heri purwanto dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan.

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Baladewa

PRABU SALYA MENGAJUKAN SYARAT UNTUK PERNIKAHAN DEWI ERAWATI

Prabu Salya di Kerajaan Mandraka memimpin pertemuan yang dihadiri putra bungsunya, yaitu Raden Rukmarata, beserta para menteri dan punggawa yang dikepalai Patih Tuhayata. Dalam pertemuan itu Prabu Salya membicarakan tentang kekecewaannya, yaitu bukan para Kurawa yang berhasil menemukan hilangnya Dewi Erawati, melainkan Wasi Jaladara dari Gunung Rewataka. Padahal, Prabu Salya berharap putri sulungnya bisa menjadi istri Raden Kurupati, yang merupakan calon pemimpin Kerajaan Hastina, bukannya menjadi istri seorang pendeta miskin semacam Wasi Jaladara.

Raden Rukmarata sependapat dengan sang ayah. Ia juga merasa sayang jika kakak sulungnya sampai menikah dengan seorang pendeta miskin. Ia tidak tega membayangkan Dewi Erawati hidup kekurangan di puncak Gunung Rewataka bersama Wasi Jaladara.

Patih Tuhayata ikut menyampaikan pendapat. Ia berkata bahwa Prabu Salya sudah terlanjur bersumpah, barangsiapa bisa menemukan hilangnya Dewi Erawati, maka akan mendapat hadiah, yaitu jika laki-laki akan dinikahkan dengan sang putri, dan jika perempuan akan dipersaudarakan dengannya. Meskipun Prabu Salya mengharapkan Raden Kurupati yang memenangkan sayembara, namun dewata berkehendak lain. Itu artinya Dewi Erawati memang ditakdirkan berjodoh dengan Wasi Jaladara. Patih Tuhayata menyarankan agar Prabu Salya tetap menepati sabda seorang raja. Soal nanti Dewi Erawati hidup bahagia atau tidak, itu semua di luar kuasa manusia.

Prabu Salya tersinggung mendengar ucapan Patih Tuhayata. Namun, jika dipikir-pikir memang ada benarnya juga. Bagaimanapun sabda seorang raja harus dipenuhi meskipun bertentangan dengan perasaan. Raden Rukmarata yang memahami isi hati sang ayah akhirnya menemukan cara untuk menggagalkan pernikahan kakaknya. Ia pun mengusulkan agar Wasi Jaladara diberi syarat yang berat, yang harus dipenuhi saat upacara pernikahan nanti.

Raden Rukmarata berkata bahwa untuk menikahi Dewi Erawati, Wasi Jaladara harus bisa menyediakan “patah manten sakembaran”, yaitu dua orang gadis perawan yang berwajah mirip sebagai pendamping pengantin. Syarat yang kedua adalah pasangan pengantin harus dipayungi “kembar mayang” yang terbuat dari Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru, berasal dari Kahyangan Suralaya, dengan diiringi empat puluh bidadari. Syarat yang ketiga adalah Wasi Jaladara harus bisa menyediakan “waranggana cantik”, yang pandai menyanyikan segala jenis lagu.

Prabu Salya tertarik pada usulan putranya tersebut dan menyetujuinya. Ia pun mengutus Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata untuk menyampaikan persyaratan ini kepada Wasi Jaladara di Gunung Rewataka. Ia juga menentukan hari Buda Manis minggu depan adalah hari pernikahan, di mana Wasi Jaladara harus sudah bisa memenuhi semua persyaratan tersebut.

PRABU NAGAPRASANTA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA

Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan Renggabumi. Suatu hari terbesit niat di hatinya untuk menikah dengan salah satu bidadari kahyangan bernama Batari Gagarmayang. Ia pun berangkat bersama Patih Yudakoti untuk mewujudkan keinginannya.

Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya dengan tegas menolak lamaran tersebut. Prabu Nagaprasanta marah dan memerintahkan pasukannya untuk merebut Batari Gagarmayang dengan cara paksa. Batara Indra pun mengerahkan pasukan dorandara untuk menghadapi serangan ini. Pertempuran pun terjadi. Prabu Nagaprasanta mengubah wujudnya menjadi seekor naga besar yang mengamuk menyembur-nyemburkan bisa panas, sedangkan Patih Yudakoti dapat berubah wujud menjadi seekor gajah yang kebal segala jenis senjata.

Batara Indra dan para jawata terdesak menghadapi kesaktian Prabu Nagaprasanta dan Patih Yudakoti. Mereka pun mundur ke dalam kahyangan dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep. Batara Indra lalu mengheningkan cipta memohon petunjuk Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka.

Tidak lama kemudian, Batara Narada datang membawa pesan dari Batara Guru, bahwa yang bisa mengalahkan Prabu Nagaprasanta dan Patih Yudakoti adalah Raden Kakrasana, putra mahkota Kerajaan Mandura yang saat ini menjadi pendeta muda di Gunung Rewataka, bergelar Wasi Jaladara. Setelah memberikan petunjuk demikian, Batara Narada lalu berangkat untuk menjemput pemuda itu.

RADEN KURUPATI MENJADI MURID WASI JALADARA

Beberapa hari yang lalu para Kurawa dan Patih Sangkuni pernah menyerang Gunung Rewataka karena menduga Wasi Jaladara menculik Dewi Erawati. Dalam serangan itu mereka dapat dipukul mundur oleh Wasi Jaladara dan Raden Bratasena. Kemudian terdengar pula kabar bahwa Wasi Jaladara dibantu Raden Bratasena dan Raden Permadi berhasil membunuh Prabu Kurandageni dan Raden Kartapiyoga, serta memulangkan Dewi Erawati yang disekap oleh mereka. Hal ini membuat para Kurawa semakin kesal.

Raden Kurupati selaku pemimpin para Kurawa berniat menyerang Gunung Rewataka sekali lagi, namun dicegah oleh Patih Sangkuni. Dalam hal ini Patih Sangkuni meminta Raden Kurupati untuk berpikir sebaliknya. Patih Sangkuni mengatakan bahwa Raden Kurupati adalah calon raja Hastina, maka sebaiknya belajar bagaimana caranya mencari sekutu, bukannya mencari musuh. Wasi Jaladara seorang sakti dan berilmu tinggi, seharusnya dijadikan sebagai sekutu, bukannya dijadikan sebagai musuh. Saat ini Raden Bratasena dari pihak Pandawa sudah lebih dulu berguru ilmu gada kepadanya, maka Raden Kurupati jangan mau kalah. Patih Sangkuni menyarankan agar keponakannya itu juga berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara, serta harus bisa memikat hatinya agar mau menjadi sekutu para Kurawa.

Raden Kurupati sebenarnya malas jika harus berguru kepada mantan musuhnya. Namun, membayangkan dirinya kelak menjadi raja Hastina memiliki para pelindung yang sakti seperti Resiwara Bisma, Resi Druna, Raden Suryaputra, dan ditambah dengan Wasi Jaladara, tentu para Pandawa dapat dihancurkan dengan mudah. Maka, berangkatlah Raden Kurupati melaksanakan nasihat sang paman menuju Gunung Rewataka.

Demikianlah, Raden Kurupati kini telah menghadap Wasi Jaladara yang didampingi Raden Bratasena. Ia meminta maaf karena beberapa hari yang lalu telah menyerang Gunung Rewataka bersama adik-adiknya. Sekarang Raden Kurupati mengagumi kesaktian dan kekuatan Wasi Jaladara dan ia memohon agar diterima sebagai murid.

Raden Bratasena yang sudah hafal watak para Kurawa langsung menaruh curiga, jangan-jangan Raden Kurupati menyimpan maksud lain. Namun, Wasi Jaladara melarang Raden Bratasena berburuk sangka. Pada dasarnya Wasi Jaladara berhati lembut dan pemaaf, meskipun dari luar terlihat galak dan mudah marah. Dengan senang hati ia pun menerima Raden Kurupati sebagai murid, dan bisa belajar bersama-sama dengan Raden Bratasena.

RADEN RUKMARATA MENYAMPAIKAN PESAN KEPADA WASI JALADARA

Wasi Jaladara kemudian menerima kedatangan Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata dari Kerajaan Mandraka. Raden Rukmarata menyampaikan pesan dari ayahnya bahwa hari pernikahan antara Wasi Jaladara dengan Dewi Erawati sudah ditentukan, yaitu hari Buda Manis minggu depan. Itu artinya ada waktu tujuh hari bagi Wasi Jaladara untuk mempersiapkan diri. Dalam upacara pernikahan tersebut, Wasi Jaladara harus sanggup untuk menyediakan: 
1) Sepasang gadis perawan berwajah mirip sebagai “patah manten”. 
2) Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru sebagai “kembar mayang”, yang diiringkan oleh para bidadari berjumlah empat puluh. 
3) Seorang “waranggana” cantik sebagai penyanyi yang harus bisa menembangkan berbagai jenis lagu.

Demikianlah syarat yang diajukan oleh Prabu Salya. Setelah berkata demikian, Raden Rukmarata pun mohon pamit dengan ditemani Patih Tuhayata.

Sepeninggal mereka berdua, Wasi Jaladara termangu-mangu karena syarat tersebut terlalu berat baginya. Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada dari kahyangan. Batara Narada menasihati Wasi Jaladara untuk tidak perlu memikirkan persyaratan yang diajukan Prabu Salya. Orang baik yang suka menolong pasti mendapat jalan keluar bagi setiap permasalahan. Hari ini Batara Indra meminta pertolongan Wasi Jaladara untuk menjadi jago para dewa menumpas musuh bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan Renggabumi. Wasi Jaladara menyatakan sanggup membantu. Batara Narada pun mengajaknya pergi ke kahyangan. Raden Bratasena dan Raden Kurupati juga ikut menyertai.

RADEN PERMADI DIUBAH MENJADI WARANGGANA CANTIK

Sementara itu, Raden Permadi (Arjuna) sedang berjalan bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Pada awalnya ia ditugasi sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa untuk mencari hilangnya Raden Bratasena. Raden Permadi lalu pergi ke Kerajaan Mandraka di mana ia bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Banuwati. Kemudian Raden Permadi pergi ke Gunung Rewataka di mana ia bertemu Endang Bratajaya alias Dewi Sumbadra yang tidak kalah cantik dibanding Dewi Banuwati. Kali ini Raden Permadi merasa bimbang. Dalam hati ia merindukan kedua-duanya, namun tidak mungkin memilih mereka semua.

Tiba-tiba muncul seorang raja raksasa bernama Prabu Rajasengkala dari Kerajaan Batarewata. Raksasa itu bertanya kepada Raden Permadi di mana letak Gunung Rewataka. Raden Permadi bertanya mengapa Prabu Rajasengakala ingin pergi ke sana. Prabu Rajasengkala menjawab bahwa ia ingin membalas kematian adiknya, yang bernama Prabu Kurandageni, yang tewas di tangan Wasi Jaladara. Raden Permadi berkata bahwa Wasi Jaladara adalah sepupunya, dan dirinya juga ikut serta membantu mengalahkan Prabu Kurandageni. Oleh sebab itu, sebelum Prabu Rajasengkala pergi membalas Wasi Jaladara, maka harus bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.

Prabu Rajasengkala sangat marah dan ia pun menyerang Raden Permadi. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Dalam pertarungan itu Raden Permadi unggul. Ketika ia hendak membunuh Prabu Rajasengkala, tiba-tiba muncul Batari Durga menghalangi.

Batari Durga meminta Raden Permadi untuk tidak membunuh Prabu Rajasengkala yang merupakan pengikutnya. Sebagai tebusan, Batari Durga mempersilakan Raden Permadi untuk mengajukan permintaan kepadanya. Raden Permadi berkata bahwa hari ini dirinya sedang bimbang menentukan pilihan, karena jatuh cinta kepada dua perempuan sekaligus, yaitu Dewi Banuwati dan Dewi Sumbadra. Ia merasa rindu ingin bertemu mereka, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.

Batari Durga memaklumi permasalahan kaum muda tentu tidak jauh dari urusan asmara. Ia pun meramalkan bahwa di antara dua wanita itu yang kelak berjodoh dengan Raden Permadi adalah Dewi Sumbadra, bukan Dewi Banuwati. Maka, sebagai tebusan untuk nyawa Prabu Rajasengkala, Batari Durga siap membantu Raden Permadi untuk bisa bertemu dengan Dewi Sumbadra.

Raden Permadi berterima kasih lalu melepaskan Prabu Rajasengkala. Batari Durga pun bercerita bahwa Prabu Salya telah mengajukan syarat kepada Wasi Jaladara agar bisa dipenuhi saat hari pernikahan nanti. Salah satu syaratnya adalah menyediakan seorang waranggana cantik yang pandai menyanyikan berbagai jenis lagu. Batari Durga mengetahui bahwa Raden Permadi sangat mencintai seni budaya dan pandai menyanyikan bermacam-macam lagu. Maka, sekarang hanya tinggal merias wujudnya saja. Batari Durga pun mengerahkan kekuasaannya dan seketika Raden Permadi berubah wujud menjadi seorang wanita cantik.

Batari Durga lalu berkata bahwa dengan wujud wanita, Raden Permadi bisa membantu Wasi Jaladara memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu Salya, sekaligus bisa mendekati Dewi Sumbadra alias Endang Bratajaya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Batari Durga juga meminta para panakawan untuk berdandan seperti wanita. Kyai Semar setuju. Setelah dirasa cukup, Batari Durga pun pergi bersama Prabu Rajasengkala.

WASI JALADARA MENUMPAS PRABU NAGAPRASANTA

Wasi Jaladara bersama Raden Bratasena dan Raden Kurupati telah tiba di Kahyangan Suralaya. Mereka pun berperang menghadapi Prabu Nagaprasanta bersama pasukannya yang mengepung di luar Kori Selamatangkep. Pertempuran sengit terjadi. Banyak prajurit raksasa tewas di tangan Raden Kurupati dan Raden Bratasena.

Wasi Jaladara sendiri bertarung menghadapi naga penjelmaan Prabu Nagaprasanta. Dengan senjata Nanggala ia memukul naga tersebut hingga pecah kepalanya. Melihat rajanya tewas, Patih Yudakoti segera membaca mantra dan ia pun menjelma menjadi gajah yang sangat ganas. Wasi Jaladara segera mengerahkan Aji Balarama untuk bisa mengimbangi kekuatan Patih Yudakoti. Raden Bratasena dan Raden Kurupati hanya bisa menonton dari jauh dan memuji kehebatan guru mereka dalam menghadapi musuh.

Pertarungan berlangsung semakin seru. Belalai gajah penjelmaan Patih Yudakoti membelit tubuh Wasi Jaladara. Pendeta muda itu merasa sesak kehabisan napas. Namun, tangannya sempat menarik lidah si gajah hingga putus. Patih Yudakoti pun jatuh terkulai kehilangan daya. Karena lidahnya telah putus, ia tidak bisa lagi membaca mantra untuk kembali ke wujud manusia.

Sejak kecil Wasi Jaladara sangat menyukai hewan gajah dan ia pernah memelihara beberapa ekor ketika masih tinggal di Desa Widarakandang. Melihat gajah penjelmaan Patih Yudakoti terkulai tak berdaya dan berlinang air mata, ia menjadi tidak tega. Wasi Jaladara pun memeluk gajah tersebut dan berbisik di telinganya. Wasi Jaladara mengatakan bahwa Gajah Yudakoti tidak akan dibunuh seperti Prabu Nagaprasanta. Bahkan, Wasi Jaladara berniat mengajak gajah itu ikut dengannya. Gajah Yudakoti mengangguk-angguk senang dan bersikap jinak kepada Wasi Jaladara. Wasi Jaladara pun segera naik ke punggungnya sebagai tanda kemenangan.

Batara Indra berterima kasih atas bantuan Wasi Jaladara dan kedua muridnya dalam menumpas musuh kahyangan. Sebagai hadiah, Batara Indra pun menyerahkan seperangkat busana raja serta kendaraan berwujud seekor gajah putih, bernama Gajah Puspadenta. Gajah putih ini merupakan anak Gajah Erawana, yaitu kendaraan Batara Indra. Gajah Puspadenta hendaknya menjadi kendaraan Wasi Jaladara saat berwisata atau mengunjungi seseorang, sedangkan Gajah Yudakoti hendaknya menjadi kendaraan saat pergi berperang.

Wasi Jaladara berterima kasih namun tidak berani menerima anugerah Batara Indra. Ia mengembalikan hadiah tersebut dan meminta izin agar diperbolehkan meminjam Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru, serta empat puluh orang bidadari sebagai pengiring. Batara Indra berkata bahwa Wasi Jaladara tidak perlu mengembalikan Gajah Puspadenta dan seperangkat busana raja darinya. Mengenai Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru, serta pengiring bidadari akan dipinjamkan secara cuma-cuma kepada Wasi Jaladara.

Wasi Jaladara sangat berterima kasih atas kebaikan Batara Indra kepadanya. Kini tinggal dua syarat lain, yaitu menyediakan patah manten kembar dan waranggana cantik. Batara Indra berkata Wasi Jaladara tidak perlu cemas. Orang yang berhati baik pasti akan mendapatkan jalan. Kedua syarat tersebut pasti akan tersedia di Gunung Rewataka, demikian Batara Indra meramalkan.

Wasi Jaladara pun bertukar pakaian dengan busana raja pemberian Batara Indra. Kini ia terlihat gagah perkasa dan penuh wibawa. Sebagai pengingat atas jasanya menumpas musuh dewa, maka Batara Narada pun memberikan nama baru untuknya, yaitu Raden Baladewa.

Wasi Jaladara berterima kasih sekali lagi. Ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung Rewataka bersama Raden Bratasena dan Raden Kurupati, dengan membawa serta Gajah Yudakoti, Gajah Puspadenta, Kayu Dewandaru, Kayu Jayandaru, serta empat puluh bidadari pengiring.

WASI JALADARA MEMENUHI SEMUA PERSYARATAN

Endang Bratajaya (Dewi Sumbadra) di Gunung Rewataka menyambut kepulangan Wasi Jaladara dengan sukacita. Di tempat itu sudah menunggu pula kakaknya yang lain, yaitu Raden Narayana beserta Arya Udawa. Wasi Jaladara yang sudah lama tidak bertemu Raden Narayana segera berpelukan dan saling bertanya kabar.

Raden Narayana sejak peristiwa Sayembara Drupadi memilih pergi ke Gunung Gandamadana untuk berguru kepada Resi Jembawan. Pada suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib agar mengajak putri Resi Jembawan yang bernama Endang Jembawati untuk pergi ke Gunung Rewataka. Raden Narayana pun melaksanakan perintah tersebut. Kini ia telah datang bersama Endang Jembawati sekaligus bersama kedua orang tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata.

Wasi Jaladara kagum melihat wajah Endang Jembawati yang sangat mirip dengan Endang Bratajaya. Ia pun berterima kasih kepada Raden Narayana karena ini berarti salah satu syarat yang diajukan Prabu Salya dapat dipenuhi, yaitu menyediakan patah manten dua orang gadis perawan yang berwajah kembar. Resi Jembawan berkata bahwa putrinya memang mirip dengan Endang Bratajaya karena menurut petunjuk dewa, Endang Jembawati adalah titisan Batari Sri Laksmi, sedangkan Endang Bratajaya adalah titisan Batari Sri Wedawati. Keduanya adalah istri Batara Wisnu.

Kini tinggal syarat terakhir yang belum terpenuhi, yaitu menyediakan seorang waranggana cantik yang pandai menyanyi segala jenis lagu. Sungguh kebetulan, di luar padepokan tiba-tiba terdengar suara wanita sedang mengamen. Wasi Jaladara segera keluar dan melihat ada seorang waranggana cantik sedang bernyanyi diiringi empat orang wanita berwajah jelek menabuh alat musik sederhana. Wasi Jaladara sangat senang dan bertanya siapa nama waranggana itu. Si waranggana pun memperkenalkan dirinya bernama Endang Werdiningsih, seorang pengamen keliling. Tanpa banyak bicara Wasi Jaladara langsung mengajak pengamen cantik itu menjadi pengiringnya saat upacara pernikahan nanti di Kerajaan Mandraka. Endang Werdiningsih yang tidak lain adalah penjelmaan Raden Permadi segera menyanggupi, karena ini bisa menjadi sarana baginya untuk mendekati Endang Bratajaya.

PERNIKAHAN WASI JALADARA DENGAN DEWI ERAWATI

Demikianlah, pada hari Buda Manis seperti yang telah ditentukan, rombongan pengantin Wasi Jaladara pun tiba di istana Mandraka. Prabu Salya sama sekali tidak menyangka bahwa pendeta miskin yang diremehkannya itu ternyata mampu memenuhi persyaratan berat yang ia ajukan. Sang permaisuri Dewi Setyawati meminta Prabu Salya untuk tunduk pada takdir dewata. Jika memang Wasi Jaladara sudah ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Erawati, maka Prabu Salya selaku orang tua hanya bisa memberikan restu.

Rombongan dari Gunung Rewataka itu tampak megah. Wasi Jaladara mengenakan busana raja pemberian Batara Indra, duduk di atas punggung Gajah Puspadenta. Di belakangnya tampak Endang Jembawati memegang Kayu Dewandaru, dan Endang Bratajaya memegang Kayu Jayandaru. Di belakang mereka adalah empat puluh orang bidadari yang semuanya cantik jelita. Kemudian menyusul Endang Werdiningsih menyanyi di sepanjang jalan diiringi empat panakawan yang menyamar wanita. Rombongan paling belakang adalah Raden Narayana, Raden Kurupati, Raden Bratasena, Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Arya Udawa.

Prabu Salya heran melihat Raden Kurupati juga ikut serta mengiring Wasi Jaladara, padahal beberapa hari yang lalu mereka bersaing memperebutkan Dewi Erawati. Raden Kurupati pun menjawab bahwa dirinya telah menjadi murid Wasi Jaladara dalam bidang ilmu gada. Raden Kurupati juga menjelaskan bahwa Wasi Jaladara sesungguhnya adalah putra mahkota Kerajaan Mandura, yang memiliki nama asli Raden Kakrasana.

Prabu Salya terkejut dan sangat malu karena selama ini ia memandang rendah terhadap Wasi Jaladara yang dikiranya hanya seorang pendeta miskin biasa. Padahal, pemuda ini ternyata seorang calon raja, putra sahabatnya yaitu Prabu Basudewa. Prabu Salya pun maju menyambut calon menantunya itu dan memeluknya, untuk kemudian dinikahkan dengan Dewi Erawati. Mulai hari ini Prabu Salya meminta Wasi Jaladara kembali memakai nama Raden Kakrasana, tidak perlu lagi menyamar sebagai pendeta miskin berpakaian compang-camping.

PENYAMARAN ENDANG WERDININGSIH TERBONGKAR

Malam itu, Endang Werdiningsih menyusup ke dalam kamar tidur Endang Bratajaya. Mula-mula mereka hanya bercakap-cakap, namun kemudian tangan Endang Werdiningsih berani menyentuh kulit Endang Bratajaya. Merasa risih, Endang Bratajaya pun menghindar. Namun, Endang Werdiningsih semakin mendekat dan mencoba memegang tubuh gadis itu. Endang Bratajaya pun memaki dan mendorong Endang Werdiningsih ke belakang. Endang Werdiningsih roboh dan seketika wujudnya kembali menjadi Raden Permadi.

Endang Bratajaya ketakutan ada laki-laki menyusup ke dalam kamarnya. Ia pun menjerit minta tolong. Raden Kakrasana segera datang dan meringkus Raden Permadi. Prabu Salya dan Raden Narayana juga muncul. Endang Bratajaya menceritakan bahwa Endang Werdiningsih ternyata bukan wanita asli, tetapi penjelmaan Raden Permadi yang ingin menggodanya.

Raden Kakrasana meminta maaf kepada Prabu Salya bahwa ia telah tertipu oleh penyamaran Raden Permadi. Ia mengaku sama sekali tidak tahu kalau Endang Werdiningsih ternyata wanita jadi-jadian. Itu artinya persyaratan nomor tiga tidak terpenuhi. Prabu Salya merasa bingung memutuskan. Syarat nomor tiga yaitu menyediakan waranggana cantik ternyata gagal dipenuhi, tetapi Raden Kakrasana sudah terlanjur menikah dengan putrinya.

Raden Narayana tersenyum menengahi. Sejak awal ia sudah curiga bahwa Endang Werdiningsih bukan perempuan asli, melainkan laki-laki yang sedang menyamar. Namun, syarat nomor tiga yang diajukan Prabu Salya juga tidak jelas. Jika syarat menyediakan “patah manten” berupa dua orang gadis perawan yang berwajah kembar jelas mudah dipahami. Akan tetapi, syarat yang ketiga hanya menyebutkan “waranggana cantik” saja. Di situ tidak dijelaskan apakah waranggana itu seroang wanita asli atau wanita jadi-jadian, yang penting cantik. Itu saja.

Prabu Salya tertawa mendengar pembelaan Raden Narayana. Endang Werdiningsih memang cantik dan pandai menyanyi, itu sudah cukup untuk memenuhi persyaratan nomor tiga. Jika ternyata si waranggana ini kembali ke wujud asli, apa boleh buat? Itu bukan bagian dari persyaratan. Prabu Salya pun meminta Raden Kakrasana untuk memaafkan Pandawa nomor tiga tersebut.

Raden Kakrasana mematuhi perintah sang mertua. Raden Permadi dibebaskan dan pemuda itu pun meminta maaf kepada semua orang yang ada di tempat itu.

ARYA PRAGOTA MENJEMPUT PULANG RADEN KAKRASANA

Lima hari kemudian, muncul Arya Pragota, punggawa Kerajaan Mandura yang datang untuk menjemput pulang Raden Kakrasana dan Raden Narayana. Arya Pragota ini adalah putra Patih Saragupita, atau keponakan Nyai Sagopi. Ia menjelaskan bahwa Prabu Basudewa berniat mengundurkan diri menjadi brahmana dan menyerahkan takhta Mandura kepada Raden Kakrasana.

Prabu Salya bertanya mengapa Raden Kakrasana menikah tapi tidak mengabari orang tua. Raden Kakrasana menjelaskan bahwa dulu dirinya diutus Prabu Basudewa untuk mengikuti sayembara di Kerajaan Pancala Selatan untuk memperebutkan Dewi Drupadi. Namun, dalam sayembara itu Raden Kakrasana dikalahkan Arya Gandamana. Sejak kekalahan itu, Raden Kakrasana bersumpah tidak akan pulang ke Mandura jika tidak bersama dengan jodoh sejatinya. Kini ia telah menikah dengan Dewi Erawati, sehingga sudah pantas baginya untuk pulang menghadap orang tua di istana Mandura.

Arya Pragota membenarkan hal itu. Ia memang diutus Prabu Basudewa untuk mencari keberadaan Raden Kakrasana. Namun, Arya Pragota tidak tahu harus mencari ke mana. Hingga akhirnya, ia pun mendengar kabar bahwa sang pangeran mahkota telah menikah dengan putri sulung Prabu Salya di Kerajaan Mandraka.

RADEN KAKRASANA MENJADI RAJA MANDURA

Singkat cerita, Raden Kakrasana bersama Dewi Erawati telah tiba di istana Mandura, menghadap Prabu Basudewa dan segenap anggota keluarga. Prabu Salya dan Dewi Setyawati ikut mengantarkan, begitu pula Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan yang lainnya.

Prabu Basudewa merasa bahagia dan bangga melihat keberhasilan putranya dalam menemukan jodoh yang sejati, serta menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Nagaprasanta. Kini tiba baginya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Kakrasana. Pada hari yang dianggap baik, Raden Kakrasana pun dilantik sebagai raja Mandura yang baru, bergelar Prabu Baladewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

CATATAN : Kisah perkawinan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.