Tampilkan postingan dengan label Tokoh Wayang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Wayang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 April 2018

Bambang Irawan

Bambang Irawan

Bambang IRAWAN

Irawan adalah putra Arjuna dengan Dewi Ulupi (putri Begawan Kanwa dari pertapaan Yasarata). Ia lahir dan tumbuh besar di Yasarata. Irawan menikah dengan Dewi Titisari, putri Kresna.

===========Wikipedia==========

Kemunculan

Irawan versi Mahabharata muncul pertama kali ketika para Pandawa menjalani masa pembuangan di hutan selama 12 tahun. Suatu ketika Arjuna diutus Yudistira, kakak sulungnya, untuk bertapa mencari pusaka sebagai bekal untuk menghadapi para Korawa. Ia akhirnya mendapatkan pusaka bernama Pasupati pemberian Dewa Siwa. Arjuna kemudian diundang oleh Dewa Indra untuk tinggal di kahyangan untuk beberapa waktu karena jasa-jasanya menumpas para asura musuh dewata. Pada saat itulah Irawan datang menyusul. Ia naik ke kahyangan dan mengaku sebagai putra Arjuna. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang jelas, Arjuna pun mengakui Irawan sebagai putranya.

Irawan versi Jawa muncul ketika para Pandawa masih berkuasa di Kerajaan Amarta. Saat itu ia menyamar dengan nama Gambiranom dan berhasil mengalahkan sekutu Pandawa yang bernama Jayasantika raja Nrancang Kencana. Setelah itu, ia membawa pasukan Nrancang Kencana untuk menyerang Kerajaan Hastina. Para Korawa kewalahan menghadapi serangan mendadak tersebut sehingga mereka pun meminta bantuan para Pandawa. Ketika bertempur melawan para Pandawa, Gambiranom akhirnya membuka jati diri sebagai anak Ulupi yang telah dinikahi Arjuna. Ia mendapat pesan dari kakeknya bahwa untuk mengaku sebagai putra Pandawa harus terlebih dahulu menunjukkan keunggulan. Itulah sebabnya ia pun menyerang dan menaklukkan Nrancang Kencana untuk dipakainya menyerang Hastina.

Kematian

Mahabharata bagian keenam atau Bhismaparwa mengisahkan Irawan gugur dalam perang besar di Kurukshetra pada hari kedelapan. Ia berperang di pihak Pandawa dan sempat membunuh banyak sekutu Korawa, antara lain adik-adik Sangkuni. Irawan akhirnya tewas dipenggal kepalanya oleh seorang raksasa bernama Alambusa putra Resyasrengga. Alambusa sendiri akhirnya tewas pada hari ke-14 di tangan Gatotkaca.

Kisah perang di Kurukshetra yang disadur dalam naskah berbahasa Jawa Kuna berjudul Kakawin Bharatayuddha mengisahkan Irawan tewas di tangan raksasa bernama Srenggi. Srenggi kemudian mati di tangan Gatotkaca.

Versi pewayangan Jawa mengisahkaan kematian Irawan dengan lebih panjang. Irawan dikisahkan cemburu pada Abimanyu karena sebagai sesama putra Arjuna, ia tidak diajak ikut serta dalam perang Baratayuda. Irawan kemudian berangkat menuju padang Kurusetra untuk terjun ke dalam peperangan meskipun tanpa izin dari orang tuanya. Di dalam pertempuran ia berjumpa dengan raja raksasa bernama Kalasrenggi dari Kerajaan Selamangleng. Kalasrenggi memihak Korawa karena ayahnya yang bernama Jatagimbal tewas dibunuh Arjuna. Irawan pun tampil menghadapi Kalasrenggi demi untuk memamerkan bahwa kesaktiannya tidak kalah dibandingkan Abimanyu, ataupun Gatotkaca. Pasukan Selamangleng ditumpasnya habis seorang diri. Akibatnya, ia pun merasa letih dan dapat ditangkap oleh Kalasrenggi. Kalasrenggi kemudian menggigit leher Irawan sampai putus. Namun, Irawan sempat menusuk jantung Kalasrenggi menggunakan keris. Keduanya pun tewas bersama saat itu juga.

=========================

Versi lain mengisahkan pertempuran Irawan dengan Kalasrenggi terjadi sebelum perang Bharatayuda, yaitu ketika Irawan dalam perjalanan ke Amarta untuk bergabung dengan keluarga Pandawa bertemu dengan Kalasrenggi. Dan terjadilah pertempuran tersebut.

=======

BAMBANG IRAWAN adalah putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Ulupi, putri Bagawan Kanwa (Bagawan Jayawilapa-pedalangan Jawa), dari pertapaan Yasarata.
Bambang Irawan mempunyai 13 orang saudara lain ibu, bernama; Abimanyu, Sumitra, Bratalaras, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabukusuma, Wijanarka, Antakadena dan Bambang Sumbada.
Irawan lahir di pertapaan Yasarata dan sejak kecil tinggal di pertapaan bersama ibu dan kakeknya.
Irawan berwatak tenang, jatmika, tekun dan wingit.
Menurut kisah pedalangan Irawan tewas dalam peperangan melawan Ditya Kalasrenggi putra Prabu Jatagempol dengan Dewi Jatagini dari negara Gowabarong, menjelang pecah perang Bharatayuda.
Sedangkan menurut Mahabharata, Irawan gugur dalam awal perang Bharatayuda melawan Ditya Kalaseringgi, raja negara Gowabarong yang berperang di pihak keluarga Kurawa/Astina.

BAMBANG IRAWAN

Bambang Irawan putra Raden Arjuna dan perkawinannya dengan Dewi Ulupi, putri Resi Kanwa, seorang pendeta di Gunung Yasarata.

Irawan selalu tinggal di pertapaan dengan ibunya. Hanya bila perlu ia datang ke negara Pendawa. Karena saktinya pernah ia menjadi raja, bernama Prabu Gambiranom dan sewaktu menjadi raja berhasil membawa panah pusaka Arjuna, bernan’a Ardadedali dan oleh karenanya kesaktian Irawan bertambah.

Sewaktu menjadi Prabu Gambiranom, ia mempunyai prajurit wanit yang disebut Ladrangmungkung. Prajurit ini sakti dan dapat mengalahkan Raden Arjuna.

Irawan diminta ibunya menawan Raden Arjuna. Dapat dilaksanakanlah permintaan Dewi Ulupi mi, tetapi Arjuna dimatikan dan oleh prajuritprajui-it wanita dibawa ke hadapan Dewi Ulupi. Setelah Arjuna kena raba tangan Dewi Ulupi, hidup kembali]ah ia. Beginilah memang adat Arjuna.

Ketika di dalam perang Baratayuda Irawan pergi ke rnedan perang, di tengah jalan ia berjumpa dengan raja raksasâ Kaasrenggi. Terjadilah perang dan kedua-duanya tewas.

Kematian ksatria ini sangat disesalkan oleh keluarga Pendawa, karena ia mati sebelum sampai di medan perang.

Bambang Irawan bermata jaitan, berhidung mancung. Bersanggul kadal menek. Bersunting kembang kluwih. Berkalung putran bentuk bulan sabit. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain katongan dan bercelana cindai.

Untuk menggambarkan Prabu Gambiranom, digunakan wayang Raja Seberang bagus. Ia beristrikan Dewi Titisari, putri Prabu Kresna.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982

Jumat, 13 April 2018

Raden Suteja

Raden Suteja

Raden Suteja

Setelah berhasil mengalah Prabu Bomantara, tak sadar lalu berubah peri-lakunya, karena kerasukan sukma Prabu Bomantara yang bertabiat jahat.

Boma saat masih muda dan bergelar Raden Suteja atau Raden Sitija.
Sesaat setelah Raden Suteja didaulat menjadi Raja di Kerajaan Traju-Trisna, setelah menaklukkan Prabu Bomantara.
Cerita aslinya, di masa lampau (ratusan tahun yang lalu), ditulis dalam bentuk karya sastra yang berjudul ‘Kakawin Boma Kawya’. Sedang cerita gubahannya, yang jauh lebih populer di kalangan para penggemar wayang, seringkali dimainkan dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa, memakai judul cerita (lakon) ‘Boma Gugur’, ‘Samba Juwing’, atau ‘Gojali Suta’. Cerita yang berpusat pada tokoh Boma ini, merupakan salah satu cerita wayang, yang boleh dikatakan paling banyak versinya.

Meski pun demikian, setelah ditelusuri, dalam khazanah pagelaran wayang, cerita yang berpusat pada tokoh Boma ini, sebenarnya terdiri atas empat cerita berbeda (tetralogi), yaitu cerita 1) ‘Suteja Takon Bapa’, 2) ‘Rebut Kikis Tunggarana’, 3) ‘Samba Juwing’, dan 4) ‘Gojali Suta’ atau ‘Boma Gugur’. Cerita ‘Suteja Takon Bapa’ dan ‘Rebut Kikis Tunggarana’, biasanya ditampilkan dalam dua cerita yang benar-benar berbeda. Namun, dua cerita yang terakhir, yaitu cerita ‘Samba Juwing’ dan ‘Boma Gugur’, seringkali digabungkan menjadi satu cerita, meski pun sebenarnya merupakan dua cerita yang terpisah.

Cerita ‘Suteja Takon Bapa’ secara ringkas menceritakan saat Raden Suteja (Boma saat masih muda) mempertanyakan siapakah ayahnya yang sebenarnya, dan berusaha menemukan jati dirinya. Pada episode ini, Raden Suteja diminta oleh para dewa, untuk memerangi seorang raja raksasa yang bernama Prabu Bomantara dari Kerajaan Trajutrisna. Cerita ‘Rebut Kikis Tunggarana’, menceritakan peperangan antara Bomanarakasura dengan Gathutkaca, memperebutkan wilayah tak bertuan yang disebut ‘Kikis Tunggarana’. Cerita ‘Samba Juwing’, merupakan bagian yang boleh dikatakan paling menarik dan sangat terkenal, karena menceritakan perselingkuhan Raden Samba, adik tiri Bomanarakasura, dengan Dewi Hagnyanawati, isteri Bomanarakasura; yang berakhir dengan kematian Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati. Sedangkan cerita ‘Gojali Suta’, menceritakan peperangan besar antar saudara, yang awalnya dipicu oleh persaingan antara Gathutkaca dengan Bomanarakasura, yang diperuncing dengan peristiwa dipilihnya Gathutkaca sebagai panglima wadyabala Pandhawa dalam Perang Barata-Yudha. Pada episode ini, Bomanarakasura yang merasa lebih sakti dan merasa lebih berhak menjadi panglima perang dibanding dengan Gathutkaca, karena kecewa, akhirnya menantang semua saudara dan bahkan ayahandanya sendiri (Prabu Kresna). Episode ini, berakhir dengan kematian Bomanarakasura di tangan ayahandanya sendiri. Itulah urutan ‘riwayat’ Bomanarakasura secara ringkas, sejak muda sampai akhirnya gugur.

Pada beberapa versi, tokoh Boma, seringkali digambarkan sebagai seorang tokoh raja yang sejak awal diceritakan memang bersifat jahat. Karena itulah, maka bentuk rupa wayang kulit-nya lalu ditampilkan berupa tokoh ‘narpati rakseksa’ (raja raksasa). Versi ini, sering ditampilkan dalam sejumlah pagelaran wayang kulit purwa gagrak Surakarta. Tetapi, ada pula versi lain, yang menampilkan tokoh Boma, sebagai seorang raja ksatria yang bersifat tidak jahat. Karenanya, wayang kulit-nya lalu ditampilkan dalam bentuk rupa wayang tokoh raja, yang gagah dan mengambil bentuk ‘telengan’ (wajahnya mirip dengan Bima atau Gathutkaca). Di wilayah sekitar Yogyakarta atau Mataram, tokoh Boma yang gagah ini, disebut Suteja atau Sitija. Versi ini, sering ditampilkan dalam sejumlah pagelaran wayang kulit purwa gagrak Yogyakarta atau gagrak Mataram.

Tokoh Boma, yang pada masa mudanya bernama Raden Suteja atau Raden Sitija; adalah putera sulung Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi, puteri Sang Hyang Naga-Raja, dari Kahyangan Jala-Tundha. Pada beberapa versi, Sang Hyang Naga-Raja dinyatakan berasal dari Istana Jala-Tundha, yang berlokasi di Kahyangan Eka-Pratala. Setelah menikah dengan Prabu Kresna, Dewi Pertiwi, tinggal di Kahyangan Sapta-Pratala. Raden Suteja, mempunyai seorang adik kandung, yang bernama Dewi Siti Sundari (Siti Sendari), yang setelah dewasa, kelak menikah dengan Raden Abimanyu, putera Raden Harjuna. Selain itu, Raden Suteja, mempunyai adik tiri kesayangan (satu ayah lain ibu), yang bernama Raden Samba, yang sering juga disebut dengan julukan Samba Wisnubrata. Raden Samba, merupakan putera Prabu Kresna dari Dewi Jembawati, puteri Kapi Jembawan, seorang pertapa berujud 'wanara' (kera), dari masa Ramayana, yang tinggal di Pertapaan Gada-Madana atau Gada-Mana. Raden Samba ini, tinggal di Kasatrian Parang-Garuda. Raden Samba, juga mempunyai seorang kakak kandung, yang bernama Resi Guna-Dewa, yang karena tubuhnya berbulu, maka ia kemudian mengasingkan diri, dan menjadi seorang pertapa di Pertapaan Gada-Mana atau Gada-Madana, menggantikan kakeknya, Kapi Jembawan.

Raden Suteja atau Raden Sitija yang muda, tampan, gagah, dan sakti itu; dalam episode ingin diakui sebagai putera dari Prabu Kresna dengan Dewi Pertiwi, atas permintaan ayahnya, Prabu Kresna (titisan Sang Hyang Wisnu) yang mewakili permintaan para dewa, diminta untuk memerangi Prabu Bomantara atau Prabu Narakasura, raja dari Kerajaan Trajutrisna atau Kerajaan Sura-Teleng; yang telah berani menyerang kerajaan para dewa, Kahyangan Jonggring-Salaka. Raden Suteja berhasil mengalahkan Prabu Bomantara. Oleh para penduduk dan wadyabala raksasa Kerajaan Trajutrisna, Raden Suteja lalu didaulat untuk menjadi raja di Kerajaan Trajutrisna (seringkali juga disebut Kerajaan Sura-Teleng), menggantikan Prabu Bomantara yang dikalahkannya. Raden Suteja, kemudian menggabungkan kedua nama raja yang dikalahkannya itu, sehingga menjadi Prabu Boma Narakasura, dan menjadi raja di Kerajaan Trajutrisna atau Kerajaan Sura-Teleng.

Pada versi lain, dinyatakan bahwa Prabu Bomantara adalah seorang raja dari Kerajaan Traju-Trisna. Sedangkan Prabu Naraka-Sura, dinyatakan sebagai seorang raja dari Kerajaan Sura-Teleng. Pada versi ini, Raden Suteja diceritakan berhasil mengalahkan kedua raja sekaligus pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu Prabu Bomantara yang berwadyabala raksasa dan Prabu Narakasura yang berwadyabala manusia. Karena itulah, dalam versi ini, wadyabala Prabu Boma Narakasura sebagian berupa manusia dan sebagian lagi berupa raksasa. Namun, ada juga versi lain yang menyatakan, bahwa seluruh wadyabala Prabu Boma Narakasura dan Prabu Narakasura adalah raksasa. Nama julukan kedua raja inilah yang kemudian dipakai sebagai gelar Raden Suteja, saat didaulat oleh rakyat dari kedua kerajaan yang ditaklukkan itu, sehingga Raden Suteja lalu bergelar Prabu Boma-Narakasura. Pada versi ini, wilayah Kerajaan Sura-Teleng, dinyatakan digabungkan dengan wilayah Kerajaan Traju-Trisna. Pada versi ini, proses penaklukan Kerajaan Sura-Teleng, penyebabnya adalah penolakan Prabu Narakasura, saat diminta untuk menggabungkan Kerajaan Sura-Teleng dengan Kerajaan Traju-Trisna oleh Raden Suteja.

Selain itu, ada juga versi yang menyatakan, bahwa Prabu Naraka-Sura dari Kerajaan Sura-Teleng, setelah berhasil dikalahkan oleh Raden Suteja, ia lalu berubah menjadi seekor burung garuda raksasa, yang kemudian diberi nama 'Wilmuka' atau 'Wilmana' (kadang-kadang juga disebut 'Wilmuna'); dan dijadikan kendaraan terbang kebesaran Kerajaan Traju-Trisna oleh Raden Suteja, yang setelah menjadi raja Kerajaan Traju-Trisna, lalu bergelar Prabu Boma-Narakasura. Sedangkan Patih Pancat-Nyana yang semua merupakan patih dari Kerajaan Sura-Teleng, lalu diangkat menjadi patih di Kerajaan Traju-Trisna oleh Prabu Boma-Narakasura. Pada sejumlah versi, kematian Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati (pada episode 'Samba Juwing'), disebabkan oleh provokasi yang dilakukan oleh burung garuda raksasa Wilmuka (Wilmana) dan Patih Pancat-Nyana terhadap Prabu Boma-Narakasura, saat menghadapi permasalahan pelik, yaitu dilarikannya Dewi Hagnyanawati, permaisuri Prabu Boma-Narakasura, oleh adik tiri kesayangannya, yaitu Raden Samba. Pada versi ini, provokasi terhadap Prabu Boma-Narakasura, dinyatakan dipicu oleh timbulnya dendam Prabu Narakasura dan Patih Pancat-Nyana, atas takluk dan jatuhnya kekuasaan Kerajaan Sura-Teleng ke tangan Raden Suteja di masa lalu. Di tambah dengan sumpah Prabu Bomantara (yang juga sudah dikalahkan oleh Raden Suteja), yang saat sebelum merasuki raga Raden Suteja, sempat mengucapkan sumpah, akan membunuh Raden Suteja dengan cara membuat dan mengubah sifat Raden Suteja menjadi bertabiat jahat, dan membuatnya memusuhi semua saudara dan ayahnya sendiri (Prabu Kresna). Sumpah Prabu Bomantara ini, terbukti pada episode 'Gojali-Suta', saat Prabu Boma-Narakasura menantang Gathut-Kaca dan seluruh kerabat Pandhawa, termasuk ayahandanya sendiri (Prabu Kresna), sebagai akibat ia tidak dipilih sebagai panglima perang pihak Pandhawa dalam episode Perang Barata-Yudha.

Ada pula semacam keanehan yang terungkap pada episode 'Perang Gojali Suta' ini. Secara logika, Perang Gojali Suta terjadi pada masa awal perang besar Barata-Yudha, sesaat setelah Raden Gathutkaca diangkat sebagai panglima perang oleh para kerabat Pandhawa. Pada versi ini, diceritakan bahwa Prabu Boma Narakasura dari Kerajaan Traju-Trisna, setelah menantang semua saudara dan ayahandanya sendiri (Prabu Kresna), akhirnya lalu dikeroyok oleh sejumlah wadyabala yang berasal dari berbagai negara yang sebenarnya sedang saling saling berperang di antara mereka, yakni pada Perang Barata-Yudha. Wadyabala yang mengeroyok Kerajaan Traju-Trisna adalah wadyabala dari negara-negara Awangga (kerajaannya Adipati Karna), Hastina-Pura (kerajaannya para kerabat Kurawa), kerajaan Dwara-Wati (kerajaannya Prabu Kresna), kerajaan Amarta (kerajaan para kerabat Pandhawa), kerajaan Pringgandani (kerajaannya Raden Gathutkaca), kerajaan Giyanti-Pura (kerajaannya Prabu Krentagnyana, mertua Prabu Boma-Narakasura), dan kerajaan Parang-Garuda (kerajaannya tempat tinggal Raden Samba).

Pengeroyokan ini (menurut versi ini), selain disebabkan oleh dendam sebagai akibat terbunuhnya Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati (dalam episode 'Samba Juwing'), juga disebabkan timbulnya 'ketakutan bersama' di antara mereka yang sedang saling bertempur dalam Perang Barata-Yudha, yang percaya bahwa Prabu Boma-Narakasura tidak akan ada yang bisa mengalahkannya, karena memiliki aji-aji Panca-Sona-Bumi atau aji-aji Rawa Rontek. Ketakutan itu, juga dipicu oleh kenyataan, bahwa kerabat Pandhawa maupun kerabat Kurawa itu sebenarnya merupakan suatu 'keluarga besar trah  Barata'. Jika kepada ayahanda, keluarga, dan saudara-saudaranya sendiri saja Prabu Boma-Narakasura berani menantang dan melawan; maka, apalagi terhadap kerabat Kurawa (Hastina) yang jelas-jelas sebagai musuhnya. Ketakutan mereka itu, adalah jika Prabu Boma-Narakasura bisa mengalahkan seluruh kerabat Pandhawa (Amarta) dan sekaligus juga memusnahkan seluruh kerabat Kurawa (Hastina) beserta seluruh sekutu masing-masing; maka Prabu Boma-Narakasura akan keluar sebagai 'pemenang tunggal' dari Perang Barata-Yudha dan berlaku sebagai 'diktator tunggal' yang tanpa tanding. Hal inilah, yang menurut versi ini, ditakutkan semua pihak (Amarta dan Hastina) yang sebenarnya sedang saling berperang. Logika ini, ada benarnya.

Kembali pada episode awal, saat Raden Suteja berhasil mengalahkan Prabu Bomantara. Pada saat Prabu Bomantara berhasil dibunuh oleh Raden Suteja, sukma Prabu Bomantara yang bertabiat jahat lalu merasuki tubuh Raden Suteja. Dan, sejak itulah di dalam tubuh Raden Suteja lalu terdapat dua kepribadian. Dan sejak itu pula, sukma Raden Suteja yang bertabiat baik, sering dipengaruhi oleh sukma Bomantara, yang bertabiat jahat. Karenanya, Boma Narakasura lalu dikenal mempunyai dua tabiat yang saling berlawanan (berkepribadian ganda), yang merupakan warisan sifat Suteja dan warisan sifat Bomantara. Pada awalnya, baik Raden Suteja dan Prabu Kresna, keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa sukma Prabu Bomantara yang merasuki Raden Suteja membuat peri-laku Raden Suteja menjadi buruk. Bahkan, baik Raden Suteja dan Prabu Kresna, juga tidak tahu bahwa sejak sukma Prabu Bomantara merasuki tubuh Raden Suteja, ia juga membawa serta Aji Panca-Sona-Bumi ke dalam tubuh Raden Suteja. Aji-aji Panca-Sona-Bumi, yang pada sejumlah versi, juga disebut sebagai aji-aji 'Rawa-Rontek', merupakan aji-aji yang bisa membuat orang yang memilikinya tidak bisa mati, jika tubuhnya menyentuh bumi (tanah). Keadaan ini, baru diketahui Prabu Kresna, setelah ia menanyakan tentang beberapa keanehan yang dilihatnya pada peru-laku puteranya itu, kepada para dewa.

Bagaimana pun juga, yang masih menjadi misteri, adalah dari mana Prabu Bomantara berhasil mendapatkan aji-aji Panca-Sona-Bumi atau aji-aji Rawa-Rontek itu. Aji-aji itu, dulu diketahui dimiliki oleh Resi Subali (dari masa Ramayana), dan kemudian hanya diturunkan kepada Prabu Rahwana, raja dari Kerajaan Alengka-Diraja.

Pada kebanyakan versi, Prabu Boma-Narakasura dinyatakan mati dibunuh oleh ayahandanya sendiri, yaitu Prabu Kresna, memakai senjata Cakra. Tetapi ada juga versi lain yang menyatakan bahwa Prabu Bomananarakasura sebenarnya beberapa kali berhasil dibunuh oleh Gathutkaca. Tetapi, karena mempunyai aji-aji Panca-Sona-Bumi atau aji-aji Rawa-Rontek, maka setiap kali Gathutkaca berhasil membunuh Prabu Boma-Narakasura, setiap kali pula ia berhasil hidup kembali. Saat Prabu Kresna melihat peristiwa ini, ia lalu memerintahkan Gathutkaca untuk menyiapkan 'anjang-anjang' (semacam jaring), supaya saat Prabu Boma berhasil dibunuh, tubuhnya diletakkan di atas anjang-anjang (jaring), sehingga tubuhnya tidak bersentuhan dengan bumi. Dengan demikian, Prabu Boma Narakasura tidak dapat hidup kembali. Karena itulah lalu ada sebutan lain untuk cerita ini, yaitu ‘Gathutkaca Winisuda’.

Ada pula versi lain yang menyatakan, bahwa senjata Cakra milik Prabu Kresna yang diarahkan kepada Prabu Boma-Narakasura, sebenarnya meleset, dan tidak mengenai tubuh Prabu Boma-Narakasura, melainkan mengenai burung garuda yang dikendarai Prabu Boma-Narakasura, yang bernama Wilmuka. Saat Wilmuka terjatuh dari angkasa itulah, Prabu Boma-Narakasura dibunuh oleh Gathut-Kaca, kemudian mayat Prabu Boma-Narakasura ditangkap oleh Raden Gathut-Kaca dan diletakkan di atas 'anjang-anjang' baja, supaya tidak bisa bersentuhan dengan bumi (tanah). Jadi menurut versi ini, pembunuh Prabu Boma-Narakasura bukanlah Prabu Kresna, melainkan Raden Gathut-Kaca.

Tentang 'anjang-anjang' (jaring) ini, diceritakan dalam episode 'Rebut Kikis Tunggarana'. Saat terjadi pertempuran antara Raden Gathut-Kaca dengan Pabru Boma-Narakasura; topeng baja yang dipakai di wajah Raden Gathut-Kaca sempat terpukul gada milik Prabu Boma-Narakasura, sehingga hancur berantakan. Dan, saat itu terjadi keajaiban, yaitu topeng baja milik Raden Gathtut-Kaca dan gada milik Prabu Boma-Narakasura; keduanya lebur menjadi satu dan berubah menjadi sebuah 'jala baja' (anjang-anjang baja), yang kemudian terlempar dan jatuh di hutan Pramonokoti, di wilayah Pringgandani. Karena itu pula, lalu ada cerita yang berjudul 'Topeng Waja', yang merupakan sebutan lain untuk cerita 'Rebut Kikis Tunggarana'. Selain itu, juga ada pula versi lain, yang menyatakan bahwa Bomanarakasura sebenarnya tidak mati, melainkan diselamatkan dan diambil oleh kakeknya, Sang Hyang Naga-Raja dan dibawa ke Kahyangan Jala-Tundha. Demikian juga, ada versi yang menyatakan bahwa Raden Samba dan Hagnyanawati, yang semula mati dibunuh dengan cara 'dimutilasi' oleh Prabu Bomanarakasura, akhirnya dihidupkan kembali oleh Prabu Kresna memakai Bunga Wijayakusuma.

Jika mencermati berbagai bahasan di atas, maka sekarang jelaslah, bahwa tokoh Boma merupakan salah satu tokoh wayang yang sangat unik dan khas. Dikatakan unik dan khas, karena mungkin hanya tokoh inilah yang diceritakan mempunyai 'kepribadian ganda'. Selain itu, tokoh ini ternyata mempunyai ‘riwayat’ yang tidak lazim, sangat rumit, berliku-liku, dan penuh dengan sejumlah ketidak-jelasan (karena adanya sejumlah versi yang berbeda satu dengan lainnya). Bahkan akhir hidupnya pun, ada beberapa versi yang sangat berbeda dan saling bertolak belakang antara versi yang satu dengan versi lainnya.

Meski pun tokoh Boma ini boleh dikatakan dikenal dalam sejumlah versi yang berlainan, namun alur utama cerita yang disampaikan dalam banyak pagelaran wayang kulit purwa, dapat dikatakan sama, atau setidak-tidaknya hampir sama. Jika pun ada perbedaan detail cerita, sifatnya sama sekali tidak mengubah alur cerita utamanya. Perbedaan yang terjadi, adalah pada episode akhirnya.

Pada berbagai pagelaran wayang kulit purwa, julukan nama lengkap tokoh Boma, seringkali dinyatakan atau dilafalkan sebagai ‘Boma Naraka Sura’, yang jika dinyatakan secara langsung, bolehlah diartikan sebagai ‘Boma orang jahat yang berani’. Istilah ‘naraka’, diartikan sebagai: ‘neraka, jahat, kejahatan, atau orang yang jahat’. Sedangkan istilah ‘sura’, artinya: berani, gagah berani.

Ki Narto Sabdho almarhum (pada sekitar tahun 1976), beliau sangat tidak setuju dengan sebutan ‘Boma Narakasura’ atau ‘Boma Naraka Sura’, yang berkonotasi jahat atau buruk. Menurut pandangan beliau, tidaklah layak sama sekali, seorang raja besar yang sangat berkuasa, diberi julukan yang sedemikian buruk, dan dinyatakan sebagai orang yang jahat. Sebuah pandangan yang menurut logika saya, masuk akal.

Sebaliknya, beliau, lebih menyarankan penyebutan nama lengkapnya menjadi ‘Boma Nara Kasura’, yang artinya ‘Boma raja muda yang terkenal’. Istilah ‘nara’, artinya: muda, raja, atau raja muda. Sedangkan istilah ‘kasura’, artinya: dikenal oleh banyak orang, terkenal, atau sangat terkenal. Istilah ‘kasura’, setara dengan istilah‘kasusra’. Julukan lain, yang juga disarankan oleh Ki Narto Sabdho almarhum, adalah ‘Boma Nara Sura’, yang artinya: ‘Boma raja muda yang berani’ atau ‘Boma raja muda yang gagah berani’. Istilah ‘sura’, artinya: berani, gagah, atau gagah berani. Masih menurut pandangan beliau, julukan lengkap bagi tokoh Boma, yang diusulkan beliau, adalah ‘Prabu Boma Nara Sura’, ‘Narpati Boma Nara Sura’ atau ‘Narapati Boma Nara Sura’. Istilah ‘narpati’ atau ‘narapati’, artinya: raja, raja besar, atau raja muda.

Menurut Ki Narto Sabdho, Boma bukanlah orang jahat. Bahkan, menurut Ki Narto Sabdho, Boma merupakan korban kejahatan orang lain, korban kejahatan dan peri-laku para ksatria, yang berlaku 'candhala' dan 'nistha' (berperi-laku rendah dan tidak terhormat). Korban peri-laku rendah adik kesayangannya, Raden Samba, yang jatuh cinta, berselingkuh, dan bahkan melarikan (menculik) kakak iparnya sendiri, Dewi Hagnyanawati, yang merupakan permaisuri atau isteri Boma.