Durno gugur
Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. “Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”
“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.
Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”
“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai.” Ah . . sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.
Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.
Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”
Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.
“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya, “Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.
Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.
Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun,punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.
Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****
Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.
Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.
Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.
Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya.Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.
Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.
Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.
Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.
“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.
Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.
Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”
Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”
“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.
“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.
“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.
“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.
Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.
“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi”
“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna.
“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.
Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain
Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”
Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.
Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .”
“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.
“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.
Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.
“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.
“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.
Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.
Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.
Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu “
******
Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.
Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .” menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.
Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna.
Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.
Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.
Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian.
******
Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.
Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.
Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara.
Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”
Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.
“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.
“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan sudut bibirnya bergetar.
“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.
Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”
“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!”
Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang”.
Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.
“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.
Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.
Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”